Ginandjar Kartasasmita Sebut 24 Tahun Reformasi Justru Lahirkan Oligarki dan Kleptokrasi

Prof. Ginandjar Kartasasmita menilai bahwa 24 tahun reformasi yang dijalankan di Indonesia justru melahirkan oligarki dan Kleptokrasi.

Tangkapan layar Youtube Institut Harkat Negeri/Mochammad Dipa
Prof. Ginandjar Kartasasmita menjadi keynote speaker dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri. (Tangkapan layar Youtube Institut Harkat Negeri/Mochammad Dipa) 

WARTAKOTALIVE.COM, DHARMAWANGSA - 24 tahun sudah Indonesia mengalami reformasi sejak digulirkan pada reformasi 1998 lalu. Hanya saja Prof. Ginandjar Kartasasmita menilai bahwa reformasi yang dijalankan di Indonesia hingga saat ini malah terbentuk orang-orang yang lebih menikmati reformasi daripada pihak yang lain secara tidak proporsional.

Karena itu, tak heran jika lahir oligarki atau pemerintahan yang dijalankan oleh orang dari golongan atau kelompok tertentu.

 “Saya mengamati seharusnya kekuasaan itu kan mestinya amanat, tapi banyak banyak perasaannya untuk dinikmati. Saya berhak kok disini dan yang terpenting saya kepilih, begitu dia terpilih pikirannya bagaimana dirinya kepilih lagi,” ujar Ginandjar saat menjadi keynote speaker dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Jl. Dharmawangsa Raya No.23, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri.

Selain itu, ada pula kleptokrasi. Artinya, pemerintahan dijalankan oleh orang-orang yang mencari status dan keuntungan pribadi dengan mengorbankan rakyatnya sendiri.

Ginandjar berpendapat saat ini terjadi pergeseran model korupsi yang tadinya birokratis menjadi politis.

"Kalau dulu, yang korupsi dirjen-dirjen gitu kepala-kepala bidang keuangan, kepala proyek. Sekarang kan yang korupsi kan menterinya anggota DPR nya, Gubernurnya," ungkapnya.

Ia pun menilai salah satu penyebab maraknya korupsi oleh politisi karena besarnya ongkos demokrasi di Indonesia. Ginandjar pun membandingkan situasi ini dengan Jepang.

"Problem utamanya biaya demokrasi di Indonesia. Kalau di Jepang itu kampanye partainya yang bayar," katanya.

Reformasi jilid 2

Sementara, guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra, bicara soal demokrasi Indonesia. Dia menilai Indonesia butuh reformasi jilid 2 secara damai.

"Jadi sekarang kita membutuhkan reformasi jilid dua tapi yang damai, bukan yang berdarah-darah seperti 1998. Terutama saya kira politik ya, politik kita perlu reformasi yang luar biasa," ucapnya.

Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra saat menjadi pembicara dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri.
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Azyumardi Azra saat menjadi pembicara dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri. (Tangkapan layar Youtube Institut Harkat Negeri/Mochammad Dipa)

Azyumardi juga menilai demokrasi di Indonesia semakin cacat gara-gara kebijakan-kebijakan yang bertolak belakang dengan demokrasi.

"Demokrasi kita ini semakin cacat. Ini saya kira berangkat dari kebijakan-kebijakan yang sebetulnya bertolak belakang dengan demokrasi, desentralisasi dan semuanya diam. Tidak ada orang yang kritis mempermasalahkan itu," katanya.

Krisis hukum

Hal senada juga disampaikan Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti yang menilai Indonesia memerlukan reformasi kedua. Reformasi tersebut nantinya akan menjadi jalan keluar krisis yang tengah dihadapi Indonesia. salah satunya krisis hukum

"Saya ingin mengingatkan reformasi hukum yang selama 24 tahun ini belakangan bisa dibilang agak mundur. Saya akan menegaskan bahwa kita memang butuh reformasi lagi. Kita butuh," ucap Bivitri.

Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti saat menjadi pembicara dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti saat menjadi pembicara dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri. (Tangkapan layar Youtube Institut Harkat Negeri/Mochammad Dipa)

"Bicara reformasi kedua, saya kira yang perlu diperbaiki adalah orang-orang yang kritis dibungkam. Itu bentuk pelanggaran HAM. Bagaimanapun pembungkaman adalah pelanggaran HAM," tambahnya.

Selain krisis hukum, lanjut Bivitri, masih banyak krisis lain yang perlu dibenahi oleh pergerakan reformasi. Menurutnya, Indonesia saat ini sudah memiliki infrastruktur yang baik. Hanya saja, Bivitri menyoroti adanya krisis demokrasi.

"Kita punya infrastruktur bagus, tapi secara substansi kita rapuh luar biasa, dan yang membuat rapuh adalah aktor demokrasi itu sendiri," sebutnya. 

Ia menambahkan, reformasi bisa dilakukan dengan pembentukan peraturan lain undang-undang yang bisa mengatasi krisis-krisis tersebut.

"Mungkin kalangan menengah tidak terlalu merasakan, tapi dampak krisis ini sangat terasa di kalangan menengah ke bawah," kata Bivitri.

Koreksi demokrasi

Sedangkan, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said menilai, setelah 24 tahun reformasi berjalan, perlu ada mekanisme dan jalur koreksi apabila ada gerak langkah negara yang tidak sesuai dengan tujuannya.

”Apakah hak dasar bangsa untuk koreksi telah sepenuhnya dilindungi,” ungkap pria yang juga menjabat Sekjen PMI ini.

Saat ini, lanjut Sudirman Said, koreksi terhadap demokrasi dan pembangunan harus terus berjalan. Namun, hal itu cukup sulit dilakukan.

Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri.
Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said dalam acara Peringatan dan Refleksi 24 Tahun Reformasi dengan tema 'Reformasi dan Jalan Keluar Krisis' di Bimasena Club, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (21/5/2022) yang juga ditayangkan di kanal Youtube Institut Harkat Negeri. (Tangkapan layar Youtube Institut Harkat Negeri/Mochammad Dipa)

"Satu eksaminasi harus dilakukan dengan jujur karena bangsa ini memang ingin tumbuh terus sebagaimana amanat para pejuang, para pendiri bangsa,” ungkapnya.

Menurut Sudirman Said, ini bukan perkara mudah karena itulah sebabnya pemeriksaan atas kinerja demokrasi dan pembangunan kerap kali menggunakan standar yang bersifat global.

"Cara ini mungkin baik untuk memenuhi kebutuhan independensi tapi sebelumnya ini refleksi bahwa di antara kita sesungguhnya sedang kehilangan rasa saling percaya sehingga diperlukan satu ukuran-ukuran yang sifatnya global," pungkas Sudirman Said. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved