Penguatan Sistem Presidensial dan Penyederhanaan Parpol Jadi Alasan MK Tolak Gugatan PT 20 Persen

Kedua alasan itu membuat permohonan terkait gugatan presidential threshold, hingga saat ini belum mampu membuat MK mengubah keputusan.

Kompas.com
Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mempertahankan aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR, atau 25 persen total perolehan suara nasional. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mempertahankan aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen kursi DPR, atau 25 persen total perolehan suara nasional.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan, keputusan MK mempertahankan presidential threshold dilakukan, karena hingga kini belum ada sesuatu hal yang dianggap perlu diubah dari putusan sebelumnya.

Fajar menyebutkan, MK masih mempertahankan presidential threshold, juga dengan memperhatikan putusan-putusan sebelumnya, yang menolak ubahan aturan ambang batas pencalonan presiden tersebut.

Baca juga: Duta Besar Ukraina: Serangan Rusia Berhenti Saat Jokowi Datang, Terima Kasih Banyak Mister Presiden

“Pertama, itu dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial."

"Kemudian penyederhanaan partai politik secara alamiah.”

“Kira-kira dua hal itu pendirian Mahkamah Konstitusi dalam pemilihan tafsir konstitusional hari ini terkait dengan presidential threshold,” kata Fajar Laksono dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (13/7/2022).

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 13 Juli 2022: 12 Pasien Meninggal, 1.939 Orang Sembuh, 3.822 Positif

Kedua alasan itu, sambung Fajar, membuat permohonan sejumlah pemohon terkait gugatan presidential threshold, hingga saat ini belum mampu membuat MK mengubah keputusan.

Sedangkan alasan MK menolak judicial review terkait pelaksanaan pemilu serentak, kata Fajar, bukan pertama kalinya MK menolak gugatan tersebut, melainkan sudah dipertimbangkan pada putusan-putusan sebelumnya.

Pada putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, kata Fajar, sudah dipertimbangkan alasan Mahkamah menyatakan pemilu terpisah adalah inkonstitusional, sedangkan pemilu serentak ditetapkan konstitusional.

Baca juga: JADWAL Pemulangan Jemaah Haji Indonesia, Kloter Pertama Tiba pada 15 Juli 2022

Kemudian pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah memberikan lima pilihan model keserentakan pemilihan umum, yang tetap dapat dinilai konstitusional berdasarkan hasil penelurusan kembali original intent pembahasan amandemen UUD 1945.

“Di putusan 55 itu ada lima variasi, atau keenamnya boleh lain-lain, sepanjang menjaga keserentakkan pemilihan DPD, DPR dan Pilpres.”

“Itu sebetulnya kenapa kemudian MK dengan menggunakan Pasal 54 UU MK juga menganggap tidak perlu mendengarkan keterangan ahli lebih lanjut."

Baca juga: Vaksin Covid-19 BUMN Diuji Klinis Fase Ketiga, Bio Farma Tunggu Izin Penggunaan Darurat dari BPOM

"Karena pendirian itu sudah jelas isu konstitusional, yang dipersoalkan dalam hal ini, itu sudah sangat jelas,” bebernya. 

Pada Kamis (7/7/2022) lalu, MK menolak setidaknya empat gugatan sekaligus, yakni terkait presidential threshold, pemilu serentak, penunjukan penjabat (PJ) Gubernur DKI Jakarta dan Papua, serta verifikasi partai politik peserta pemilu. (Naufal Lanten)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved