Berita Nasional

Petani Menjerit Harga Sawit Terjun jadi Rp500/kg, Said Didu Minta Jokowi Sedikit 'Berpikir Sehat'

Said Didu menyinggung kebijakan yang dikeluarkan Pemerintahan Joko Widodo yang nyatanya justru tak menyelesaikan permasalahan

Editor: Feryanto Hadi
TRIBUNNEWS/LITA FEBRIANI
Said Didu mengkritik kebijakan presiden Jokowi mengenai ekspor CPO 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Mantan Sekretaris BUMN, Said Didu, prihatin dengan nasib yang dialami petani sawit di Indonesia.

Akibat ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah, harga sawit kini anjlok hingga harga terbawah.

Para pun menjerit dan tak tahu harus berbuat apa.

Said Didu pun menyinggung kebijakan yang dikeluarkan Pemerintahan Joko Widodo yang nyatanya justru tak menyelesaikan permasalahan yang dihadapi petani sawit.

"Bapak Presiden yth, betapa kebijakan Bapak sudah menyiksa rakyat Bapak (petani sawir) menjadi seperti ini. Semoga Bpk Presiden berkenan sedikit berpikir sehat dalam mengambil kebijakan," tulis Said Didu dikutip dari twitter, Senin (4/7/2022).

Di sisi lain, Jokowi menyinggung kiprah para buzzer yang seolah tutup mata dan hati terkait kondisi yang dialami petani.

"Semoga para buzzer tdk menyatakan bhw kebijakan Presiden Jokowi berhasil mengekspor tdk hanya CPO tapi juga tandan buah segar. Sambil tepuk tangan," imbuhnya

Diberitakan sebelumnya, semenjak pemerintah mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya pada 23 Mei lalu, tandan buah segar sawit (TBS) petani menurun drastis.

Hal tersebut didapat dari data Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI).

Menurut APPKSI,  untuk periode II – Januari 2022, sawit umur 3 tahun Rp 2.471,25/Kg; sawit umur 4 tahun Rp 2.640,54/Kg; sawit umur 5 tahun Rp 2.820,13/Kg; sawit umur 6 tahun Rp 2.908,64/Kg; sawit umur 7 tahun Rp 3.014,68/Kg.

Sawit umur 8 tahun Rp 3.108,54/Kg. Sawit umur 9 tahun Rp 3.160,16/Kg; sawit umur 10-20 tahun Rp 3.304,81/Kg. Lantas sawit umur 21 tahun 3.247,92/Kg.

Sawit umur 22 tahun Rp 3.233,38/Kg; sawit umur 23 tahun Rp 3.156,85/Kg; Sawit umur 24 tahun Rp 3.051,78 /Kg; dan sawit umur 25 tahun Rp 2.953,19/Kg

Baca juga: Mendag Zulhas Minta Produsen Minyak Goreng Beli Sawit Petani Minimal Seharga Rp1.600 per Kilogram

Dan saat ini harga TBS akibat efek domino pelarangan ekspor CPO dan turunannya pada 28 April-22 Mei 2022 turun ke bawah Rp1.000 per kg.

Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp500-1.070 per kg.

Pengurus Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) berharap pemerintah untuk memperhatikan nasib petani sawit yang mengalami anjloknya harga.

Ketua Umum APPKSI, Muhammadyah meminta pemerintah turun tangan agar bisa mengembalikan harga Tandan Buah Segar (TBS) pada harga kewajaran sesuai harga CPO dunia dengan mencabut aturan DMO dan DPO.

Upaya itu, kata dia, dilakukan agar ekspor CPO dapat dipermudah untuk mengurangi tumpukan CPO di tangki penimbunan CPO di Pabrik Kelapa Sawit (PKS).

Baca juga: Direktur Sawit Watch Beberkan Laporan yang Belum Ditanggapi KPK dan KLHK, Soal Dugaan Kasus Korupsi?

"Jika tidak dilakukan akan terus berdampak buruk pada harga TBS petani plasma sawit yang akhirnya menyebabkan petani kesulitan membayar angsuran pinjaman untuk membangun kebun plasma pada bank dan akan juga menyebabkan petani sulit untuk membeli pupuk," ujar Muhammadyah melalui keterangan tertulisnya, Rabu (29/6/2022)

"Petani Sawit merugi sekitar Rp1.500.000 - 2.000.000 per ha per bulan. Sementara untuk kerugian petani sawit swadaya seluruh Indonesia dari bulan April-Juni ini sudah kurang lebih sekitar Rp 50 triliun," tambah Muhammadyah.

Dia mengungkapkan, penyebab dari jatuhnya harga TBS yang berdampak pada tingkat kesejahteraan petani sawit diakibatkan oleh beberapa kebijakan yang inkonsisten.

Antara lain peraturan tentang DMO (domestic market obligation) dan DPO (domestic price obligation) yang gagal menjadi solusi malah diberlakukan kembali pasca pencabutan pelarangan ekspor oleh pemerintah

Sehingga menyebabkan penumpukan CPO yang jumlahnya jutaan ton di PKS yang belum bisa terjual akibat pemberlakuan kebijakan DMO dan DPO yang justru memepersulit ekspor CPO.

Baca juga: BPK Temukan 2,9 Juta Hektar Perkebunan Kelapa Sawit Tanpa Izin, Legislator PKS: KLHK Kemana Saja?

Selain itu, kata dia, penerapan pajak pungutan ekspor CPO yang tinggi pajak dan pungutan ekspor (levy) menyebabkan jatuhnya harga tandan buah segar petani sawit. Di mana total pajak ekspor dan levy yang dibayarkan pelaku usaha sawit mencapai USD 575 per ton CPO yang di ekspor.

"Beban yang besar ini pada akhirnya juga akan ditanggung oleh petani sawit karena harga TBS tidak akan pernah bisa pararel dengan harga CPO di pasar internasional," jelas dia.

Ia mengungkapkan komoditas sawit dipaksa untuk menanggung beban pungutan hingga setengah harga barangnya yang ujung-ujungnya dibebankan ke petani.

Selain harga yang masih rendah, penjualan TBS petani sawit masih susah dan bernilai rendah akibat kebijakan kebijakan DMO dan DPO yang justru membuat ekspor CPO untuk masuk ke pabrik sulit.

Dan harus mengantri 2-3 hari karena beberapa pabrik masih menerapkan pembatasan pembelian TBS untuk petani swadaya. Harga TBS anjlok saat ini yang tinggal Rp 500 - 1.000 per kilogram padahal keran ekspor sudah mulai dibuka.

Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 98/PMK.010/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.010/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar kata dia menjadi salah satu penyebabnya.

Dimana dalam aturan itu, Minyak Sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang akan dikirim ke luar negeri dikenakan pajak yang sangat tinggi yakni 32,5 persen hingga 49,9 persen.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia pajak atau pungutan yang diberlakukan disana hanya 6 sampai 8 persen. Itulah kenapa harga TBS kelapa sawit di Malaysia memiliki harga Rp 4.000 - 5.000 per kilogram.

"Kami minta pemerintah sekarang mempercepat ekspor CPO, dipermudah agar harga TBS bisa cepat normal," ujarnya.

Selain itu, kata dia, perlu semakin dimaksimalkan pengawasan di pabrik-pabrik kelapa sawit yang beralasan tangkinya penuh supaya petani tidak menjadi korban dimana ini merupakan kondisi darurat.

Ia mengungkapkan dalam kondisi alamiah setiap bulan produksi minyak sawit sekitar 4 juta ton, ekspor 3 juta ton. Lalu stok akhir akan sekitar 2-3 juta ton.

"Tapi karena ada DMO dan DPO, apalagi dengan rasio 1:5, dimana DMO 300 ribuan ton, berarti yang bisa diekspor adalah 1,5 jutaan ton. Artinya, ada akumulasi penumpukan di tangki CPO. Karena kondisi penuh, maka PKS mengurangi pembelian TBS, sehingga membuat petani sawit merugi," pungkas Muhammadyah.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved