Kriminalitas
Berharap Hukuman Matinya Dibatalkan, Berikut Ini Isi Memori Banding Terpidana Mati Aulia Kesuma
Memori banding telah diserahkan keduanya lewat kuasa hukum mereka, Firman Candra, ke PT DKI pada 10 Agustus Lalu.
Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Feryanto Hadi
WARTAKOTALIVE.COM, SEMANGGI-- Dua dalang pelaku pembunuhan berencana yakni Aulia Kesuma (46), dan anaknya Geovanni Kelvin (24), yang divonis pidana mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (15/6/2020) lalu, akhirnya telah resmi mengajukan proses banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.
Memori banding telah diserahkan keduanya lewat kuasa hukum mereka, Firman Candra, ke PT DKI pada 10 Agustus Lalu.
"Proses banding sudah diterima oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kami dari Firman Candra Law Firm telah membuat memori banding terhadap putusan majelis hakim PN Jaksel dan alhamdulillah JPU Kejari Jaksel tidak membuat memori banding," kata Firman, kepada Warta Kota, Minggu (30/8/2020).
Fieman berharap dalam putusan banding ini, Aulia Kesuma dm Kelvin dibebaskan dari hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. "Semoga putusan Pengadilan Tinggi DKI membatalkan vonis mati, putusan PN Jaksel," kata Firman.
• KSAD Jenderal Andika Perkasa Perintahkan Pecat Oknum TNI AD Yang Merusak Mapolsek Ciracas
Dalam putusan PN Jakarta Selatan, Aulia dan Kelvin terbukti sebagai dalang atau otak pembunuhan terhadap ayah dan anak, yakni Edi Chandra Purnama (54) alias Pupung dan Muhammad Adi Pradana alias Dana (24).
Aulia adalah istri muda Pupung.
Motif pembunuhan karena Aulia ingin menguasai rumah Pupung di Jalan Lebak Bulus 1, Cilandak, Jakarta Selatan. Tujuannya untuk melunasi utang Aulia di dua bank yang mencapai Rp 10 Miliar.
Karenanya Aulia menyewa dua eksekutor atas bantuan beberapa orang yang dikenalnya. Totalnya ada 7 tersangka dalam kasus ini, namun hanya Aulia dan Kelvin yang divonis mati.
Firman mengatakan sejumlah fakta hukum dalam proses persidangan di PN Jaksel, menjadi isi utama memori banding. Dari sana, Firman berpendapat putusan pidana mati terhadap Aulia dan Kelvin, layak dibatalkan.
"Sebab ada beberapa alasan, dan kami cantumkan di memori banding. Diantaranya, pertama, adanya kekhilafan majelis hakim PN Jakarta Selatan. Kedua, kami dari pihak terdakwa tidak diperkenankan membawa saksi dan saksi ahli," kata Firman.
Yang ketiga katanya, sidang yang dilakukan secara teleconference kerap terganggu jaringan atau bandwith yang standar, sehingga komunikasi tidak jelas.
"Sidang online yang tidak komprehensif memberikan alat bukti, serta pertanyaan-pertanyaan kepada saksi dan terdakwa yang tidak jelas karena komunikasi tidak lancar atau bandwidth yang standar," kata Firman.
• TNI Akan Ganti Rugi, Warga Diminta Melapor jika Harta Benda jadi Korban Penyerangan di Ciracas
Dari sejumlah alasan yang dibeberkan di memori banding, Firman berharap PT DKI membatalkan putusan PN Jakarta Selatan.
"Untuk batas waktu putusan banding nanti, yang menentukan adalah majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI," katanya.
Sebelumnya kata Firman, atas vonis mati yang diterima kliennya, Aulia Kesuma mengirim surat dengan ditulis tangan ke keluarga besar korban yang dibunuhnya serta juga mengirim surat ke sejumlah pihak termasuk Presiden RI.
"Surat permohonan maaf tulis tangan bu Aulia sudah dikirimkan ke keluarga Almarhum, dan sampai mengatakan kalau keluarga Almarhum masih belum ikhlas, bu Aulia siap dan nyawapun ikhlas dipertaruhkan," kata kuasa hukum Aulia dan Geovanni, Firman Candra kepada Warta Kota, Rabu (15/7/2020) lalu.
"Maksudnya bila keluarga Almarhum tidak ikhlas, ia siap diapapun oleh keluarga almarhum," tambah Firman.
• Polisi Belum Temukan Selongsong dan Proyektil di Kasus Sekuriti Diduga Tertembak Peluru Nyasar
Firman menjelaskan meski pasrah, kondisi mental dan psikologis terpidana mati kasus pembunuhan berencana, Aulia Kesuma dan anaknya Geovanni Kelvin (23), makin terpuruk.
Hal itu setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis mati keduanya, Senin (15/6/2020) lalu.
"Kondisi Aulia dan Geovanni sangat terpuruk dari sisi psikologis dan mentalnya," kata Firman Candra kepada Warta Kota.
Menurutnya, Aulia kini mendekam di Rutan Pondok Bambu dan Geovanni di LP Cipinang.
Surat permohonan maaf tulis tangan Aulia katanya sebagai bentuk penyesalan Aulia atas apa yang dilakukannya.
Sebelumnya kata Firman, pihaknya juga sudah mengirimkan surat resmi ke Presiden Joko Widodo dan beberapa lembaga negara untuk meminta keadilan demi membebaskan kliennya dari jerat hukum pidana mati.
Surat dikirimkan ke Presiden RI, Wapres, Ketua Komisi 3 DPR RI, Komnas HAM, Ketua Pengadilan Tinggi DKI, Ketua MA dan Menkumham, Jumat (19/6/2020).
Firman Candra mengatakan pihaknya masih menunggu balasan surat dari Presiden Jokowi.
Sementara itu, Komnas HAM meminta dokumen tambahan ke pihaknya untuk menindaklanjuti surat permohonan dari Aulia dan Geovanni.
"Dokumen tambahan yang diminta, sudah kami kirimkan semua ke Komnas Ham," kata Firman kepada Warta Kota, Rabu (15/7/2020).
Diantaranya kata Firman, salinan identitas pengadu dan korban, surat kuasa, sampai pada amar putusan dan beberapa dokumen lainnya. "Semuanya sudah kami serahkan," kata Firman.
Firman menjelaskan surat yang dikirim Jumat (19/6/2002) lalu berupa permohonan keadilan ke beberapa lembaga negara.
"Kami kirim ke Presiden RI, Wapres, Ketua Komisi 3 DPR RI, Komnas HAM, Ketua Pengadilan Tinggi DKI, Ketua MA dan Menkumham," kata Firman.
Dalam salinan surat yang ditujukan kepada presiden tersebut dan didapat Warta Kota, terdapat delapan poin utama yang ingin disampaikan Aulia Kesuma.
Berikut delapan poin tersebut:
1. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 Direktorat Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu hak untuk hidup dan Pasal 4 Undang-Undang No.29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2. Terdakwa Aulia Kesuma memiliki putri yang masih balita dari perkawinannya dengan almarhum EDI CANDRA PURNAMA (korban yang dibunuh Aulia).
3. Beberapa Yurisprudensi kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, sudah divonis majelis hakim dan inkracht tidak ada vonis pidana mati seperti: Afriani Susanti dengan korban 9 orang meninggal dengan vonis 15 tahun; Magriet Christina Megawa dengan satu korban meninggal dengan vonis seumur hidup; dan Jessica Kumala Wongso dengan satu korban meninggal dengan Vonis 20 tahun
4. Selama hukuman mati masih menjadi sanksi dalam hukum pidana, maka Indonesia disebut masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam pancasila.
Hukuman mati yang diturunkan penjajah juga dianggap tidak mengambarkan kemajuan secara nasional atau[uj internasional.
5. Berdasarkan Ditjen Permasyarakatan 2019 dan database ICJR mengenai hukuman mati di Indonesia (2020) menunjukan ada sekitar 274 terpidana mati dalam lapas.
Sementara itu 60 orang yang sudah duduk menunggu eksekusi mati selama lebih dari 10 tahun, tanpa kejelasan hidup, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab.
6. Hukuman mati di berbagai belahan dunia memang masih menuai pro dan kontra. Albert Camos dalam esai panjang Reflection on the Guillotine menentang hukuman mati.
Menurut dia, hukuman ini tak memberikan keadilan juga tidak tak memberikan dampak apapun kterhadap kejahatan.
Ia hanya sebuah tindakan brutal. Hukuman mati hanya memberikan kepuasan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi dan dalam argumenya itu, Camuo menyebut negara tak punya hak untuk merebut hidup orang lain.
7. Pada 2015 beberapa negara akhirnya memutuskan untuk menghapus praktik hukuman mati dalam konstitusi mereka.
Madagaskar telah menghapus hukuman mati pada tahu 2015, disusul kemudian Fiji pada bulan februari, Suriname pada bulan Maret dan pada November 2015, Congo memutuskan untuk menghapus sama sekali hukuman mati.
8. Berdasarkan alasan- alasan tersebut, kuasa hukum menyatakan dua terdakwa yakni Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Pertama Pasal 340 Jo. 55 Ayat 1 ke 1 KUHP dan harus segera dibebaskan dari vonis Pidana Mati tersebut.
Sebelumnya Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, karena terbukti membunuh Edi Chandra Purnama dan Muhammad Adi Pradana alias Dana, secara berencana.
"Terdakwa satu yakni Aulia Kesuma dan terdakwa dua yakni Geovanni Kelvin, terbukti sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal.340 KUHP. Karenanya menjatuhkan hukuman kepada masing-masing terdakwa dengan pidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Yosdi dalam pembacaan putusannya di PN Jakarta Selatan, Senin (15/6/2020).
Majelis hakim menilai dua terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana dan tergolong sadis serta tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Sigit Hendradi.
Sigit mengaku mengapresiasi putusan majelis hakim yang sesuai tuntutan.
Selanjutnya, JPU menunggu sikap kedua terdakwa, apakah akan banding atau menerima putusan.
"Kita tunggu dulu sikap dari mereka, (pihak kuasa hukum). Kalau mereka minta banding saya juga minta banding," kata dia saat dihubungi.
Awal mula kasus, Aulia Kesuma merencanakan pembunuhan terhadap Edi dan Dana pada 2019.
Pembunuhan berencana itu berawal ketika Aulia merasa sakit hati kepada Edi Aulia yang mengklaim dirinya harus banting tulang seorang diri dalam menopang ekonomi keluarganya.
Menurut Aulia, Edi tidak memiliki pekerjaan sejak mereka menikah tahun 2011.
Mereka juga sering bertengkar karena hal-hal sepele. Salah satu sumber percekcokan adalah soal pergaulan anak tirinya, Dana.
Masalah selanjutnya muncul ketika Aulia memutuskan untuk meminjam uang senilai Rp 10 miliar ke bank pada tahun 2013.
Uang tersebut digunakan untuk membuka usaha restoran. Dari pinjaman itu, Aulia harus mencicil uang senilai Rp 200 juta setiap bulan.
Ia sempat merasa stres dan memiliki niat untuk bunuh diri karena merasa berat membayar cicilan tersebut. Namun, Edi kembali lepas tangan dalam menanggung cicilan tersebut.
Aulia berharap rumah Edi di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dijual untuk melunasi utangnya. Namun, usulan itu tidak diizinkan Edi. Aulia dibantu anak kandungnya, Kelvin, dan para pembunuh bayaran.
Edi dan Dana dibunuh dengan cara diracun menggunakan 30 butir obat tidur di rumahnya. Dua jenazah korban itu langsung dibawa ke Sukabumi untuk dibakar di dalam mobil.(bum)