Berita Hukum
Pakar Soroti Medsos Jadi Referensi Hakim saat Jatuhkan Vonis kepada Koruptor Bansos Juliari Batubara
Reza Indragiri mempertanyakan parameter seorang hakim dapat bermedia sosial tanpa keluar dari parameter etika dan integritas yudisial
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Feryanto Hadi
WARTAKOTALIVE.COM, SEMANGGI "Terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap."
Demikian pernyataan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta saat membacakan vonis Mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara, Senin (23/8/2021) lalu.
Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mencoba menganalisa dari mana sumber simpati hakim terhadap Juliari Batubara itu.
"Pertanyaannya, di manakah hakim memperoleh pengetahuan tentang perlakuan masyarakat terhadap JB? Karena aktivitas sosial hakim sangat terbatas bahkan dibatasi, maka tampaknya media sosial yang menjadi referensi hakim," kata Reza kepada Wartakotalive.com, Selasa (24/8/2021).
Baca juga: Minta Dibebaskan, Juliari Batubara Seharusnya Dihukum 88.000 Tahun Penjara, Ini Alasannya
Jika benar demikian, kata Reza, maka benarlah bahwa kerja hakim juga bisa dijelaskan lewat public opinion model.
"Bedanya, dalam kasus JB, amarah warganet tidak menginspirasi hakim untuk menghasilkan putusan yang merepresentasikan sentimen serupa. Sebaliknya, bacaan hakim terhadap opini publik justru memunculkan simpati hakim terhadap diri terdakwa," papar Reza.
Reza menyarakan, apakah aktif memperoleh dan mempertimbangkan hal-hal yang tidak dihadirkan di persidangan merupakan kerja yudisial yang dapat dibenarkan?
"Seberapa jauh hakim dibolehkan membuka diri terhadap pengaruh opini khalayak? Juga, ketika pada akhirnya hakim bersimpati pada terdakwa akibat unsur ekstrayudisial tersebut, apakah itu pertanda terusiknya objektivitas hakim?" tanya Reza.
• Tes Keperawanan Calon Prajurit TNI AD Dihapus, Novel Bamukmin: Seolah-olah Seks Pranikah Diizinkan
Menurutnya dibutuhkan kajian dan penyikapan serius tentang itu.
"Termasuk dengan mengecek seberapa jauh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah menyentuh masalah tersebut. Yang jelas, patut diduga bahwa putusan hakim pada kasus JB menunjukkan betapa media sosial memiliki power dalam memengaruhi emosi hakim, bahkan berpotensi menyimpangkan kerja hakim," paparnya.
"Spesifik dalam kasus JB, informasi dari media sosial tidak digunakan untuk memahami substansi perkara secara lebih akurat, melainkan justru tanpa sadar membangun sentimen positif atas diri terdakwa," tambah Reza.
Ia menjelaskan menginsafi risiko yang disebabkan media sosial, seorang juri di Australia pada tahun 2014 dihukum kurungan setelah mempelajari profil terdakwa dan korban lewat Facebook mereka.
Baca juga: KABAR BAIK, Zona Merah Covid-19 di Jakarta Tersisa 3 RT, Warga Tetap Diimbau Taati Prokes
"Juri lain juga dianggap melakukan contempt of court dan didenda ribuan dolar setelah meng-Google riwayat hidup terdakwa," katanya.
Memang, kata Reza, media sosial juga memiliki prospek positif bagi hakim.
Antara lain, media sosial memungkinkan hakim mengedukasi publik agar lebih melek dan taat hukum.