Peretasan Data

Bjorka Singgung Kasus Pembunuhan Munir Thalib dan Misteri Hilangnya Data Investigasi TPF

Kasus kematian aktivis HAM Munir Thalib kembali mencuat usai hacker Bjorka menyinggung nama terdakwa kasus pembunuhan tersebut Muchdi Purwopranjono.

Penulis: Desy Selviany | Editor: Desy Selviany

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kasus kematian aktivis HAM Munir Thalib kembali mencuat usai hacker Bjorka menyinggung nama terdakwa kasus pembunuhan tersebut Muchdi Purwopranjono.

Nama Muchdi Purwopranjono sempat mencuat usai ditetapkan sebagai terdakwa kasus pembunuhan Munir. 

Namun, ia diputuskan bebas oleh hakim dan dinyatakan tidak terlibat dalam kematian Munir.

Diketahui usai berhasil meretas 1,3 miliar data penduduk Indonesia, nama hacker Bjorka terus mencuat.

Lewat akun anonimnya di twitter, Bjorka mengaku berhasil membobol data BIN untuk Presiden, surat Supersemar, hingga data pribadi Menkominfo Johnny G Plate.

Bahkan belakangan, Bjorka juga mengunggah data pribadi Muchdi Purwopranjono saat ditanya netizen terkait misteri pembunuh aktivis HAM Munir Thalib.

Dalam keterangannya, Bjorka kembali menagih janji Presiden Jokowi yang tidak kunjung menuntaskan kasus kematian Munir Thalib.

Ia juga menagih pemerintah agar kasus kematian Munir Thalib berubah statusnya menjadi Pelanggaran HAM Berat.

Lalu bagaimana misteri kasus kematian Munir Thalib?

Kenapa kasusnya bisa terkatung-katung hingga 18 tahun lamanya?

Dikutip dari Kompas.com, penyelidikan kasus Munir Thalib sudah berlangsung sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Jokowi.

Di era SBY, berbagai upaya penuntasan kasus pembunuhan Munir Thalib.

Misalnya saja dengan menerbitkan Perpres nomor 111 Tahun 2004 tentang “Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir”. Perpres itu diteken pada 23 November 2004.

Dalam dokumen tercatat ada 11 orang yang dilibatkan dalam TPF.

Mereka adalah Bambang Widjajanto, Hendardi, Usman Hamid, Munarman, Smita Notosusanto, I Putu Kusa, Kamala Tjandrakirana, Nazarudin Bunas, Retno Marsudi Arif Havas Oegroseno, Rachland Nashidik, dan Mun'im Idris.

Akan tetapi, Bambang memutuskan tidak mau terlibat dalam tim itu karena merasa tidak sesuai kesepakatan antara pemerintah dan para aktivis karena kewenangan yang minim.

Setelah sekian lama berjalan, TPF kemudian menyerahkan hasil investigasi secara langsung kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 24 Juni 2005 di Istana Negara dan tidak melalui Sekretariat Negara.

Hal itu dibenarkan oleh mantan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra.

Namun kata Yusril, data TPF itu diserahkan langsung ke SBY oleh Tim TPF.

Sehingga tidak melalui Sekretariat Negara.

"Setahu saya pada waktu itu TPF menyerahkan laporan itu langsung by hand kepada Presiden," kata Yusril saat dihubungi Kompas.com pada 13 Oktober 2016.

Yusril menjelaskan, saat itu SBY tidak memerintahkan agar Sekretariat Negara mengarsipkan dokumen tersebut.

Oleh karena itu, Yusril menilai wajar apabila saat ini dokumen tersebut tidak ada di Sekretariat Negara.

"Kalau ditanya ke saya di mana arsip itu, ya tanya saja sama SBY," kata dia.

Yusril menilai, memang tidak semua dokumen yang diserahkan kepada Presiden harus diregistrasi di Setneg.

Hanya saja, yang jadi permasalahan adalah SBY tidak mengumumkan dokumen hasil tim pencari fakta itu hingga akhir masa jabatannya.

Akan tetapi, dokumen itu tak pernah dibuka ke masyarakat. Bahkan, saat pemerintah diminta membukanya, dokumen penyelidikan TPF diklaim hilang.

Hilangnya dokumen itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016, yakni pada saat KontraS mendatangi kantor Setneg meminta penjelasan dan mendesak supaya hasil laporan TPF segera diumumkan.

Pada 28 April 2016, KontraS bersama istri Munir, Suciwati, mendaftarkan permohonan sengketa informasi ke KIP, mendesak Kementerian Sekretariat Negara mengumumkan Laporan TPF Kasus Munir.

Kontras berharap KIP bisa memecahkan kebuntuan dalam penuntasan kasus Munir, sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Dalam sidang keenam pada 19 September 2016, Kepala Bidang Pengelola Informasi Publik Kemensetneg, Faisal Fahmi, menyangkal jika Kemensetneg menyimpan laporan hasil investigasi TPF Kasus Munir.

Kemensetneg, kata dia, hanya menerima laporan terkait administrasi, misalnya anggaran.

Sementara laporan terkait hasil investigasi TPF, lanjut Faisal, tidak disimpan Kemensetneg.

Setelah menjalani sejumlah persidangan, pada 10 Oktober 2016, KIP kemudian membuat putusan bahwa hasil investigasi dan alasan pemerintah tak juga membukanya ke publik merupakan informasi yang wajib diumumkan.

Namun, Kemensetneg mengaku tak memiliki dokumen tersebut.

Mendengar respon tersebut, SBY mengundang sejumlah pihak di eranya untuk memberikan keterangan.

Salah satunya mantan Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

Sudi Silalahi mengaku sudah menyerahkan enam eksemplar salinan dokumen TPF Munir yang diserahkan kepada pemerintah,

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved