Pemilu 2024
MK Wajibkan Parpol yang Tak Lolos ke Senayan pada Pemilu 2019 Diverifikasi Faktual, PBB Kecewa
MK memutuskan parpol yang tidak lolos ke Senayan pada Pemilu 2019, tetap harus menjalani verifikasi faktual.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi pasal 173 ayat 1 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu berbunyi, parpol peserta-peserta pemilu ditetapkan atau dinyatakan lulus verivikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
MK memutuskan parpol yang tidak lolos ke Senayan pada Pemilu 2019, tetap harus menjalani verifikasi faktual.
Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 24 November 2021: 377 Sembuh, 451 Orang Positif, 13 Meninggal
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan di channel YouTube MK, Rabu (24/11/2021).
Menanggapi hal itu, Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor mengaku kecewa atas putusan tersebut.
"Kami yang mengajukan JR (judicial review) kecewa atas putusan MK," kata Afriansyah Noor saat dihubungi Tribunnews, Rabu (24/11/2021).
Baca juga: Arteria Dahlan Siap Berdamai Asal Wanita yang Memakinya Cabut Laporan dan Minta Maaf di Depan Publik
Menurut Afriansyah, partainya telah diverifikasi pada Pemilu 2019. Sehingga, seharusnya tak perlu diverifikasi faktual pada Pemilu 2024.
Partai yang tidak lolos ke Senayan yang mengajukan judicial review adalah PSI, Partai Berkarya, PBB, dan Perindo.
Keempat parpol itu mulanya meminta MK memutuskan agar pihaknya tidak perlu melakukan verifikasi faktual pada Pemilu 2024.
Baca juga: MAKI Berharap KPK Kabulkan Permohonan Justice Collaborator AKP Stepanus Robin Pattuju
Dalam permohonannya, mereka membagi tiga golongan parpol, yaitu:
Golongan I, parpol yang saat ini duduk di DPR RI tidak perlu dilakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Golongan II, parpol peserta Pemilu 2019 yang tidak lolos ke Senayan atau tidak memiliki keterwakilan di DPRD cukup dilakukan verifikasi administrasi.
Golongan III, parpol baru yang belum pernah ikut pemilu harus dilakukan verifikasi faktual dan verifikasi administrasi.
Pemohon menilai parpol golongan II tidak perlu lagi melakukan verifikasi faktual.
MK mengutip putusan serupa, yaitu putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020.
Putusan itu dimulai dengan sebuah pertanyaan, apakah adil ketiga varian capaian perolehan suara dan tingkat keterwakilan suatu partai politik disamakan dengan partai politik baru yang akan menjadi peserta pemilu pada 'verifikasi' kontestasi pemilu selanjutnya?
Dalam perspektif keadilan, hal ini tidak dapat dikatakan adil, karena esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama, dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan berbeda.
"Memperlakukan verifikasi secara sama terhadap semua partai politik peserta pemilu, baik partai politik peserta pemilu pada pemilu sebelumnya maupun partai politik baru merupakan suatu ketidakadilan," demikian pertimbangan MK.
Maka itu, terhadap partai politik yang lolos/memenuhi ketentuan parliamentary threshold, tetap diverifikasi secara administrasi namun tidak diverifikasi secara faktual.
Adapun partai politik yang tidak lolos/tidak memenuhi ketentuan parliamentary threshold, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota, dan partai politik yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota.
Diharuskan dilakukan verifikasi kembali secara administrasi dan secara faktual, hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru.
Tolak Uji Materi
MK menolak permohonan pengujian UU Pemilu yang dimohonkan oleh Akhid Kurniawan dkk, dan memberi kuasa kepada Fadli Ramadhanil serta Heroik Mutaqin.
Perkara bernomor 16/PUU-XIX/2021 ini menyoal norma UU pada Pasal 167 Ayat (3) sepanjang frasa 'pemungutan suara dilaksanakan secara serentak', dan Pasal 347 Ayat (1) UU 7/2017.
"Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Hakim Ketua Majelis Konstitusi Anwar Usman membaca amar putusan, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (24/11/2021).
MK menilai dalil pemohon soal lima kotak suara menyebabkan beban kerja petugas penyelenggara Pemilu ad hoc sangat berat, tidak rasional dan tidak manusiawi berkaitan dengan manajemen pelaksanaan Pemilu yang merupakan bagian dari implementasi norma.
Menurut MK, dalil yang dipermasalahkan Pemohon sangat berkaitan dengan teknis dan manajemen tata kelola yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan Pemilu Serentak.
"Menurut Mahkamah, beban kerja yang berat, tidak rasional dan tidak manusiawi sangat berkaitan dengan manajemen pemilihan umum yang merupakan bagian dari implementasi norma," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Bahkan, MK memandang pembentuk UU dan penyelenggara Pemilu dengan struktur yang dimiliki saat ini, justru punya kesempatan mengevaluasi dan melakukan kajian berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan Pemilu.
Evaluasi tersebut bisa berupa pembentuk UU, dan penyelenggara Pemilu bisa menyepakati jeda waktu antara pemilihan anggota DPR RI, DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan anggota DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden.
Atau desain teknis lain yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara Pemilu ad hoc.
"Misalnya pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilihan umum anggota DPR Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota dengan pemilihan umum DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden."
"Atau desain teknis lainnya yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara pemilu ad hoc," papar Saldi.
Serentak
MK menolak permohonan uji materi UU Pemilu.
Gugatan itu dilayangkan oleh empat mantan petugas KPPS Pemilu 2019.
"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK merangkap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dalam sidang yang digelar virtual, Rabu (24/11/2021).
Mahkamah menyatakan pasal 167 ayat (3) dan pasal 347 ayat (1) UU Pemilu yang diuji oleh para pemohon, sesuai amanat konstitusi.
Karena itulah, MK menilai dalil dari pemohon tidak beralasan menurut hukum seluruhnya.
Maka dengan putusan itu, pemilu tetap berjalan seperti yang pernah diterapkan pada Pemilu 2019.
Di mana, pemilihan presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota, digelar dalam satu waktu.
Mahkamah menilai pilihan model keserentakan yang dipilih akan bergantung kepada manajemen pemilu.
Desain pemilu tersebut merupakan tanggung jawab dari pihak penyelenggara. (Fransiskus Adhiyuda/Reza Deni/Danang Triatmojo)