Pilpres 2024
Pengamat Menilai Presiden Jokowi Enggan Ikuti Perintah PDIP Soal Capres di Pilpres 2024
Presiden Jokowi tampaknya enggan mengikuti perintah DPP PDIP terkait capres. Ini dibuktikan dari dukungannya pada Prabowo Subianto.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terkesan memberi dukungan pada Prabowo Subianto sebagai capres di Pilpres 2024, menuai multi tafsir.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi di luar dugaan menyatakan Prabowo Subianto sebagai capres saat acara Perindo, Senin (7/11/2022).
Jokowi memprediksi Ketua Umum Gerindra yang juga Menteri Pertahanan Prabowo Subianto akan menjadi Presiden.
“Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” ujar Jokowi yang disambut tepuk tangan para peserta hadir.
Mendengar ucapan itu, Prabowo yang juga hadir dalam acara tersebut lalu berdiri dan memberikan hormat pada presiden.
Menurut Direktur Eksekutif Populi Center, Afrimadona, ada banyak hal yang bisa ditafsirkan dari pernyataan Jokowi pada acara HUT Perindo tersebut.
Mungkin saja, menurutnya, ada yang melihatnya sebagai basa basi politik tapi tidak sedikit juga yang kemudian menafsirkannya sebagai bentuk dukungan politik.
Sementara Afrimadona menilai hal itu sebagai wujud dukungan politik bagi Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024.
Baca juga: Pertemuannya dengan Jokowi Terkait Pilpres 2024? Ganjar: Halah, Ekonomi Lagi Sulit Kayak Gini
Bahkan menurutnya, ucapan itu bisa dilihat sebagai skenario alternatif Jokowi terkait belum pastinya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mendapatkan tiket capres dari PDIP.Di mana, bisa bermakna melemahnya komitmen dukungan Jokowi pada Ganjar.
"Saya pikir ini tafsir yang paling natural ketika orang mendengar ini,” ujarnya.
“Bahkan Pak Jokowi sendiri tidak menampik itu. Namun, jika memang demikian, maka ini bisa jadi mengindikasikan bahwa Presiden Jokowi sedang menyiapkan skenario alternatif jika Ganjar tidak mendapat tiket calon presiden," imbuh Afrimadona.
"Jika memang demikian, ini bisa mengindikasikan juga semakin melemahnya komitmen Presiden Jokowi pada Ganjar," sambungnya.
Baca juga: Politisi Partai Demokrat Minta Anies Baswedan Rajin Cek Ombak, Jika ingin Menang di Pilpres 2024
Namun demikian, sambung Afrimadona, apa yang dilakukan Presiden Jokowi sangat rasional.
Menurutnya, langkah mendukung Prabowo adalah pilihan terbaik kedua bagi Jokowi.
“Mendukung Prabowo adalah second-best option bagi Jokowi,” katanya.
“Ini mengingat, yang paling siap untuk maju tentu saja Prabowo. Dia punya partai, basis massa, popularitas tinggi dan meskipun elektabilitas masih di bawah Ganjar, bukan perkara yang sulit untuk mendongkraknya," pungkas Afrimadona.
Respons pertanyaan Hary Tanoesoedibjo
Pernyataan Jokowi soal Presiden yang akan menggantikannya nanti tersebut berawal dari permintaan Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo kepada Jokowi untuk memberikan tips agar raihan suara Perindo tinggi pada Pileg 2024 mendatang.
Harry Tanoe meminta tips kepada Presiden karena Jokowi terbukti dari Wali Kota Solo dapat menjadi Presiden Indonesia selama dua periode.
Jokowi kemudian membenarkan bahwa dirinya dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur Jakarta lalu menjadi Presiden.
Bahkan pada periode keduanya dia mengalahkan Prabowo.
“Tadi Pak Hary menyampaikan saya ini dua kali wali kota di Solo menang, kemudian ditarik ke Jakarta, gubernur sekali menang. Kemudian dua kali di pemilu Presiden juga menang. Mohon maaf Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo,” ujar Jokowi.
Terkait tips agar dapat terus menang, Presiden berseloroh. Ia mengatakan tips tersebut bila diceritakan akan memakan waktu yang panjang.
“Tadi Pak Hary Tanoe menyampaikan tipsnya apa, kalau cerita akan panjang sekali, silahkan bapak Ibu yang ingin tahu tips datang ke saya bawa gula dan teh,” pungkasnya.
Jokowi panen kritik
Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut Pilpres 2024 sepertinya jatah Prabowo Subianto memantik sejumlah kritikan.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai dukungan Jokowi kepada Prabowo, melanggar etik.
Hal ini karena lontaran Jokowi tersebut menunjukkan semacam dukungan pada calon presiden berikutnya.
"Tentu saja sangat melanggar etik. Karena perkataannya jelas menunjukkan semacam endorsement pada calon presiden berikutnya," kata Bivitri.
Diberitakan Tribunnews.com, ia juga menambahkan, banyak respons dari elite partai yang mengatakan tindakan tersebut hanya sekadar basa-basi.
Namun, jelas Bivitri, di situ lah letak etik bagi penyelenggara negara.
Dalam berkomentar, bagi seorang penyelenggara negara, ada batas-batas etiknya.
Sebab ucapan ini bakal berpengaruh pada situasi politik bahkan kebijakan.
"Memang ada sebagian yang pasti akan bilang itu hanya basa basi. Tapi justru di situ letak etik bagi penyelenggara negara, dalam keseharian, dalam berkomentar, ada batas-batas etik yang tinggi," ujar Bivitri.
"Karena setiap perkataan seorang penyelenggara negara, apalagi presiden, bisa berpengaruh pada situasi politik, bahkan kebijakan," tambahnya.
Lebih lanjut, dalam hal perkataan Jokowi ke Prabowo, Bivitri menjelaskan hal tersebut bisa saja kelihatan remeh, tapi ada dua konteks makna di baliknya.
"Pertama dalam negosiasi politik yang sekarang ini tengah dilakukan. Kedua kebijakan yang mungkin harus atau akan diambil terkait dengan putusan MK mengenai menteri yang nyapres atau nyaleg," tegasnya.
Lebih lanjut, perkataan Jokowi ini dinilai seakan-akan Indonesia bukan lagi negara demokrasi lagi, tetapi monarki.
Sebab, penguasa selanjutnya harus disetujui oleh penguasa yang sekarang.
Juga, tindakan ini seakan-akan menunjukkan pihaknya mau bergantian dalam menduduki kursi kepemimpinan.
"Karena Prabowo kan dulu rival jokowi, jadi ganti-gantian saja. Sangat elitis, hanya siapa di lingkaran itu yang bisa ganti menggantikan," jelas Bivitri.
Tanggapan PKS
Sementara itu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai pernyataan Jokowi mendukung Prabowo sebagai calon presiden di Pilpres 2024 tidak etis.
"Iya (tidak etis)," kata Juru Bicara PKS M Kholid kepada Tribunnews.com, Rabu (9/11/2022).
Kholid mengatakan presiden merupakan kepala pemerintahan sekaligus kepala negara.
"Maka sikapnya harus sebagai negarawan bukan politisi semata apalagi menjadi supporter kandidat, itu tidak baik," ujarnya.
Menurut Kholid, seorang presiden harus berdiri di atas semua kelompok, bersikap adil, dan proporsional untuk semua.
"Tugas pemimpin menghadirkan sense of justice, sense of equity, jadi ada fairness. Inilah yang akan menjadi modal besar dalam merekatkan rasa persaudaraan sesama anak bangsa," imbuhnya.
Demokrat: Jokowi Terlalu Jauh
Sementara itu Ketua Dewan Kehormatan DPP Demokrat Hinca Panjaitan juga menyatakan bahwa Jokowi terlalu jauh dalam meramaikan bursa pencapresan.
Menurutnya ada banyak persoalan bangsa yang harus dipikirkan Jokowi, seperti urusan politik, hingga pandemi Covid-19, ketimbang urusan calon presiden.
"Saya kira Presiden tidak mesti terlalu jauh ikut meramaikan bursa pencapresan," ujarnya, dilansir Tribunnews.
PDIP Ingatkan Jokowi
Kritik untuk Jokowi juga hadir dari partai yang menaungi Presiden, PDIP.
Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah mengingatkan agar Jokowi tak terlibat dalam politik praktis.
Misalnya seperti urusan Pilpres mendatang.
"Presiden RI kan tidak boleh terlibat di dalam kontestasi pemilu," kata Basarah ditemui di Bandung, Jawa Barat, Selasa (8/11/2022).
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News
