Kabar Tokoh
Profil Rasuna Said yang Memperjuangkan Persamaan Hak Wanita, Tulisannya Menentang Kolonial
Inilah profil HR Rasuna Said, pahlwan wanita yang berjuang untuk persamaan hak pria dan wanita di masanya
Penulis: Dian Anditya Mutiara | Editor: Dian Anditya Mutiara
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Google doodle hari ini, Rabu (14/9/2022) menggambarkan sosok wanita berkerudung dan berkacamata, dialah Rasuna Said.
Tidak ada yang menyangka Jalan HR Rasuna Said di Kuningan, Jakarta selatan merupakan pahlwan wanita.
Bernama lengkap Hajjah Rangkayo Rasuna Said adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia.
Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita.
Rasuna Said dilahirkan pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.
Ia merupakan keturunan bangsawan Minang. Ayahnya bernama Muhamad Said, seorang saudagar Minangkabau dan bekas aktivis pergerakan.
Baca juga: NasDem Bicara Kemungkinan Deklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres Bertepatan dengan Hari Pahlawan
Rasuna Said dikenal dengan tulisan-tulisannya yang tajam.
Pada tahun 1935 Rasuna menjadi pemimpin redaksi di sebuah majalah, Raya.
Majalah ini dikenal radikal, bahkan tercatat menjadi tonggak perlawanan di Sumatra Barat.
Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan.
Sedangkan tokoh-tokoh PERMI yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial ini, justru tidak bisa berbuat apapun.
Rasuna sangat kecewa. Ia pun memilih pindah ke Medan, Sumatra Utara.
Pada tahun 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat koran mingguan bernama Menara Poeteri.
Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, "Ini dadaku, mana dadamu".
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.
Rasuna Said mengasuh rubrik "Pojok". Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga.
Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Baca juga: Selain Dijadikan Nama Jalan, Ridwan Kamil akan Perjuangkan KH Mamun Nawawi Jadi Pahlawan Nasional
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, "Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian.
Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional."
Akan tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan.
Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halaman, Sumatra Barat.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia.
Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatra mewakili daerah Sumatra Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan.
Ia diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959 sampai akhir hayatnya.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Rasuna bekerja dengan organisasi-organisasi pro-republik, dan pada tahun 1947 menjadi anggota senior dan ketua bagian perempuan Front Pertahanan Nasional.
Dia kemudian bergabung dengan Volksfront, yang merupakan bagian dari Serikat Perjuangan yang didirikan oleh nasionalis-komunis Tan Malaka.
Akibat gesekan antara organisasi ini dengan pemerintah daerah, Rasuna ditempatkan dalam tahanan rumah selama seminggu.
Rasuna juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera, dan pada Juli 1947 menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan legislatif sementara.
Menjelang sidang keenam KNIP pada tahun 1949, ia diangkat menjadi Badan Pekerja KNIP mewakili Sumatra.
Pada tahun 1950, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara.
Pada tahun 1959 ia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, posisi yang dipegangnya sampai kematiannya di Jakarta pada tahun 1965.
Kampanye hak perempuan
Rasuna secara aktif berkampanye untuk hak-hak pendidikan dan politik perempuan, percaya bahwa keyakinan reformisnya memberikan dasar untuk mengadvokasi perempuan.
Keyakinan agamanya meyakinkannya bahwa perempuan harus terdidik.
Ketika dia pindah ke Padang pada tahun 1931, dia kecewa ketika mengetahui bahwa perempuan dilarang mengenyam pendidikan dan politik aktif.
Di sana ia mendirikan sekolah dan mendirikan bagian Permi untuk perempuan dan anak perempuan.
Kehidupan pribadi
Pada tahun 1929, Rasuna menikah dengan Duski Samad, seorang rekan pengajar dan aktivis politik. Orang tuanya tidak merestui pernikahan tersebut.
Mereka memiliki seorang putri, tetapi pernikahan itu berakhir dengan perceraian di awal tahun 1930-an.
Dia kemudian diam-diam menikah dengan Bariun AS, meskipun dia mengatakan bahwa perjuangan kemerdekaan lebih penting daripada suaminya.
Rasuna Said meninggal di Jakarta karena kanker darah pada 2 November 1965.
Ia meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Pada tanggal 13 November 1974, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/Tahun 1974, ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan oleh presiden Soeharto, perempuan kesembilan yang dianugerahi kehormatan ini.
Sumber: Wikipedia