Novel Baswedan Mengaku Pernah Diminta Mundur dari KPK Sejak 2016 karena Ada yang Tak Suka
Ia mengaku tak masalah jika banyak orang tidak menyukai dirinya dalam memberantas korupsi.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Upaya sejumlah pihak untuk menyingkirkan Novel Baswedan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata telah berlangsung sejak 2016 silam.
Novel mengaku pernah ditemui seseorang yang enggan disebutkan namanya.
Dalam pertemuan itu, Novel diminta mundur secara sukarela dari lembaga anti-rasuah, lantaran banyak yang tak suka.
Baca juga: Masyarakat Paling Malas Pakai Masker di Tempat Wisata, di Jalan Umum Sangat Patuh
"2016 bahkan saya itu pernah diminta untuk keluar dari KPK."
"Saya katakan kenapa harus keluar dari KPK?"
"Katanya ada orang-orang tertentu yang enggak suka di KPK," kata Novel dalam diskusi 'Blak Blakan Bareng Novel Baswedan' yang ditayangkan YouTube Public Virtue Institute, Minggu (20/6/2021).
Baca juga: Covid-19 Mengamuk, Guntur Soekarnoputra: Pikiran Jokowi Pasti Berputar Laksana Puting Beliung
Novel menolak permintaan mengundurkan diri sebagai penyidik KPK.
Ia mengaku tak masalah jika banyak orang tidak menyukai dirinya dalam memberantas korupsi.
"Saya katakan saya di sini bukan untuk membuat orang lain suka atau apa ya, karena memberantas korupsi pasti tidak disukai oleh koruptor."
Baca juga: Busyro Muqoddas: Jika Presiden Batalkan Hasil TWK, Kita Punya Harapan pada Negara Ini
"Jadi kalau berantas korupsi harus membuat koruptor suka, saya kira itu tidak mungkin terjadi," tuturnya.
Novel kemudian menjelaskan tugasnya sebagai penyidik KPK bukan untuk mengejar karier.
Dia rela meninggalkan kariernya di Polri, untuk dapat memberantas korupsi di lembaga anti-rasuah.
Baca juga: Busyro Muqoddas: Pelumpuhan KPK Kisah Sukses Jokowi Bersama Ketum Parpol dan Pimpinan DPR
"Saya katakan bahwa saya di KPK ini bukan ingin mencari karier."
"Bisa dibayangkan, saya dari anggota Polri, bahkan saya lulusan Akabri, terus kemudian yang kariernya harusnya sangat luar biasa, banyak diharapkan orang untuk bisa berkarier di sektor kepolisian dengan melalui Akabri, tapi kemudian saya tinggalkan," bebernya.
KPK, kata Novel, baginya kesempatan berjuang demi bangsa dan negara untuk kepentingan masyarakat, salah satunya dengan memberantas korupsi di Indonesia.
Baca juga: Nadiem Ngotot Gelar PTM Terbatas Meski Kasus Covid-19 Melonjak, Muhammadiyah Minta Tinjau Ulang
"Saya mau menggunakan kesempatan yang saya punya untuk berjuang membela kepentingan negara memberantas korupsi."
"Tapi yang terjadi upaya membungkus kebusukan seolah-olah adalah, ayo kita lawan, ada radikalisme talibanisme yang mau merusak NKRI," ucapnya.
Novel menduga para koruptor membungkus narasi adanya talibanisme dan radikalisme di KPK, untuk mendapatkan simpati masyarakat.
Baca juga: DAFTAR Negara Tanpa Korban Meninggal Akibat Covid-19 per 19 Juni 2021, Tak Ada di Asia Tenggara
Nantinya, kata Novel, narasi tersebut membuat masyarakat membiarkan pelemahan dan penyerangan terhadap KPK.
Padahal, narasi ini merupakan buatan para koruptor untuk dapat simpati masyarakat.
"Yang terjadi koruptor ini sepertinya belajar, mungkin dia riset."
Baca juga: Asrama STTD Cibitung Jadi Tempat Isolasi Pasien Covid-19 untuk Pegawai Kemenhub dan Warga Sekitar
"Dia bungkus kebusukannya untuk berbuat korupsi dengan cara seolah-olah mengatakan bahwa di KPK itu banyak radikalisme."
"Ketika berbicara radikalisme itu berbicara sekitar 2017 atau 2016."
"Itu-itu awal mula disebutkan radikalisme talibanisme dan lain-lain," bebernya.
Baca juga: Pasien Tertular Varian Delta Asal India Lebih Cepat Alami Gejala Berat, Pengobatan Cepat Penting
Novel menuturkan, upaya koruptor melemahkan KPK selalu gagal, karena dukungan dan penolakan masyarakat yang besar.
Itulah kenapa, katanya, para koruptor mencari cara untuk mendapatkan simpati masyarakat, seiring melemahkan KPK.
Caranya, kata Novel, menggunakan isu radikalisme dan talibanisme yang ada di KPK.
Baca juga: Pusat dan Daerah Diminta Sejalan Atasi Covid-19, Belum Waktunya Pencitraan untuk Pilpres 2024
Namun, ia meyakini masyarakat sudah cerdas memahami pola-pola pelemahan KPK yang dilakukan para koruptor.
"Kalau kita perhatikan upaya untuk pelemahan KPK dilakukan itu seringkali gagal karena dukungan masyarakat yang luar biasa."
"Karena kita paham bahwa masyarakat itu tahu kok bahwa korupsi itu betul-betul menganggu, akibatnya langsung maupun tidak langsung," paparnya.
Baca juga: Mulai Senin Pekan Depan Istana Kepresidenan Terapkan WFH 75 Persen bagi Para Pegawainya
Novel mencatat, KPK mulai dilemahkan sejak cicak versus buaya pada 2009.
Pelemahan KPK mulai semakin meningkat mulai 2014 hingga sekarang.
"KPK itu telah menghadapkan serangkaian pelemahan itu berjalan terus-menerus."
Baca juga: Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19 di TPU Rorotan dan Tegal Alur Tembus 80 Orang per Hari
"Kita perlu mengingat bahwa memang sejak awal di tahun 2009 itu ada cicak buaya di sana, dan kemudian berlangsung sampai beberapa waktu," urainya.
Para koruptor, diduga mulai terusik ingin melemahkan KPK, sejak adanya gagasan pengusutan korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) pada 2014 lalu.
Gagasan pengusutan korupsi di sektor sumber daya alam saat itu dinakhodai ketua KPK Abraham Samad.
Saat itu, para pimpinan KPK bersepakat sektor sumber daya alam merupakan bagian kekayaan luar biasa yang dimiliki oleh negara.
Namun, justru praktik perampokan kekayaan alam terus dilakukan oleh oknum tertentu.
"Di tahun 2014 itu KPK bahkan bukan hanya penindakan, tapi KPK masuk di pencegahan dengan membuat suatu agenda, saya lupa namanya, gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam," ulas Novel.
Gagasan yang dilakukan oleh pimpinan KPK pun berbuah manis.
Dalam setahun saja, KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian keuangan negara dalam sektor sumber daya alam sebesar Rp 280 triliun.
"BPK itu telah mengatakan bahwa dalam dalam hasil pemeriksaannya KPK berhasil menyelamatkan potensi kerugian keuangan negara sebesar Rp 280 triliun."
"Ini bukan angka yang kecil," ucapnya.
Menurut Novel, torehan pimpinan kinerja KPK membuat sejumlah koruptor terusik.
Sejak saat itu, pelemahan terhadap lembaga anti rasuah terus menerus dilakukan dan berulang.
Hasilnya pada 2015, gerakan dalam pengusutan korupsi di sektor sumber daya alam terhenti, seiring pergantian pimpinan KPK.
"Saya menduga 2014 ketika yang dilakukan KPK itu sudah begitu bagusnya, itu kemudian justru mengganggu atau terusik."
"Menariknya adalah kalau 2014 sudah berjalan, 2015 kita lihat ternyata tidak diteruskan."
"2016 juga tidak diteruskan," ungkap Novel.
Novel mengatakan, keputusan dilanjutkan atau tidaknya penyidikan di tangan pimpinan KPK, saat itu sudah beralih ke tangan Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki.
Hingga saat ini, pengusutan kasus korupsi di sektor sumber daya alam tidak dilanjutkan kembali.
Dia mengaku tidak mengetahui alasan pimpinan KPK enggan melanjutkan gerakan ini.
"Di KPK itu semua kegiatan itu tentunya yang membuat arahan adalah pimpinan."
"Baik di sektor penindakan, pencegahan, atau sektor yang terkait dengan supervisi koordinasi ataupun terkait dengan monitoring."
"Itu mestinya pimpinan. Jadi kalaupun seumpama itu tidak dilanjutkan, pertanyaannya kepada pimpinan," bebernya. (Igman Ibrahim)