Pemilu 2024
Skakmat Pernyataan Luhut soal 110 Juta Warganet Dukung Pemilu Ditunda, Ahli IT: Sangat Tidak Mungkin
Luhut sebelumnya mengakui punya big data yang menunjukkan sebanyak 110 juta warganet menginginkan penundaan Pemilu 2024
"Hasilnya, hanya 10 ribuan saja dimedsos yang bicara 3 periode jabatan presiden, itupun juga mayoritas menolak," ucap Fahmi.
Baca juga: Luhut Klaim 110 Juta Rakyat Ingin Pemilu Ditunda, Masinton: Sumbernya Big Data Apa Big Mouth, Sih?
Sedangkan dari sample data Drone Emprit yang diambil sejak Januari 2021 selama 6 bulan sampai 1 tahun, juga hasilnya tetap sekitar 23 ribuan suara netizen yang berbicara penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
"Pengguna Facebook pada 2021 saja berkisar 140 jutaan orang, bagaimana mungkin bisa disebut data 110 jutaan suara netizen (lebih dari 50 %) yang mendukung wacana penundaan pemilu dan 3 periode presiden," ujar Fahmi.
"Twitter saja dari 18 juta user jika 50 persen ada 9 juta, jika dibandingkan dengan 20 ribu percakapan netizen masih sangatlah jauh."
Menurut Fahmi, penggunaan big data oleh pemerintah untuk hal-hal yang tidak benar perlu dicegah. Apalagi jika hal yang tidak benar itu disampaikan ke publik.
"Harus dicegah jangan sampai big data digunakan oleh pemerintah untuk hal-hal tidak benar guna menyampaikan kepada publik yang memang tidak tahu apa-apa tentang big data" ujarnya.
"Data dari analisis big data harus terbuka metodologinya, jelas sumbernya, karena big data gampang sekali duplikasi ulang."
Lebih lanjut, Fahmi mengungkapkan fakta sebaliknya bahwa suara warganet yang menolak wacana penundaan pemilu masih yang terbanyak.
Baca juga: Baru Setahun Menduda, Anwar Usman Kepincut Adik Jokowi, Begini Profilnya hingga Menjabat Ketua MK
Tetapi, justru yang sedang dibangun saat ini di lapangan malah dukungan di daerah-daerah terkait perpanjangan masa jabatan presiden dengan pemasangan baliho dan spanduk-spanduk.
"Mereka mengharapkan isu itu akan membesar dan akan dianggap sebagai isu yang didukung oleh banyak khalayak," ujar Fahmi.
"Satu riset di Inggris menyatakan big data bisa digunakan oleh kekuasaan dan bisa menjelma menjadi alternatif penindasan di era digital, berkedok pembenaran kuantifikasi."
Artikel ini tayang di Kompas.tv