Desak Yaqut Cholil Qoumas Diproses Hukum, Novel Bamukmin: Lebih Parah dari Sukmawati
Novel memastikan pihaknya bakal terus menggelar aksi unjuk rasa, hingga Yaqut diproses hukum.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Persaudaraan Alumni (PA) 2012 menuntut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas segera diproses hukum, atas dugaan penistaan agama.
"Sampai saat ini kita belum ada kabar sudah diproses, sudah sampai mana, padahal laporan kemarin udah ada yang melapor lagi."
"Sudah diterima kemarin kita di Mabes Polri," kata Wasekjen PA 212 Novel Bamukmin, saat ditemui awak media di sela aksi di Monas, Jakarta Pusat, Jumat (25/3/2022).
Baca juga: Ini Peran Lima Teroris Pendukung ISIS yang Diciduk Densus 88, Ada Perempuan Bekas Napiter
Novel memastikan pihaknya bakal terus menggelar aksi unjuk rasa, hingga Yaqut diproses hukum.
"Nah, tinggal kita menunggu sampai saat ini follow up-nya gimana kasus itu menggelinding, iya kan?"
"Kita berharap demo demi demo ini akan bisa memproses (Menag) Yaqut," ucap Novel.
Baca juga: Sebelumnya Diceraikan Istri Pertama, Suharso Monoarfa Kini Gugat Cerai Nurhayati Effendi
Novel Bamukmin turut menyinggung perkara serupa yang pernah dilakukan beberapa pihak.
"Karena kalau kita melihat yurisprudensinya, Yaqut itu sudah bisa diproses."
"Yaqut itu sama dengan Sukmawati, bahkan lebih parah dari Sukmawati."
Baca juga: Jabatan Komut Ketua JoMan Dicopot, Kuasa Hukum Munarman: Bukti Hukum Ditunggangi Kepentingan Politik
"Yursiprudensinya adalah Sukmawati yang menandingi azan dengan kidung, ini yang menganalogikan azan dengan gonggongan anjing, itu seharusnya diproses."
"Nah, ada juga di sini kita melihat di banner, ada juga tuntutan-tuntutan yang lain."
"Jadi bukan Yaqut saja. Ada Muwafiq, ada Saefudin, ada Abu Janda, ada Deni Siregar, Viktor Laiskodat."
"Itu semuanya kita minta diproses dengan adil, jangan Ahok saja yang menjadi korban untuk diproses sampai tuntas, sampai divonis," tutur Novel.
Pernyataan Lengkap Yaqut Cholil Qoumas Soal Pengeras Suara di Masjid dan Musala
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menjelaskan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala, menuai polemik.
Sebab, di tengah penjelasannya, Yaqut mengambil contoh dalam satu kompleks perumahan semua warganya memelihara anjing, dan menggonggong dalam waktu yang bersamaan, sehingga mengganggu.
Pernyataan itu disampaikan Yaqut saat ditanya wartawan di Gedung Daerah Provinsi Riau, Rabu (23/2/2022).
Berikut ini pernyataan lengkap Yaqut:
Kemarin kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan.
Kita tidak melarang masjid, musala, menggunakan toa, tidak, silakan.
Karena kita tahu itu bagian dari syiar Agama Islam.
Tetapi, ini harus diatur tentu saja. Diatur bagaimana volume speaker-nya, toa-nya itu enggak boleh kencang-kencang, 100 desibel maksimal.
Diatur kapan mereka bisa mulai menggunakan speaker itu sebelum azan dan setelah azan, bagaimana menggunakan speaker di dalam dan seterusnya.
Tidak ada pelarangan, aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis, meningkatkan manfaat, dan mengurangi mafsadat. Jadi menambah manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan.
Karena kita tahu, misalnya, kita tahu di daerah mayoritas muslim hampir setiap 100 meter, 200 meter itu ada musala, masjid.
Bayangkan kalau kemudian dalam waktu yang bersamaan mereka semua menyalakan toa-nya di atas, kayak apa? Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya.
Kita bayangkan lagi, kita ini muslim, saya ini muslim. Saya hidup di lingkungan non muslim, ya, kemudian rumah ibadah saudara-saudara kita non muslim itu bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan itu rasanya bagaimana?
Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini, kalau kita hidup dalam satu kompleks gitu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua, misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu enggak?
Artinya apa? Bahwa suara-suara ini, apa pun suara itu ya, ini harus kita atur supaya tidak menjadi gangguan.
Ya, speaker di musala masjid monggo dipakai, silakan dipakai. Tetapi, tolong diatur agar tidak ada yang merasa terganggu.
Agar niat menggunakan toa, menggunakan speaker sebagai sarana, sebagai wasilah untuk syiar, melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan tanpa harus mengganggu mereka yang mungkin tidak sama dengan keyakinan kita, berbeda keyakinan kita harus tetap hargai.
Itu saja intinya. Jadi saya kira dukungan juga banyak atas ini, karena alam bawah sadar kita pasti mengakui itu.
Kawan-kawan wartawan juga pasti merasakan itu bagaimana kalau suara itu tidak diatur pasti mengganggu.
Truk itu kalau banyak di sekitar kita, kita diam di satu tempat, kemudian misalnya ada truk kiri kanan kita depan belakang kita mereka nyalakan mesin sama-sama, pasti terganggu.
Suara-suara yang tidak diatur itu pasti akan menjadi gangguan untuk kita. Itu ya. (Rizki Sandi Saputra)