Diminta Mundur karena Pidato Amplop Kiai, Ketua Umum PPP: Dipotong Lalu Diviralkan, Tidak Fair
Desakan mundur melalui surat yang disampaikan itu, katanya, juga tidak ada dalam mekanisme partai.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa diminta mundur oleh tiga ketua majelis, gara-gara ucapan 'amplop kiai' yang dinilai sejumlah pihak mencemarkan nama baik kiai dan pesantren.
Suharso mengaku belum menerima secara fisik surat permintaan mundur tersebut.
Desakan mundur melalui surat yang disampaikan itu, katanya, juga tidak ada dalam mekanisme partai. Ia menganggap surat tersebut sebagai permintaan untuk klarifikasi alias tabayun.
“Secara fisik itu surat saya belum terima. Tapi saya lihat sudah beredar di masyarakat."
"Kedua, mekanisme itu tidak dikenal di partai. Ketiga, saya memahaminya sebagai permintaan tabayun, untuk dijelaskan,” kata Suharso di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Suharso menjelaskan, pidatonya mengenai amplop kiai yang beredar tersebut, telah dipotong, sehingga keluar dari konteks dan salah dipahami.
Baca juga: Kapolri Perintahkan Nasib Irjen Ferdy Sambo Diputuskan pada Sidang Etik Hari Ini Juga
Padahal, katanya, pidato tersebut berkesinambungan.
“Jadi, kemudian pidato saya dipotong, sedemikian rupa, keluar dari konteks, diviralkan. Itu yang tidak fair menurut saya,” tuturnya.
Menurut Suharso, pidatonya tersebut untuk mengingatkan dan mengedukasi budaya anti- korupsi. Terlebih, ia merupakan salah satu ketua Stranas pencegahan korupsi.
Baca juga: Besok Putri Candrawathi Diperiksa Sebagai Tersangka Kasus Pembunuhan Brigadir Yosua di Bareskrim
Suharso mengatakan, dalam pidato tersebut sebenarnya ia mencontohkan budaya anti-korupsi dalam konteks politik. Pidato tersebut melanjutkan pidato yang disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron.
“Saya hadir sebagai pengurus politik dan dalam waktu menjelang pemilu."
"Sementara Pak Nurul Ghufron mengingatkan PPP itu adalah partai yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa."
Baca juga: Dipanggil MKD, Mahfud MD Ogah Ungkap Nama Anggota DPR yang Diduga Sempat Dihubungi Ferdy Sambo
"Harus diingat bahwa PPP mengenal manusia pada waktu lahir itu kan menjadi abdun dan menjadi khalifah, jangan semua serba uang."
"Tapi tampaknya PPP itu ragu, sehingga jangan sampai sebagai partai yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa itu diganti menjadi keuangan yang kuasa.”
“Jadi itu peringatan keras yang luar biasa. Itu saya coba sampaikan, konteksnya itu,” jelas Suharso.
Baca juga: Ulahnya Bikin Banyak Polisi Terseret, Ferdy Sambo Tulis Surat Permintaan Maaf
Namun, pidato pada Forum Pendidikan Anti Korupsi yang diselenggarakan KPK pada 15 Agustus itu, kata Suharso, dibiaskan, sehingga mengakibatkan orang salah memahaminya.
“Jadi tidak ada maksud saya tidak menghormati kiai sama sekali. Ini partai persatuan pembangunan itu kan didirikan para ulama,” ucapnya.
Sebelumnya, dalam kegiatan pembekalan antikorupsi kepada para pengurus PPP, Suharso Monoarfa menceritakan pengalaman pribadinya saat berkunjung ke pondok pesantren besar, guna meminta doa dari beberapa kiai yang menurutnya juga kiai besar.
Baca juga: Densus 88 Ciduk Lima Tersangka Teroris JI dan Anshor Daulah di Jakarta, Sumsel, dan Jambi
"Waktu saya Plt. Ini demi Allah dan Rasul-Nya terjadi. Saya datang ke kiai itu dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja."
"Ya, saya minta didoain kemudian saya jalan. Tak lama kemudian saya dapat pesan di WhatsApp, 'Pak Plt, tadi ninggalin apa enggak untuk kiai?" Cerita Suharso.
Suharso yang merasa tidak meninggalkan sesuatu di sana, sempat menduga ada barang cucunya yang tertinggal di pesantren tersebut.
Baca juga: AKP Edi Nurdin Massa Diduga Terlibat Jaringan Pengedar Narkoba, Bareskrim Masih Dalami
Kata orang yang mengirim pesan ke dia, bukan barang yang tertinggal. Setelah dijelaskan harus ada pemberian untuk kiai dan pesantren, ujar Suharso, dia bahkan sempat menyebutkan tidak membawa sarung, peci, Alquran, atau lainnya.
“Kayak enggak ngerti aja Pak Harso ini, gitu Pak Guru. I've provided one, every week.""
"Dan bahkan sampai saat ini, kalau kami ketemu di sana, itu kalau salamannya enggak ada amplopnya, Pak, itu pulangnya itu, sesuatu yang hambar," bebernya. (Taufik Ismail)