Berita Video
VIDEO Kisah Irianto, Pria Berdarah Minang yang Suka Mendaki Gunung Sejak Tahun 1978
Baginya, mendaki gunung seperti salah satu aktivitas yang seru, mengingat pendaki berangkat malam dan membawa perlengkapan yang dimuat di dalam sebuah
Penulis: RafzanjaniSimanjorang | Editor: Ahmad Sabran
WARTAKOTALIVE.COM.,JAKARTA,- Irianto, pria paruh bayu yang hobi mendaki gunung.
Berawal dari mengenal komunitas Vanaprastha (komunitas pecinta alam/dulu pecinta mendaki gunung) tahun 1975 di Setia Budi, Jakarta selatan, Irianto kemudian tertarik untuk ikut serta.
Baginya, mendaki gunung seperti salah satu aktivitas yang seru, mengingat pendaki berangkat malam dan membawa perlengkapan yang dimuat di dalam sebuah tas.
"Saya masuk di angkatan ketiga Vanaprasta. Saya masih ingat, pertama kali mendaki tahun 1978, yaitu mendaki Gunung Gede, kemudian Gunung Pangrango karena itu bersebelahan. Sejak saat itu ternyata mendaki itu menyenangkan dan membuat hati saya bahagia," ujarnya saat ditemui Warta Kota, Kamis (27/5/2021).
Saat ini, sudah banyak gunung-gunung yang ia daki, termasuk Gunung Rinjani, Gunung Semeru, Gunung Slamet dan banyak lagi, termasuk Gunung Kinabalu di Malaysia.
Tak seperti saat ini, Irianto menjelaskan tahun 1978'an, gunung belum dijadikan objek komersil. Tak jarang mereka sendiri yang membuka jalan baru menuju puncak.
Perlengkapan pun tak sesimpel saat ini. Sebut saja untuk memasak, mereka harus rela mengikat kompor di tas, dan membawa beras. Sementara persediaan air, biasanya banyak ditemui di lokasi.
"Kalau sekarang kan kompor gas yang kecil sudah ada, ransel juga sudah besar kapasitasnya. Jauh lebih simpel saat ini. Jalur menuju puncak juga biasanya sudah langsung ada dan beberapa lengkap dengan keselamatannya," tambahnya.
Berbagi pengalaman, pria kelahiran 19 September 1959 ini menyebut mendaki sebenarnya hobi yang tidak berbahaya jika tahu aturan-aturannya.
Selain kondisi fisik yang prima, perlengkapan mendaki yang lengkap, ada dua hal yang perlu dicermati oleh pendaki yaitu logistik dan cara istirahat.
"Kami selalu berprinsip, logistik (makanan) yang dipersiapkan harus dua kali lebih banyak dari yang diperlukan. Itu penting, karena urusan perut tak bisa disepelekan. Kemudian, saat istirahat juga jangan sampai terlalu lama. Ibaratnya, tubuh jangan sampai dingin lagi di tengah jalan. Saat berhenti juga kaki tidak boleh ditekuk agar tidak kram. Sementara itu, jangan pula meninggalkan teman yang kecapekan tanpa persediaan apa-apa, terutama logistik," tuturnya.
Menurutnya, dalam kondisi lapar dan kedinginan akan sangat berbahaya bagi pendaki, bahkan bisa membuat halusinasi.
Sementara itu, Irianto yang kini berusia 62 tahun memberikan pesan agar pendaki saat ini tidak membuang sampah sembarangan, namun tetap menjaga keasrian gunung yang didaki.
"Saya sendiri masih mau mendaki. Rencananya mendaki gunung Kerinci. Saya biasanya sebelum mendaki selalu menjaga kondisi. Saya berjalan kaki. Meski usia 62 tahun, saya masih sanggup, karena saya mendaki secara perlahan," ucapnya.
Ada pun filosofi mendaki gunung, Irianto menjelaskan, mendaki gunung memiliki arti seseorang menaklukkan dirinya sendiri.
"Bagi saya sendiri, sesampai di puncak, saya sadar bahwa kita ini kecil dibandingkan ciptaan Kuasa yang lainnya. Kesadaran diri lah yang terbentuk dari mendaki gunung, kita bersyukur akan ciptaanNya yang luar biasa ini," tutupnya