Berita Nasional
Mahfud MD Sebut Korupsi Bansos Sebagai Musibah, Gus Umar: Apa Mahfud Nggak Paham Arti Musibah?
Menurut Gus Umar, istilah musibah tidak tepat apabila digunakan untuk kasus korupsi bansos
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Umar Hasibuan heran dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menyebut bahwa korupsi dana bantuan sosial adalah sebuah musibah dan sudah diproses secara hukum.
Menurut Gus Umar, istilah musibah tidak tepat apabila digunakan untuk kasus korupsi.
"Bisa ya korupsi duit Bansos dibilang musibah. Apa Mahfud Gak paham arti musibah? Musibah itu seperti orang wafat, kecelakaan. Yang namanya korupsi itu dilakukan secara sengaja dan sadar, fud. Oh Tuhan. Benar-benar ya pejabat sekarang bikin imun turun," ungkapnya di Twitter pribadi Gus Umar, Senin (2/8/2021)
Baca juga: Anies Umumkan Capaian Vaksinasi di DKI Lampaui Target Jokowi, Ferdinand Panas: Waspada Tukang Klaim
Sebelumnya, Mahfud MD menyebut beragam persoalan penyaluran bantuan sosial di Indonesia.
Adapun satu diantaranya adalah dana bantuan sosial yang kerap dikorupsi yang menurutnya menjadi sebuah musibah.
“Problemnya itu tidak mudah. Iyalah itu musibah dan itu sudah diselesaikan secara hukum,” kata Mahfud saat menjadi pengisi acara silaturahmi virtual dengan alim ulama, pengasuh Ponpes, pimpinan ormas lintas agama, dan forkopimda se-Jawa Tengah, Sabtu (31/7/2021).
Selain soal dana bansos yang kerap dikorupsi, Mahfud menyebut terdapat masalah lain dalam urusan penyaluran bansos.
Baca juga: Tutup Pintu Damai, Roy Suryo Siap Seret Eko Kuntadhi ke Meja Hijau, Minta Eko Jangan Banyak Cingcong
Baca juga: Anies Baswedan Jadikan Vaksinasi Covid-19 sebagai Syarat Administrasi Berkegiatan di Jakarta
Kata Mahfud, banyak daerah sasaran bansos yang tidak mampu dijangkau.
“Tempatnya sangat jauh sementara aturannya penerima yang berhak harus dapat. Presiden dulu membuat kebijakan pengiriman lewat rekening. Diputuskan dulu semua lewat rekening agar nggak dikorupsi dan agar cepat sampai, tapi nggak bisa juga, ternyata orang-orang desa itu nggak tahu rekening itu apa. Banyak yang gak punya rekening,” jelas Mahfud
Pihak Pemerintah juga telah mendapat masukkan dari beberapa pihak untuk memperbolehkan pengambilan bansos agar bisa diwakilkan.
Namun, Mahfud menilai, pengambilan bansos yang diwakilkan akan menimbulkan persoalan baru.
Baca juga: Mahfud MD: Banyak Hoaks Beredar soal Covid-19, Ada yang Bilang Corona Konspirasi Orang Kafir
“Dari sudut aturan yang mau memberikan bansos takut juga, itu mau diberikan kepada siapa, surat kuasanya tidak ada, kartu keluarganya nggak jelas, apa betul dia yang berhak mewakili? Itu semua jadi problem dan itu masalah kita. Dan itu sudah lama,” ucap Mahfud
Mahfud berharap, pengalaman masa pandemi Covid-19 ini dapat memperbaiki sistem administrasi kependudukan di Indonesia.
Baca juga: Mahfud MD: Rumah Sakit Antre, Sekarang Harta dan Jabatan Enggak Ada Gunanya
“Sekarang ini ketika terjadi Covid-19 baru masalah ini terasa," pungkas Mahfud
ICW minta hakim hukum seumur hidup Juliari Batubara
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang tuntutan 11 tahun dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap terdakwa kasus suap dana bantuan sosial (bansos) Covid-19, Juliari Peter Batubara, sangat rendah.
ICW menyatakan tuntutan KPK itu sama saja menambah luka masyarakat Indonesia terutama mereka penerima bantuan yang semestinya.
"Ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Kamis (29/7/2021).
Menurut Kurnia, pasal yang menjadi dasar tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebenarnya mengakomodasi penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp1 miliar.
Kurnia juga menilai tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar juga jauh dari memuaskan.
Sebab, besaran tersebut kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari Batubara.
"Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos Covid-19," kata Kurnia.
Kurnia mengingatkan penegak hukum merupakan representasi negara dan korban yang bertugas meminta pertanggungjawaban atas kejahatan pelaku.
Hal ini pun telah ditegaskan dalam Pasal 5 huruf d UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
"Regulasi itu menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK mengedepankan asas kepentingan umum. Alih-alih dijalankan, KPK justru lebih terlihat seperti perwakilan pelaku yang sedang berupaya semaksimal mungkin agar terdakwa dijatuhi hukuman rendah," ujar Kurnia.
Lebih lanjut kata Kurnia, dalam dakwaan, Juliari disebut telah menerima suap Rp 32,4 miliar.
Selain itu, Juliari diyakini telah menarik fee dari 109 penyedia bansos melalui Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Adi Wahyono dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Matheus Joko Santoso yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Perbuatan korupsi yang terjadi dalam distribusi bansos Covid-19 ini, diduga kuat tidak hanya terkait dengan suap-menyuap, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Potensi tersebut, lanjut Kurnia, dapat muncul dari besaran keuntungan yang tidak wajar yang diambil oleh para penyedia, yang minim pengalaman atau bahkan tidak memiliki pengalaman sama sekali, sebagai produsen utama program bansos.
"Sebagaimana diketahui, Juliari diduga kuat turut mengoordinasikan atau membagi-bagi pengadaan agar dilakukan oleh penyedia tertentu, yang proses penunjukannya mengabaikan ketentuan pengadaan darurat. Para penyedia minim pengalaman tersebut, kemungkinan dipilih karena ada kedekatan atau afiliasi politik tertentu," katanya.
Karena itu, Kurnia memandang adanya kesengajaan para terdakwa dalam menghambat upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada warga terdampak pandemi Covid-19.
Kondisi itu semestinya menjadi dasar pemberat bagi penuntut umum, dalam menyusun dan membaca surat tuntutan kepada Juliari.
"Namun, JPU KPK gagal mewakili kepentingan negara dan korban," kata Kurnia.
Kurnia berharap hakim mengambil langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal, yaitu pidana penjara seumur hidup kepada mantan Menteri Sosial tersebut.
Baca juga: Tutup Pintu Damai, Roy Suryo Siap Seret Eko Kuntadhi ke Meja Hijau, Minta Eko Jangan Banyak Cingcong
Penjatuhan hukuman yang maksimal terhadap Juliari Batubara, sudah sepatutnya dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya dilanggar di tengah pandemi Covid-19, akibat praktik korupsi ini.
"Ke depannya, vonis maksimal tersebut diharapkan berdaya cegah terhadap potensi terjadinya kasus serupa, terutama di tengah kondisi pandemi," ujar dia.