Sepeda

Bersepeda Lipat Menyusuri Jalur Ring of Merapi di Yogyakarta Sambil Liburan Bersama Keluarga

Liburan bersama keluarga tak menghalangi hasrat Vary Situmorang untuk bersepeda mengelilingi Gunung Merapi lewat rute yang disebutnya Ring of Merapi.

istimewa
Vary Situmorang menyurusi jalur Ring of Merapi dengan sepeda lipat disela liburan bersama keluarga di Yogyakarta. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Liburan bersama keluarga tak menghalangi hasrat Vary Situmorang untuk bersepeda mengelilingi Gunung Merapi lewat rute yang disebutnya Ring of Merapi.

Kepada Wartakotalive.com, Vary yang juga dedengkot sejumlah komunitas bersepeda di Jakarta seperti Pedal dan South City Loop (SCL) menceritakan perjalanan yang selalu diidamkannya jika pergi ke Yogyakarta.

Ceritanya yang disampaikan Senin (9/11/2020) dapat menjadi inspirasi bagi siapapun pesepeda yang ingin menempuh perjalanan di sekitar Yogyakarta dalam waktu seharian dengan panjang rute 135 kilometer.

Vary menempuhnya dengan sepeda lipat yang dibawanya dari Jakarta. Berikut ceritanya:

Libur cuti bersama selama dua hari pada akhir bulan Oktober menjadi momen yang tepat untuk
berpergian ke Yogyakarta sekaligus mengunjungi mertua bersama anak-anak.

Tentu sayang jika liburan bersama keluarga selama beberapa hari ini tidak diselipkan waktu untuk sejenak bersepeda menikmati keindahan alam khas Yogyakarta.

Karena itu sepeda lipat saya angkut di bagasi mobil menuju Yogyakarta.

Jalan pedesaan

Setelah menghabiskan waktu sehari sebelumnya bersama keluarga, maka hari Jumat sekitar pukul 05.00 WIB saya mulai perjalanan menyusuri rute Ring of Merapi.

Rute ini menjadi dambaan saya sejak beberapa bulan terakhir.

Pagi itu cuaca terlihat cerah, udara sejuk pagi menyapa ramah di sela-sela pepohonan di sepanjang jalan Desa Sedan tempat saya menginap.

Jalan-jalan pedesaan di daerah Sleman ini terawat baik dan bersih sebagaimana yang saya temui hampir di seluruh wilayah Yogyakarta.

Jalan di pedesaan.
Jalan di pedesaan. (Vary Situmorang)

Sungguh menyegarkan suguhan pagi itu menampilkan harmonisasi budaya masyarakat yang luhur dengan menghargai infrastruktur  yang dibangun pemerintah daerah.

Selepas Desa Sendang Adi, saya mengayuh ke arah utara menuju Jalan Gito Gati dan pertigaan Denggung.

Baca juga: Kenangan Tujuh Petugas 10 Tahun Silam, Sepekan Sebelum Merapi Meletus Hingga Tewaskan Mbah Maridjan

Nama Jalan Gito-Gati sendiri diambil dari nama dua seniman kembar.

Keduanya adalah dalang andalan Kabupaten Sleman yang berasal dari dusun Pajangan, Pandowoharjo, Kabupaten Sleman dengan nama asli Ki Sugito dan Ki Sugati.

Mereka lahir pada tahun 1933.

Setelah lampu merah Denggung, saya lanjutkan belok ke kanan ke arah utara menyusuri Jalan Raya Magelang.

Sepanjang kiri jalan saya mencari minimart untuk sekedar mengisi perbekalan air karena belum sempat sama sekali mengisinya.

Namun hanya terlihat beberapa warung kelontong yang sudah mulai beraktivitas.

Ya sudah, saya lanjutkan saja perjalanannya sekalian nanti cari sarapan.

Nampak beberapa warga mulai menyapu halaman rumah dan warung, pertanda dimulainya denyut nadi aktivitas hari ini.

Jejeran rumah sederhana dan pertokoan kecil menjadi ciri khas masyarakat suburban nan bersahaja.

Perlahan mengayuh, sampai juga di daerah Tempel.

Baca juga: Status Gunung Merapi Naik Menjadi Siaga, Ada 12 Desa Berada dalam Wilayah Bahaya

Tepatnya di daerah Ngebong di sebelah kiri jalan nampak pabrik plastik yang sudah lama ditinggalkan begitu saja tidak terawat.

Udara sejuk masih terasa, meskipun kendaraan mulai ramai melewati Jalan Raya Magelang.

Sekitar 13km mengayuh, sekilas di sebelah kiri mulai tampak tenda kecil yang menjajakan jajanan pasar.

Ah, waktunya mengisi perut dan mengisi perbekalan air.

Jajanan tradisional tersusun rapi menggugah selera.

Saya pun menyempatkan berkenalan dengan penjualnya.

Ibu Annisa namanya, wanita tangguh asal desa setempat dengan empat orang anak.

Ibu Annisa yang bersahaja.
Ibu Annisa yang bersahaja. (Vary Situmorang)

Anak sulungnya sedang mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Yogyakarta dengan bea siswa Bidikmisi.

Suatu program bantuan biaya pendidikan dari pemerintah bagi warga yang tidak mampu.

Beruntung sekali nasib ibu ini. Bagaimana bisa tercukupi kebutuhan sekolah anaknya tanpa bantuan bea siswa? Karena jika dihitung-hitung dari harga jajanan pasar yang dijualnya yang umumnya sangat murah.

Bahkan ada yang dibandrol Rp 500,00 per buah.

Murah sekali dibanding jajanan pasar di Jakarta.

Saya pun memilih untuk menyantap arem-arem isi oncom yang keliatan menggugah selera ditambah satu bungkus plastik jus jambu merah.

Perbekalan air di tas dan botol saya isi dengan tiga botol air mineral.

“Jadi berapa semuanya Bu?” tanya saya.

Ia menjawab dengan angka yang menurut saya murah sekali.

Lalu saya memberikan sejumlah uang dua kali lipat dari angka tersebut.

Baca juga: Gunung Merapi Naik Status Jadi Siaga, 4 Kabupaten Ini Masuk Prakiraan Daerah Bahaya

Dalam hati berharap semoga bermanfaat dan membawa rejeki buat Ibu Annisa dan keluarga yang bersahaja.

Setelah perut terisi dan perbekalan air sudah diisi cukup, maka perjalanan saya lanjutkan.

Tak terlalu jauh dari warung Ibu Annisa tadi sampailah saya di daerah Salam di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang ditandai dengan tugu megah.

Sesekali saya berpapasan dan menyapa beberapa pesepeda yang juga mengarah ke Magelang.

Tiba di perbatasan Salam dan Muntilan tepatnya di Jembatan Sungai Blongkeng, ada pemandangan menarik di sebelah kiri jalan yaitu Taman 1000 Cinta.

Konon tadinya kawasan itu merupakan daerah kumuh yang saat ini diubah menjadi objek wisata yang instagramable.

Memasuki Kota Muntilan, Toko Tape Ketan Muntilan seakan menjadi ikon menyambut kedatangan tiap orang yang memasuki kota ini.

Toko yang sudah berdiri sejak tahun 1935 ini merupakan salah satu destinasi favorit
saya juga bila berkunjung ke kota Muntilan.

Jika dilihat dari tata kotanya, Muntilan terlihat sebagai kota yang sudah lama berdiri yaitu sejak peralihan kekuasaan atas Karesidenan Kedu dari Kesultanan Yogyakarta kepada pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1812.

Tidak jauh dari toko tersebut ke arah pusat kota di sebelah kanan jalan terlihat megah Wihara Hong An Kiong yang sudah berdiri sejak 1871.

Kota kecil yang tenang ini ini sungguh menarik dengan cerita sejarahnya. 

Pagi masih menyisakan kesejukan di tengah hiruk pikuk aktivitas masyarakat di sepanjang Jalan Raya
Magelang.

Celah gunung

Asik mengayuh, tak terasa lampu merah simpang Blabak, jalan utama menuju Ketep Pass sudah
terlihat di depan mata.

Memasuki Jalan Blabak Mungkid, jalanan beton mulus dan lebar mulai sedikit menanjak.

Pemandangan kiri kanan jalan mulai disajikan hamparan hijau sawah dan perkebunan warga.

Sempat berpapasan dengan ibu-ibu yang berarak berangkat menuju sawah. 

Beranjak makin ke utara di sebelah kanan nampak penginapan Resort Sevilla yang asri dan kelihatan
jejeran mobil terparkir rapat menandakan okupasi penuh saat libur panjang ini.

Perlahan mengayuh ditemani aroma udara segar khas pedesaan, sayapun memasuki wilayah Kecamatan Sawangan.

Jalan sudah mulai terasa lebih menanjak, saya tetap usahakan mengayuh santai dengan gear yang ringan sambil menikmati pemandangan.

Kiri kanan jalan masih terlihat perkebunan warga diselingi dengan balai desa, puskesmas, Bank BRI, area pemakaman umum warga dan sekolah.

Setelah melewati pertigaan Jalan Veteran (menuju Muntilan) dan Jalan Serma Darmin (menuju Candi Asu), saya pilih jalan yang paling kiri dan disambut tanjakan lumayan terjal.

Namun sambil melihat kiri kanan kesederhanaan kehidupan di desa, tak terasa tanjakan ini bisa dilalui juga.

Perlahan jalanan menanjak menuju simpang Ketep Pass.

Gunung Merapi mulai terlihat di sebelah kanan dan Gunung Merbabu di sebelah kiri.

Sepeda lipat praktis untuk penjelajahan singkat.
Sepeda lipat praktis untuk penjelajahan singkat. (Vary Situmorang)

Kita bisa melihat dengan jelas celah gunung yang merupakan  pertemuan lereng keduanya.

Suatu pemandangan yang mengagumkan.

Tiba di simpang Ketep Pass dan Selo, saya melanjutkan ke arah kanan yaitu Jalan Blabak – Boyolali menuju Selo.

Jalan menurun serasa bonus karena dari tadi menanjak.

Di jalan ini, beberapa kali saya berpapasan dengan mobil pribadi yang bernomor polisi Jakarta yang menanjak dari arah Boyolali menuju Ketep.

Setelah jalanan menurun, kemudian disambut jalan meliuk menanjak dinaungi pepohonan rindang.

Memasuki wilayah Wonolelo, mulai tampak perkebunan sayur serta tercium aroma khas pupuk
kandang.

Maka tak heran wilayah subur ini menghasilkan aneka hasil perkebunan dengan kualitas bagus sekali.

Karena tanahnya yang subur ditambah dengan kearifan masyarakat lokal yang hanya memanfaatkan pupuk kandang untuk meningkatkan produktivitas lahan.

Jalan ini serasa berada di tengah lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Sangat eksotis dan sangat fun to ride, termasuk jika menggunakan road bike sekalipun.

Semakin jauh mengarah Selo, gradien terasa semakin tinggi dan meliuk.

Awan mendung dan kabut pun mulai menutupi lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Sambil mengayuh mata memandang ke kanan jalan masuk menuju objek wisata jembatan gantung Jrakah.

Sampai di tanjakan dengan tikungan tajam persis di depan Homestay Gardu Pandang terlihat hamparan luas lereng dengan perkebunan sayur.

Sayapun sempat mengabadikan dengan video pemandangan arakan kabut menuruni punggung lereng Merapi.

Melewati jalan berliku dan menanjak, mulai terlihat kantor bank BRI Selo dan jalan mulai menurun menuju pasar dan alun-alun Selo persis di samping kantor Polsek Selo.

Di ikon kota kecil ini pastinya tidak saya lewatkan tanpa berfoto dengan berlatarkan objek wisata Bukit Sanjaya.

Di Alun-alun Selo.
Di Alun-alun Selo. (Vary Situmorang)

Setelah puas beristirahat sejenak di kota kecil Selo, perjalanan dilanjutkan menuruni turunan terjal Jalan Magelang Boyolali melewati Desa Cepogo.

Desa ini terlihat lebih ramai dibanding desa-desa dari sisi Magelang.

Namun daerah ini tetap terlihat asri dan bersahaja.

Jika dibalik, rute ini terkenal dengan sebutan tanjakan “Irung Petruk” karena sangat curam dan berliku.

Sambil menikmati bonus turunan dan pemandangan alam, sepeda saya laju meluncur bebas serasa beban hiruk pikuk kehidupan kota lepas sejenak.

Sesekali saya lihat speedometer di jam saya menunjukan angka 50 sampai 60 km/jam sesaat
memompa adrenalin.

Sesampainya di pertigaan lampu merah Kota Boyolali, saya berbelok ke selatan mengikuti petunjuk arah ke Kota Yogyakarta menyusuri Jalan Perintis Kemerdekaan, Boyolali lalu berbelok
lagi ke arah selatan.

Jumat berkah

Sekitar pukul 12.00 tiba di daerah Jatinom, banyak daerah terbuka persawahan.

Hawa panas mulai terasa menyengat.

Terbesit membayangkan semangkuk es dawet yang manis dan menyegarkan.

Tak menyangka, di sebelah kiri jalan kemudian terlihat warung es dawet khas Banjar.

Sepedapun saya tepikan dan langsung memesan semangkuk es dawet yang tampak menggirukan ini.

Tak berapa lama, satu mangkuk es dawet segar disajikan berisi potongan nangka segar, tape ketan, dawet, gula jawa dan es.

Kombinasi yang sempurna untuk menyeka rasa dahaga di tengah teriknya matahari.

Es dawet.
Es dawet. (Vary Situmorang)

Ternyata satu mangkuk terasa masih kurang, maka saya minta lagi satu mangkuk tambahan.

Rasa dahaga pergi dan perut terasa kenyang tanpa harus makan siang, maka saya pun bergegas membayar.

Ketika hendak membayar, ternyata ibu penjual es dawet menolak menerima uang saya. Beliau bilang semuanya gratis.

“Lhoo…saya minum dua mangkuk lho Bu” ujar saya heran.

Tapi dengan senyum beliau tetap tidak mau menerima uang yang saya berikan.

“Hari ini gratis Mas” jawabnya.

Sesaat saya teringat bahwa ini hari Jumat.

“Oh hari ini Jumat berkah” ujar saya dalam hati.

Suatu tradisi yang dianut beberapa pedagang untuk bersedekah dengan menggratiskan dagangannya pada setiap hari Jumat.

Dengan halus saya tetap memberikan sejumlah uang yang saya lebihkan beberapa kali lipat dari harga dua mangkuk es dawet yang saya lahap tadi.

“Bu, mohon diterima saja uangnya ya. Semoga Berkah” ujar saya lagi.

Ia akhirnya mau menerima dan berterima kasih.

Baca juga: Bersahaja Tetapi Mewah

Sambil mengayuh kembali sepeda di sisa perjalanan ke arah Klaten, saya merenung dan sangat terkesima pada apa yang telah saya pelajari dari kearifan dan kebersahajaan warga yang saya temui hari itu.

Nilai-nilai yang semakin sulit ditemui di kota-kota besar seperti Jakarta yang serba transaksional.

Memasuki wilayah Klaten, tibalah di daerah Ngawen.

Wilayah perbatasan dengan Boyolali yang merupakan dataran yang didominasi persawahan yang sangat asri dan luas.

Sesudah daerah Ngawen, maka tibalah di pertigaan Kebonarum lalu ke kiri menuju pusat Kota Klaten.

Seakan enggan segera menyelesaikan perjalanan, karena dari Klaten menuju Jogja sudah tidak terlalu jauh.

Baca juga: Jadi Mempelai, Anne Hathaway Pilih Penampilan Bersahaja

Namun udara terasa semakin panas memasuki wilayah Jalan Solo-Yogyakarta memaksa saya untuk berhenti sejenak mencari minimart demi sekedar berteduh dari panasnya hari sembari mengisi persediaan air yang menipis.

Setelah sepuluh menit beristirahat dan persediaan air penuh, sepeda lipat coba saya pacu beriringan dengan barisan kendaraan roda empat dan dua melintasi beberapa lampu merah menuju Yogyakarta.

Memasuki daerah Bogem, jejeran penjual es dawet penuh dengan pembeli dan mobil-mobil yang bernomor polisi dari luar kota berjejer rapih di kiri jalan.

Rejeki yang lumayan disela kesesakan akibat pandemi Covid-19.

Seakan menjadi penawar akan makin sulitnya perekonomian warga di tengah palgebluk Covid 19 ini.

Menjelang akhir rentetetan perjalanan kali ini, saya semakin bersyukur pada Yang Kuasa atas kehidupan dengan belajar dari kebersahajaan alam serta manusia yang saya lihat hari ini.

Awan semakin menghitam dan angin terasa semakin kencang selepas pertigaan Lapangan Udara Adi
Sucipto, membuat saya semakin memacu sepeda saya. Dan benar saja, hujan deras tiba-tiba turun tiada ampun memasuki Jalan Ring Road Utara.

Nampak beberapa dahan pohon patah diterpa angin sangat kencang.

Disambut hujan deras di rumah.
Disambut hujan deras di rumah. (istimewa)

Dengan tetap berhati-hati, saya semakin asik mengayuh sepeda menembus terpaan hujan dan
angin seakan membasuh hawa panas yang saya rasakan sepanjang jalan dari Klaten tadi.

Hujan deras ini seakan menyambut saya kembali dengan selamat di Kota Yogyakarta pada pukul 15.20 WIB setelah puas menikmati rute Ring of Merapi. Salah satu rute favorit saya selama ini. (Vary Situmorang)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved