Demo UU Cipta Kerja

Ketua IPW Neta S Pane Minta Pemerintah tak Panik pada Aksi Demo Penolakan UU Cipta Kerja

Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, pemerintah seharusnya santai saja saat menghadapi gelombang aksi demo.

Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Valentino Verry
Tribunnews.com
Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane, 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane mengatakan, pemerintah seharusnya santai saja saat menghadapi gelombang aksi demo penolakan UU Cipta Kerja.

"Sebab demonstrasi maupun mogok kerja adalah kegiatan yang dijamin dan dilindungi undang-undang," kata Neta kepada Warta Kota, Senin (12/10/2020).

Menurut Neta, IPW mengingatkan bahwa setiap anggota masyarakat dan buruh diperbolehkan melakukan aksi demo atau mogok kerja, untuk menyampaikan aspirasinya. 

"Apalagi dalam UU Ciptaker, buruh melihat banyak hal yg akan merugikan masa depannya," katanya.

Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane.
Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane. (Kompas.com)

Para pejabat pemerintah kata dia, boleh saja mengatakan UU Ciptaker adalah UU terbaik untuk melindungi buruh. 

"Tapi itu kan persepsi para pejabat pemerintah yang tidak pernah merasakan penderitaan buruh dan tidak pernah menjadi buruh," ujarnya.

Bagi IPW kata Neta adalah hak buruh untuk memperjuangkan nasibnya, termasuk melakukan aksi demo. 

"Dan hak mahasiswa, pelajar dan masyarakat lainnya untuk menyampaikan aspirasinya tentang nasib buruh," katanya. 

Sebab bagaimana pun, menurut Neta, orang tua maupun keluarganya banyak yang menjadi buruh dan bukan mustahil setelah tamat sekolah, mereka menjadi buruh.

Ratusan buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia berunjuk rasa ke gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, saat berlangsung Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (14/8/2020).
Ratusan buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Gabungan Serikat Buruh Indonesia berunjuk rasa ke gedung parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, saat berlangsung Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (14/8/2020). (Warta Kota/Nur Ichsan)

"Sehingga wajar saja memperjuangkan nasib buruh agar nasibnya lebih baik ke depan," kata Neta.

Pola pikir pejabat pemerintah dan anggota DPR, yang meminta buruh jika tidak puas segera mengajukan yudisial riview ke MK adalah pola pikir yang arogan, dan tidak peduli dengan wong cilik. 

"Para pejabat dan anggota DPR itu tak pantas bicara seperti itu. Sebab sudah seharusnya para pejabat pemerintah dan anggota senantiasa peduli dengan nasib wong cilik, terutama buruh, sehingga setiap mengeluarkan produk UU senantiasa berpihak pada nasib wong cilik dan buruh," katanya.

Sebab kata Neta, inilah makna kemerdekaan RI dan para pejuang dulu berjuang melepaskan diri dari penjajahan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

"Jika sekarang UU Cipta Kerja lebih berpihak kepada asing dan pengusaha, dan tidak berpihak kepada rakyat kecil tentunya sikap para pejabat pemerintah dan DPR sekarang ini patut dipertanyakan," ujarnya.

"Mereka para nasionalis atau kaki tangan asing yang hendak mengkoptasi Indonesia,” lanjutnya.

ILUSTRASI - Ribuan buruh berdemo dan melakukan longmarch dari Bundaran HI menuju Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Kamis (2/10). Mereka meminta agar pemerintah dan DPRD yang baru bisa menaikkan UMP 30 persen pada 2015.
ILUSTRASI - Ribuan buruh berdemo dan melakukan longmarch dari Bundaran HI menuju Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Kamis (2/10). Mereka meminta agar pemerintah dan DPRD yang baru bisa menaikkan UMP 30 persen pada 2015. (Warta Kota/adhy kelana)
Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved