Jakarta Urban Cycling Challenge 200Km

Jakarta Audax 200 Km, Bersepeda Jarak Jauh Berbatas Waktu Menyusuri Indahnya Perbukitan Klapanunggal

Event bersepeda jarak jauh berbatas waktu Jakarta Urban Cycling Challenge 200 Km kali ini menyusuri indahnya perbukitan karst Klapanunggal, Bogor.

istimewa
Event bersepeda jarak jauh berbatas waktu Jakarta Urban Cycling Challenge 200Km digelar menyusuri kawasan perbukitan karst Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Sabtu (27/3/2021). Komunitas Halim Loop saat melintas di depan Taman Buah Mekarsari, Cileungsi ini salah satu kelompok paling solid yang bersepeda bersama dari titik start sampai finis kembali di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan. 

Saat memasuki Cibubur jalanan mulai bervariasi konturnya berupa turunan dan tanjakan cukup panjang.

Geng Cyclopath Community, bapak-bapak bahagia yang doyan gowes jarak jauh.
Geng Cyclopath Community, komunitas bapak-bapak bahagia yang doyan gowes jarak jauh. (istimewa)

Peloton sepeda lipat itu melambat lalu saya tinggalkan di belakang.

Kami terus berpacu dengan kecepatan konstan.

Di jalan datar 30-32km/jam dan melambat bila bertemu tanjakan.

Memasuki kawasan Jonggol, setelah alun-alun kami berbelok ke kanan masuk jalan perkampungan.

Kendaraan mulai sepi.

Isu kejujuran

Jalan berliku-liku melintasi perkebunan dan perumahan penduduk.

Jalan yang kondisinya terbilang mulus itu mengarah langsung ke perbukitan karst Klapanunggal.

Pada kilometer 32, selepas jembatan di Singajaya, kami mendaki tanjakan lumayan terjal.

Empat kilometer berikutnya tanjakan dan turunan panjang datang silih berganti.

Banyak peserta yang menggunakan sepeda balap jalan raya kesulitan menghadapi tanjakan terjal.

Begitu pula yang menunggang sepeda lipat.

Beberapa memilih menuntun sepedanya sampai keterjalan jalan berkurang lalu melanjutkan lagi mengayuh di atas sadel.

Menghadapi tanjakan dengan berbagai cara.
Menghadapi tanjakan dengan berbagai cara. (istimewa)

Panitia bagian dokumentasi menangkap momen pesepeda dibantu penunggang motor yang mendorongnya dari belakang.

Ada juga yang membonceng sepeda motor sambil membopong sepedanya untuk melewati tanjakan.

Pemandangan ini konon selalu muncul di setiap event Audax.

M Zafrullah Ahmady, salah satu penggerak Audax Randonneurs Indonesia mengatakan, berbagai bentuk bantuan kendaraan bermotor seperti itu sebenarnya mencederai nilai yang ingin dijunjung tinggi dalam Audax.

Nilai itu semata soal kejujuran.

Hingga penyelenggaraannya memasuki tahun keenam di Indonesia, kejujuran memang masih menjadi isu krusial di kalangan peserta.

Baca juga: Amankah Mengajak Anak-anak Bersepeda Jarak Jauh? Ini Penjelasan Dokter Aristi Prajwalita

Entah belum memahami betul aturan permainan atau motivasi lain, ada saja peserta yang menempuh berbagai cara untuk dapat menggenapi rute dan finis sebelum batas waktu yang ditentukan (cut off time/COT).

Zfrullah (kanan): intinya soal kejujuran.
Zafrullah (kanan): intinya soal kejujuran. (istimewa)

“Pertama-tama jujur terhadap diri sendiri. Karena konsepnya jelas-jelas mandiri, unsupported, maka seharusnya semua bersepeda dengan kemauan dan kemampuan sendiri. Tidak boleh ada bantuan kendaraan bermesin dalam bentuk apapun. Apalagi loading,” tuturnya dalam sebuah pecakapan.

Nyatanya, pada perjalanan selanjutnya saya lihat beberapa peserta yang ditemani koleganya yang bermobil membawa berbagai perlengkapan bersepeda dan penganan.

Ada juga yang ditempel sepeda motor pengangkut segala perlengkapan dan harapan.

Loading dulu?
Loading dulu? (istimewa)

Menurut Zafrullah, seperti sudah kerap terjadi, panitia terpaksa mendiskualifikasi beberapa peserta yang ketahuan curang dengan berbagai cara.

Baca juga: Perjalanan Nafal Bersepeda Jarak Jauh Berakhir di Perbatasan India-Nepal

Ada pula pesepeda yang tidak mendaftar sebagai peserta namun tetap memanfaatkan semua sarana event, termasuk berfoto demi membuat klaim di media sosial.

Istilahnya romli alias rombongan liar, namun mengklaim diri sebagai peserta.  

Sejatinya, Audax sebagai seni bersepeda jarak jauh mau membangkitkan nilai-nilai keutamaan yang kerap tersembunyi dalam diri pesepeda. 

Keberanian (audacious) untuk menghadapi perjalanan jarak jauh bersepeda dengan tekanan waktu yang terbatas memberi peluang seseorang mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki.

Dan akhirnya orang juga dihadapkan pada kejujuran yang mendasar, pertama-tama terhadap diri sendiri.

Hal ini hanya dapat tercapai  dengan melakukan perjalanan bersepeda ini sesuai ketentuan dasar yang berlaku, yaitu tanpa bantuan dari luar (unsupported) selain pesepeda itu sendiri dan sepedanya.

Sejumlah peserta mencapai finis melewati batas waktu yang ditentukan, tetap dapat medali.

Namun pencapaiannya tidak tercatat di Audax Club Parisien (ACP), pusatnya kegiatan Audax internasional.

Hanya peserta yang mencatat waktu di bawah COT yang tercatat di ACP Perancis.

Pada akhir kegiatan, panitia mencatat sebanyak 52% peserta menyelesaikan kegiatan di bawah COT, sisanya 21.64% tidak kembali ke finis, dan 24.97% kembali ke finis tetapi di luar COT.

Karst Klapanunggal

Tegur sapa dan saling menyemangati mewarnai perjalanan pagi disela cahaya matahari yang mulai hangat menerobos dedaunan.

Selepas perkebunan, jalanan melintasi area yang lebih terbuka dengan pemandangan lepas ke arah perbukitan karst Klapanunggal di sebelah kanan.

Bukan balapan tapi seni bersepeda jarak jauh berbatas waktu.
Bukan balapan tapi seni bersepeda jarak jauh berbatas waktu. (Adhitya Nuswandana)

Hamparan hijau sejauh mata memandang berpagar perbukitan yang membiru berlapis-lapis sungguh menyegarkan mata.

Melupakan sejenak beratnya medan jalanan yang dilalui.

Tepat di KM 50 kami bisa mengisi air yang disediakan panitia di halaman sebuah masjid.

Tak berlama-lama, semua peserta langsung tancap kayuhan setelah mengisi penuh bidon yang sudah terkuras.

Perihh..
Perihh.. (istimewa)

Belakangan saya menyadari rute ini mengitari kawasan perbukitan karst Klapanunggal yang menjulang di tengah hutan, persawahan, dan perkampungan penduduk.

Melintasi jalan rusak di kawasan Klapanunggal.
Melintasi jalan rusak di kawasan Klapanunggal. (istimewa)

Puncaknya adalah kawasan Cioray yang sempat menarik perhatian publik setelah media massa menyoroti buruknya sarana pendukung kehidupan warga di desa itu.

Dekat dengan ibu kota, tapi warga di desa itu begitu terpencil dan tak terjangkau layanan umum karena buruknya kondisi jalan. 

Kini jalan menuju desa itu baik dari arah timur maupun barat sudah lebih bagus, sebagian dibeton.

Jadi dengan menyusuri rute ini, kita dapat menyaksikan keindahan perbukitan kapur ini dari kedudukan yang berbeda-beda.

Kadang jauh, mendekat, lalu menjauh lagi.

Mendekat ke tebing kapur di Cioray.
Mendekat ke tebing kapur di Cioray. (istimewa)

Beberapa kilometer menjelang Pemandian Sodong, kami melihat tebing-tebing kapur perbukitan Cioray begitu dekat di tepi jalan.

Lalu bergerak menjauh di jalan yang menurun panjang.

Mengelilingi  perbukitan yang menjulang di tengah dataran luas itu sepintas seperti melihat kerucut nasi tumpeng dari berbagai sisi dengan lauk pauk di sekelilingnya.

Perbukitan karst itu juga menciptakan medan tanjakan dan turunan dengan kemiringan cukup ekstrem.

Share the road, please..
Share the road, please.. (Warta Kota/Max Agung Pribadi)

Kontur jalanan di kawasan perbukitan karst seperti ini memang khas.

Dengan keindahan pemandangan yang tercipta, tak salah bila perbukitan karst Klapanunggal ini layak dikelola lebih serius sebagai destinasi wisata bersepeda dekat kawasan Ibu Kota.

Pemkab Bogor bisa saja menggandeng sejumlah komunitas sepeda dan penduduk di sepanjang rute yang diberdayakan untuk menggerakkan potensi wisata.

Perbukitan karst itu menyimpang potensi wisata seperti goa, mata air untuk pemandian alam, susur sungai, panjat tebing, perkebunan, dan sebagainya. 

Koordinator Audax Randonneurs Indonesia Bob Aria Bharuna mengatakan, pemilihan rute baru itu memang didasari evaluasi yang dilakukan dari event-event sebelumnya. 

Pihaknya juga ingin mengeksplorasi tempat-tempat baru yang menantang sekaligus menarik untuk bersepeda.

“Sebelumnya rute kita itu untuk Jakarta Audax di seputar kawasan Gunung Geulis berputar hingga Serpong lalu ke Daan Mogot. Tapi ada masukan untuk mengurangi elevasi dan mencari opsi rute yang lain. Makanya sekarang kita coba geser lebih ke Timur dimana kemiringan medannya lebih bersahabat dan pemandangan bagus,” tuturnya.  

Rute itu juga dibuat berdasarkan masukan dari beberapa pesepeda yang juga pernah mengikuti Audax.

Selanjutnya rute melintasi kawasan Narogong hingga Gunung Putri dan ke arah barat melewati Bogor hingga Rumpin, Serpong baru masuk kota Jakarta dari arah Ciputat-Bintaro.

Turun dari Cioray, jalanan rusak parah, terkadang menciptakan kubangan-kubangan besar. Bebebrapa peserta terjungkal di kubangan itu.

Peserta yang menggunakan sepeda balap dan sepeda lipat dengan profil ban tipis harus berhati-hati melintasi bagian ini.

Beberapa sepeda mulai mengalami masalah pecah ban.

Mereka menepi lalu mengganti ban dalam atau memompa ban sendiri atau dibantu teman seperjalanannya.

Jalan berliku melewati Pemandian Sodong dan bertemu dengan Jalan Raya Narogong yang ramai kendaraan berat.

Panas mentari mulai membara saat kami menyusuri jalan-jalan besar di kawasan Narogong sampai Cimanggis.

Sekelompok besar peserta berjalan beriringan sampai bertemu Checkpoint 1 (CP1) di sebuah minimarket pada kilometer 75.

Scan QR di Check Point.
Scan QR di Check Point. (istimewa)

Karena tibanya bersamaan, tak terhindarkan lagi kerumunan pesepeda memenuhi halaman minimarket tersebut.

Beberapa peserta melakukan scan QR Code yang ditempel di dinding kaca minimarket, lalu bergegas pergi mencari minimarket atau warung lain untuk beristirahat.

“Terlalu ramai, lebih baik kita cari tempat lain supaya tidak berkerumun,” tutur Djayanto dari Cyclopath Community yang ikut bersama lima orang lainnya.

Pemandangan serupa terlihat di dua CP selanjutnya yaitu di KM 126 dan KM 187.

Anak kampung sini.
Anak kampung sini. (istimewa)

Di CP3 situasinya lumayan cair karena stiker QR ditempatkan di halaman kantor yang luas sehingga tidak terjadi kerumunan yang terlalu rapat.

George Surjopurnomo yang sudah jadi semacam peserta tetap Audax menyarankan, sebaiknya CP ditempatkan di lokasi terpisah dari tempat-tempat yang berpotensi dijadikan tempat istirahat.

“Jadi kita berhenti hanya untuk scan lalu lanjut cari tempat istirahat di titik lain. Ini mengurangi potensi kerumunan di satu tempat,” tutur salah satu Ironman Indonesia tersebut.

Tragedi soda

Di CP1 itu saya sempat meneguk minuman bersoda.

Sesuatu yang sebenarnya tidak pas buat tubuh yang tengah bekerja berat di perjalanan.

Benar saja, di KM 100 saat melintas di Jalan Raya Tapos, saya merasa kondisi tubuh berangsur melorot.

Rasa mual mulai melanda.

Perut mual karena asam lambung naik dan pandangan jadi sedikit nanar.

Di sebuah pos kamling yang bersih saya berhenti.

Mual sudah tak tetahankan hingga akhirnya muntah-muntah mengeluarkan seluruh isi perut.

Setelah itu badan terasa begitu lemas dan kepala berkunang-kunang.

Saya coba jalan tapi sempoyongan karena kepala pusing.

Kepada ibu pemilik warung sebelah, saya minta dibuatkan teh manis panas.

Sempat terpikir inilah akhir perjalanan saya, karena tak mungkin melanjutkan dengan kondisi badan seperti ini.

Tak berdaya untuk mengayuh lagi.

Saya coba selonjoran di lantai pos dan tidur untuk mengistirahatkan badan.

Sekitar satu jam saya tiduran dan mendapati kondisi badan berangsur normal kembali.

Ah, lega rasanya.

Handuk putih tanda menyerah tak jadi dilemparkan.

Tak berlama-lama, saya lanjutkan kembali mengayuh sepeda mengikuti rute selanjutnya menuju Bogor.

Saat melintas di kolong jalan tol lingkar luar Bogor, hujan mulai turun.

Tak lama berubah menjadi hujan deras disertai petir dan angin kencang.

Saya lanjutkan perjalanan menembus hujan bersama dua pesepeda dari Bintaro.

Sejumlah pesepeda tertahan berteduh di kolong jalan tol itu.

Om Djayanto dari Cyclopath Community meluncur kencang.
Om Djayanto (tengah) dari Cyclopath Community meluncur kencang. (istimewa)

Belakangan baru saya tahu kalau banyak diantaranya yang memilih tak melanjutkan perjalanan.

Memasuki Jalan Yasmin Bogor, hujan sangat deras membuat air turun seperti sungai di jalanan.

Alvin dari Cyclopath Community yang menunggang sepeda lipat menembus genangan sempat tergelincir dan terseret arus air di jalanan.

“Jatuh tergelincir dan terseret air yang mirip banjir bandang kecil ya. Mencoba bangun tapi tidak bisa. Jadi ikuti aliran air saja dan baru berhenti setelah alirannya mereda lalu dibantu pesepeda lain untuk bangun. Rantai lepas, untung ada tim evakuasi, sepeda dibonceng kira-kira 500 meter cari tempat untuk memperbaiki rantai lalu lanjut,” papar Alvin.

Kilat sambar menyambar menambah riuh suasana.

Sebuah kilat besar menyambar pohon di depan kami di Taman Yasmin. Nyaris membuat kami celaka.

Kami tetap lanjutkan perjalanan sampai ke kawasan dekat runway Lanud Atang Sanjaya yang berkabut tebal.

Terjungkal di kubangan jalan.
Terjungkal di kubangan jalan. (istimewa)

Novita, pesepeda lainnya yang juga menggunakan sepeda lipat terperosok ke lubang jalan di dekat runway Lanud Atang Sanjaya itu.

Ia mengalami luka cukup dalam di lututnya, menyobek bekas luka lama yang belum pulih.

Di akun media sosial, ia sempat mempertanyakan pemilihan rute melalui kawasan Jonggol yang penuh jalan rusak.

Dengan terpaksa, perempuan yang sudah beberapa kali ikut Audax itu menghentikan perjalanannya di KM 118.

Hujan deras disertai kilat seperti itu terus mewarnai perjalanan dari Bogor melintasi kawasan Ciseeng, Rumpin, hingga Puspitek Serpong.

Cuaca cerah sedikit saat memasuki kawasan Pamulang.

Namun setelah CP3 hujan deras, sederas-derasnya kembali mengguyur bumi.

Di Pamulang lalu lintas mulai padat.

Saya bertemu kembali dengan rombongan komunitas Halim Loop yang berjumlah tujuh orang.

Kelompok ini termasuk kelompok yang solid berjalan beriringan dari awal sampai akhir perjalanan, meski semua menggunakan sepeda lipat.

Kemampuan mereka juga merata, baik pesepeda perempuan maupun laki-laki.

Kami berjalan dengan kecepatan tinggi sambil meliuk-liuk mencari celah disela kendaraan yang mengular di Jalan Raya Ciputat setelah flyover.

Mirip adegan di film Premium Rush.

Sampai pos isi air di Tanah Kusir sudah pukul 16.30 WIB.

Sisa waktu mulai memberi tekanan tersendiri.

Kami lalu berjalan dalam kelompok-kelompok kecil dengan kecepatan tinggi sebisanya.

Sisa tenaga bercampur dengan adrenalin yang terpicu oleh keinginan memenuhi batas waktu yang ditentukan.

Setelah CP3 di Jalan Cikini Raya, hujan deras kembali mengguyur bumi.

Kami pacu sepeda sekencang-kencangnya dengan kecepatan konstan 28-30km/jam.

Perasaan lega langsung merambat saat memasuki finis kembali di Citos pukul 18.48 WIB atau sekitar setengah jam sebelum COT.

Dr Aristi Pradjwalita, seorang pesepeda jarak jauh yang juga baru pertama kali mengikuti Audax mengungkapkan kesan-kesannya.

Dr Aristi Pradjwalita dan Agatha Tejamulya, dua pespeda tangguh.
Dr Aristi Pradjwalita dan Agatha Tedjamulya, dua pesepeda jarak jauh. (istimewa)

Menurutnya, event ini unik dan salah satu daya tariknya adalah gengsi sebagai event internasional.

“Itu yang banyak juga dilihat orang. Tapi kalau hanya memandang itu untuk ikut, ya nggak dapat apa-apa sebenarnya,” tutur wanita yang pernah bersepeda menjelajahi rute sepanjang Asia Tenggara sampai ke China dan di Eropa.   

Hal itu ia simpulkan dari pembicaraan dengan peserta selama perjalanan dan penyelenggara event.

Aristi mengatakan, konsep kepesertaan Audax sebenarnya sederhana saja.

Hanya diperlukan kekayaan jiwa untuk dapat menikmati perjalanan jarak jauh bersepeda dengan batasan waktu seperti ini.

"Kalau buatku ini sarana untuk menguji diri sendiri. Memberi makanan pada jiwa saat melakukan hal yang kita gandrungi dengan tekanan pada raga dan juga mental. 11-12 dengan saat touring jauh sendirian, kawan lawanku hanyalah diri ini. Cuaca, kontur, jarak, lapar, haus dan lain-lain adalah sobat yang setia menemani petualangan dalam tiap kayuhan," tulis Aristi sebelum memulai perjalanan.  

Bob Aria Bharuna, Koordinator Audax Randonneurs Indonesia mengakui, dari tahun ke tahun animo pesepeda untuk mengikuti event yang bukan perlombaan ini terus meningkat.

Bob Aria Bharuna, Koordinator Audax Randonneurs Indonesia.
Bob Aria Bharuna, Koordinator Audax Randonneurs Indonesia. (istimewa)

Selain itu, event tersebut ikut menggerakkan roda ekonomi di seputarnya seperti produsen aparel olahraga, aksesoris pendukung, tas sepeda, dan lain-lain yang ingin terlibat mendukung acara atau bekerjasama menawarkan produknya.

Karena itu ia bersama kawan-kawan penggerak terus berupaya menjaga kualitas event agar spirit Audax semurninya dapat terselenggara.

Sekali lagi, spirit itu di jalanan bercerita tentang kejujuran dan keberanian. Unsupported, just ride!

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved