Fesyen

Buku ‘Primbon’ Kebaya Karya Didiet Maulana di Buku Kisah Kebaya

Desainer  Didiet Maulana yang meluncurkan buku Kisah Kebaya berharap, busana Kebaya bisa mendunia seperti halnya Kimono Jepang dan Sari India.

Penulis: LilisSetyaningsih |
Istimewa
Didiet Maulana meluncurkan buku Kisah Kebaya berharap, busana Kebaya bisa mendunia seperti halnya Kimono Jepang dan Sari India. Foto dok: Desainer Didiet Maulana dan koleksi Surya Mudita 

Di bab ini Didet bercerita tentang asesoris darimana saja yang dapat dipadupadankan dengan kebaya, kain, stagen, kemben, hingga tas.

Penggunaan stagen dan kemben yang mungkin sudah banyak yang tidak ada yang tahu juga dijelaskan dengan rinci dari gambar yang ditampilkan.

Sebagai alumnus arsitektur Universitas Parahiyangan Bandung, Didiet juga memberi sentuhan jiwa arsitek dengan memberikan gambaran warna-warna  turunan  yang bisa diterjemahkan dalam warna-warna di busana, termasuk kebaya.

Baca juga: Kebaya Batik Saat Tunangan dengan Denny Sumargo Dilelang, Dita Soedardjo Mau Bantu Orang Patah Hati

Sementara di bab terakhir tertulis tentang kisah-kisah kebaya dan Svarna by IKAT Indonesia.

Selain itu, Didiet juga melampirkan peta sebaran busana nasional di Indonesia yang dirangkum dari berbagai buku, dan juga tokoh busana nasional, termasuk Mien  Uno.

“Saya ingin buku ini jadi pegangan pembuatan kebaya,  menjadi sebuah primbon dibawa dan dicari untuk pembuatan kebaya. Buku ini juga  bisa mengaktifkan penjahit rumahan untuk membuat kebaya,” kata Didiet yang  mendapat inspirasi dalam mempelajari kebaya dari mendiang nenek serta ibundanya.

Selain itu, kebaya merupakan karya anak bangsa yagn menarik untuk diceritakan secara nasional bahkan secara global.

Ia berharap kepopuleran kebaya sama seperti kimono Jepang atau Sari dari India atau lainnya yang sangat melekat dengan negara tersebut. Sehingga generasi muda juga harus bisa mengapresiasi kebaya dan cara penggunaannya serta tahu bagaimana kebaya berasal.

Romansa Sebuah Buku

Didiet bersyukur setelah bahan-bahan yang  dirisetnya sejak tahun 2012 bisa terkumpul dan bekerjasama dengan fotografer dan support lain sehingga buku bisa terwujud. 

Walaupun di era digital, Didiet masih ingin karyanya berbentuk buku. Kalaupun akan disebar lewat e-book paling cepat setahun setelah peluncuran buku.

Menurutnya, buku menjadi semacam ‘romansa’, ketika membaca tidak terganggu notifikasi, iklan tapi hanya membaca buku saja,  tanpa terganggu hal lain.

“Buat saya buku itu sakral. Hal yang bisa dipegang. Untuk kali ini Kisah Kebaya belum akan ke e-book. Saya akan membawa romantisme membelli buku, membaui tiap halaman. Waktu kecil  dikasih batasan 7 halaman  per hari, karena kalo ngga akan  bablas nggaa main, karena keasyikan membaca buku. Buku tidak ada notifikasi,  tidak ada mengecek akun-akun lain. Akan ada  Social media untuk mengenalkan tapi tidak mengubah ini jadi format e-book. Mungkin paling cepat setahun lagi format e-book,” katanya.

Ia juga mengatakan, bagian tersulit dari pembuatan buku in adalah menuangkan romentisme mengenakan kebaya.

Menghidupkan setiap jengkal kejadian, bagaimana neneknya mengenakan  kebaya,  wangi, yang membuat teringkat setiap mencium parfum itu.

Sumber: Warta Kota
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved