Kabar Artis

Olga Lydia Sebut Jakob Oetama Banyak Berikan Inspirasi, Membuat Masa Kecilnya Luar Biasa

Olga merasa Jakob Oetama membuka wawasannya lewat buku-buku yang diterbitkan di Kompas Gramedia.

Penulis: Arie Puji Waluyo | Editor: Feryanto Hadi
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG
Pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama saat difoto di ruang kerjanya di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta, Selasa (27/9/2016). Jakob Oetama, genap berusia 85 tahun pada hari ini. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kabar duka menyelimut keluarga besar Kompas Gramedia.

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan intensif di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Rabu (9/9/2020).

Ucapan bela sungkawa disampaikan oleh banyak pihak kepada Jakob Otama di media sosial, salah satunya dari aktris Olga Lydia.

Lewat akun instagramnya @olgaly_dia, Olga Lydia menyampaikan belasungkawanya.

Ia merasa kehilangan sosok Jakob Oetama, dengan mengunggah foto dan caption kesedihannya.

VIDEO: Jakob Oetama Meninggal Dunia, Begini Suasana di RS Mitra Keluarga Kelapa Gading

Baru Kelar Masalah Hukum, Nikita Mirzani Kini Laporkan Mantan Suaminya Atas Tudingan Pemalsuan Surat

"Selamat jalan bapak Jakob Oetama, terima kasih atas kerja kerasnya," tulis Olga Lydia, dikutip Warta Kota, Rabu sore.

Olga menambahkan, ia merasa Jakob Oetama membuka wawasannya lewat buku-buku yang diterbitkan di Kompas Gramedia.

"Bapak membuka wawasan saya, mengajari saya serunya membaca melalui Bobo, Kompas, Intisari, lalu Donal Bebek, Lima Sekawan, Malory Towers, Si Kembar, Agatha Christie, Imung dan banyak lagi," tulisnya lagi.

Bahkan, berkat Jakob Oetama, Olga Lydia merasa memiliki masa kecil yang luar biasa lewat buku-buku terbitam Kompas Gramedia.

Jakob Oetama Sempat Menjadi Guru Kemudian Beralih Profesi Sebagai Wartawan, Ini Alasannya

Berkali-kali Patah Hati, Evelyn Nada Anjani Tidak Ingin Gagal dengan Alkhan Marcedo

"Saya memiliki masa kecil luar biasa melalui berbagai 'perjalanan'asik dari buku-buku terbitan Gramedia. Terima kasih.. Selamat beristirahat dalam Damai dan Kasih Tuhan.. salam hormat," tulis Olga Lydia.

Rencananya, jenazah Jakob Oetama akan disemayamkan di gedung Kompas Gramedia, di kawasan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat.

Nantinya, jenazah Jakob Oetama akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (10/9/2020).

Perjalanan karier Jakob Oetama

Bagaimana perjalanan karir Jakob Oetama sehingga bisa menjadi wartawan dan mendirikan Surat Kabar Kompas?

Pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama, genap berusia 85 tahun pada hari ini, Selasa (27/9/2016).

Sebagai sebuah refleksi atas nilai yang telah diwariskan Jakob Oetama, redaksi Kompas.com menyajikan rangkaian tulisan mengenai perjalanan hidup Jakob Oetama.

 Jakob Oetama Dirawat 2 Minggu di RS Mitra Keluarga Sebelum Wafat, Dimakamkan Besok di TMP Kalibata

Mulai Terima Tawaran Menyanyi, Yuni Shara Ungkapkan Repotnya Bekerja di Tengah Pandemi Corona

Tulisan tidak hanya merangkum perjalanan hidupnya dalam membesarkan Kompas Gramedia yang didirikannya, namun juga warna kehidupannya sebagai seorang pendidik, seorang wartawan, dan seorang pengusaha.

Meski begitu, peran terakhirnya selalu dijalani dengan kerendahan hati. Sebab, seorang Jakob Oetama lebih senang dan bangga disebut wartawan, ketimbang pengusaha.

Persimpangan

Pilihan menjadi guru merupakan cita-cita awal seorang Jakob Oetama.

Cita-cita itu muncul bersamaan dengan keinginannya menjadi pastor.

Karena itu, saat memutuskan tak melanjutkan seminari tinggi untuk menjadi pastor, Jakob memulai profesi sebagai seorang guru.

Ayah Jakob, Raymundus Josef Sandiya Brotosoesiswo, berprofesi sebagai seorang guru Sekolah Rakyat.

Mungkin alasan itu yang melatarbelakangi keinganan Jakob untuk menjadi guru.

Namun, tentu faktor ayah bukan satu-satunya alasan. Di mata Jakob, guru merupakan profesi mulia.

"Karena guru saya lihat sebagai profesi yang mengangkat martabat," kata Jakob, dikutip dari buku Syukur Tiada Akhir (2011).

FOLLOW US

Namun, setelah beberapa lama menjalani profesi sebagai guru, Jakob merasa tertarik dengan profesi lain: menjadi wartawan.

Ketertarikan ini muncul karena kegemaran Jakob menulis, terutama setelah belajar ilmu sejarah.

Minat menulis itu makin tumbuh saat dia melanjutkan ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga lulus pada 1961.

Apalagi, Jakob kemudian bekerja sebagai sekretaris redaksi majalah Penabur sejak 1956.

Di majalah mingguan itu dia melaksanakan pekerjaan pemimpin redaksi, yang membuat pengetahuannya semakin kaya di bidang jurnalistik.

Persimpangan pilihan untuk meninggalkan profesi guru semakin terlihat nyata.

Setelah lulus B-1 Sejarah dengan nilai rata-rata 9, Jakob direkomendasi untuk memperoleh beasiswa di University of Columbia, New York, Amerika Serikat.

Rekomendasi itu diberikan oleh salah satu guru sejarahnya yang juga pastor Belanda, Van den Berg SJ. Arahannya, Jakob akan mendapat gelar Ph.D dan kelak menjadi sejarawan.

Dengan menjadi sejarawan, minat Jakob dalam hal menulis akan semakin dapat disalurkan.

Tawaran yang bergengsi, mengingat universitas itu merupakan salah satu kampus bergengsi yang masuk jajaran Ivy League, salah satu dari delapan kampus top di AS.

Di tengah keraguan itu, menurut Jakob, dia pun melamar sebagai dosen di Universitas Parahyangan, Bandung, Jawa Barat.

Lamaran diterima, pihak universitas malah juga menyiapkan rumah dinas di Bandung.

Tidak hanya itu Unpar juga akan memberi rekomendasi, setelah beberapa tahun mengajar Jakob dapat menyelesaikan Ph.D di Universitas Leuven, Belgia.

"Antara mengajar sebagai dosen atau menjadi wartawan, dua alternatif yang sama-sama menarik," kenang Jakob.

"Guru sudah banyak..." Jakob Oetama kemudian menentukan pilihannya saat berbicara dengan Pastor JW Oudejans OFM. Pastor Oudejans disebut Jakob sebagai orang di balik Penabur.

Suatu ketika, Pastor Oudejans bertanya, profesi apa yang ingin ditekuni Jakob. Dengan yakin, Jakob pun menjawab, "Jadi dosen".

Namun, Oudejans memberikan sebuah pernyataan yang mengubah pandangan Jakob ketika itu.

"Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak."

Jawaban itu seakan menjawab kebimbangan Jakob saat berada di persimpangan pilihan. Saat itu, Jakob pun memilih untuk, "menjadi wartawan profesional, dan bukan guru profesional".

"Orang inilah yang mengubah hidup saya," demikian pandangan Jakob terhadap Oudejans.

Ada sosok lain yang semakin memperkuat peran Jakob di dunia jurnalistik dan sebagai wartawan.

Sosok itu adalah PK Ojong. Salah satu momentum peristiwa itu terjadi pada April 1961, menjelang Jakob lulus dari Universitas Gadjah Mada.

Ojong mengajak Jakob menemui Pemimpin Umum Star Weekly, Khoe Woen Sioe.

Kepada Khoe, Ojong menilai Jakob sebagai sosok tepat untuk menggantikan dia sebagai pemimpin redaksi Star Weekly.

Ojong saat itu dikenal sebagai sosok yang tidak disukai pemerintah, dan ini menjadikan Star Weekly memiliki tanda-tanda akan ditutup.

Akan tetapi, Jakob menolak tawaran itu dengan alasan masih fokus untuk menyelesaikan kuliah.

Namun, Ojong tidak berhenti di situ. Tak lama kemudian, dia menemui Jakob di Yogyakarta untuk mengajak membuat majalah baru.

Dengan prototipe seperti majalah Reader's Digest, Ojong menawarkan konsep media dengan konten berisi sari pati ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.

Hingga kemudian, lahirlah majalah Intisari pada Agustus 1963. Intisari menjadi buah pertama yang dihasilkan dari duet Jakob Oetama-PK Ojong.

Duet ini nantinya melahirkan Harian Kompas, juga grup Kompas Gramedia. Mengenai Ojong, dari sosok itu juga Jakob belajar banyak untuk menjadi seorang wartawan.

Ojong menjadi salah satu sosok yang membuatnya mendapat "pencerahan", dan tidak membuat dia menyesal telah memilih jalan sebagai seorang wartawan.

Sebagian atikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Persimpangan Pilihan Jakob Oetama, Menjadi Guru atau Wartawan...",

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved