Berita Jakarta
Pemprov DKI Tunggu Hasil Putusan MA soal Penghapusan Sanksi Rp 5 juta di Perda Covid-19
Pemprov DKI Jakarta belum akan menghapus sanksi denda Rp 5 juta bagi orang yang menolak divaksin Covid-19 meskipun sanksi ini digugat warga.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri |
WARTAKOTALIVE.COM, GAMBIR - Pemprov DKI Jakarta belum akan menghapus sanksi denda Rp 5 juta bagi orang yang menolak divaksin Covid-19 meskipun sanksi ini digugat warga.
Pemprov DKI Jakarta baru akan bertindak bila ada putusan dari Mahkamah Agung (MA) terkait hasil uji materiil pada sanksi tersebut.
“Kita lihat nanti prosesnya jika sudah ada keputusan dari MA,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria seperti dikutip dari akun Instagram miliknya @bangariza, Kamis (24/12/2020).
Ahmad Riza Patria mengatakan, Perda Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 di Jakarta merupakan produk hukum bersama antara eksekutif dan legislatif.
Selain itu, pembentukan perda tersebut juga telah melalui prosedur hukum di pemerintahan.
Baca juga: Gubernur Banten Wahidin Halim Baru akan Membuka Sekolah Tatap Muka jika Vaksinasi Sudah Terlaksana
Baca juga: Rais Syuriah PBNU Gus Ishom Sentil Aa Gym yang Minta Presiden Jokowi Lebih Dulu Disuntik Vaksin
“Kami persilakan bagi siapa saja yang merasa keberatan dengan Perda Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 di Jakarta untuk dapat mengajukan uji materi," katanya.
"Jika ada keberatan dari warga terkait perda, silakan sampaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar pria yang akrab disapa Ariza ini lagi.
Menurut dia, masukan maupun kritikan dari warga akan diterima baik untuk menjadi bahan evaluasi pada waktu mendatang.
Mantan anggota DPR RI ini juga tak mempersoalkan bila warga mengajukan gugatan karena mekanisme itu telah diatur sesuai hukum.
Hingga kini, Pemprov DKI belum mendapat pemberitahuan resmi dari MA terkait gugatan yang didaftarkan oleh salah satu warganya.
Baca juga: Alasan Melanie Subono Ragu pada Vaksin Covid-19 yang Diimpor Pemerintah dari China
Baca juga: Hak Jawab Komite Penangan Covid-19 : Tak Ada Dokumen WHO yang Bandingkan 10 Jenis Vaksin
Pemprov DKI Jakarta sendiri telah menyiapkan Biro Hukum untuk menghadapi gugatan dan akan berkolaborasi dengan DPRD DKI untuk membantu melakukan siosialisasi kepada masyarakat tentang langkah vaksinasi.
“Sampai saat ini belum ada pemberitahuan dari MA bahwa ada gugatan warga sehubungan dengan Perda Covid-19. Jadi secara materi kami belum mengetahui secara persis gugatannya," ujarnya.
Pemprov DKI, kata Ariza, menghormati gugatan warganya karena hak setiap warga negara.
"Tapi perlu kami sampaikan Perda itu disusun Pemprov bersama dengan anggota DPRD DKI serta melibatkan berbagai pakar dan ahli di berbagai bidang," ujarnya.
Baca juga: Eko Yuli Irawan Lifter Indonesia Berharap Vaksin Covid-19 Aman Dari Zat-zat Doping
Baca juga: Vaksin Covid-19, LKPN: Ada Kelompok Masyarakat yang Takut, Ini Alasannya
Seperti diketahui, warga DKI Jakarta bernama Happy Hayati Helmi menggugat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 di Jakarta ke MA.
Perempuan yang berprofesi sebagai advokat itu mengunggat regulasi daerah karena menganggap membebani masyarakat.
Terutama mengenai sanksi denda Rp 5 juta bagi orang yang menolak divaksinasi Covid-19.
Gugatan uji materiil itu telah didaftarkan Happy bersama tiga kuasa hukumnya ke MA pada Rabu (16/12/2020).
Kuasa hukum Happy, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan, pihaknya meminta MA untuk menguji Pasal 30 dalam Perda Nomor 2 tahun 2020.
Pasal tersebut menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 5 juta.
Baca juga: Vaksin Covid-19 yang Sudah Masuk Indonesia Harus Penuhi 2 Syarat Sebelum Digunakan
Baca juga: Lembaga Survei KPN Endus Ada Penggiringan Opini untuk Tolak Vaksin Covid-19 Merek Sinovac
Menurut Vitor Santoso Tandiasa, frasa ‘dan/atau vaksinasi Covid-19’ bertentangan dengan tiga payung hukum yang lebih tinggi.
Payung hukum itu UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Serta UU Nomor 12 tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/ahmad-riza-patria-bagikan-pengalaman-sembuh-dari-covid-19.jpg)