Jalur Sepeda
BERITA VIDEO: Kisah Iwan Sunter, Kuli Pasar Jakarta yang Bersepeda di Himalaya (1)
Kisah Kuli Pasar Jakarta Bersepeda di Pegunungan Himalaya (1).Simak selengkapnya dalam berita ini.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Dunia petualangan Idonesia tak pernah kekurangan sosok yang inspiratif dengan kegiatan yang dilakukannya di alam terbuka.
Salah satu sosok itu adalah Iwan Budiyanto (46) yang akrab dikenal dengan julukan Iwan Sunter.
Sekitar dua tahun lalu Iwan menyelesaikan perjalanannya yang fenomenal dengan bersepeda mendaki Thorong La (5.416m).
Celah gunung tertinggi di Annapurna Circuit itu selama ini sering didaki wisatawan yang ingin mencicipi jalur pendakian di Pegunungan Himalaya.
Mari kita simak obrolan dengan Iwan dalam video di YouTube Warta Kota Production di bawah ini :
• BERITA VIDEO: Bersepeda Melipir Jurang di Jalur Trisakti
• BERITA VIDEO: Gowes Bareng Om John, Pesepeda Jarak Jauh Asal Depok, Ini Tips Bersepeda Darinya
• (BERITA VIDEO) Bersepeda Lintas Gang ke Gang dari Tapos Sampai Jalan Margonda Depok
• [BERITA VIDEO] Blusukan di Hutan Jatijajar Depok Pakai Sepeda Lipat
Sejumlah event bersepeda ekstrem juga rutin digelar di jalur itu. Namun sejauh yang dapat dijangkau informasinya, belum ada pesepeda Indonesia yang melintas dengan sepeda di jalur itu.
Tim Warkot Gowes kali ini, Selasa (21/7/2020) mendatangi Iwan Sunter di tempat tinggal di dekat Pasar Bambu Kuning, Sunter, Jakarta Utara.
Saya bersepeda dari Kebayoran Lama dan bertemu Ote di kawasan Sunter. Ote melakukan mixtransport. Bermotor dengen membawa sepeda lipat ke Stasiun Pondok Cina, lalu naik KRL dan turun di Stasiun Rajawali, baru bersepeda lipat ke Pasar Bambu Kuning.
Kami menyusuri jalan-jalan kecil di lingkungan pasar tradisional dekat Danau Sunter, tak lama kami bertemu Iwan.
Iwan memang anak kampung situ karena sejak lahir hingga kawin dan punya anak satu, menetap di situ.
• [BERITA VIDEO] Bersepeda ke PP Cimanggis Depok, Ini Aturan Ambil Bibit Pohon Gratisnya
Saat kami datang menjelang sore, ia masih sibuk bekerja bongkar muat barang. Menurunkan barang dari truk dan memindahkannya ke gerobak untuk diangkut ke toko-toko yang ada di pasar.
Begitulah keseharian Iwan Sunter yang kami saksikan.
Tak berselang lama, tugasnya selesai. Di samping gerobaknya, di pinggir jalan, kami gelar kardus dan bercerita tentang perjalanannya.
Iwan sosok sederhana yang penuh rasa ingin tahu. Gerakannya gesit. Disela obrolan, datang truk atau mobil box pengangkut barang.
Dengan sigap Iwan berdiri dan mengatur parkir mobil itu untuk menurunkan bawaannya. Lalu tak lama kami duduk lagi melanjutkan cerita.
“Ya begini inilah sehari-hari kerjaan saya,” kata Iwan membuka percakapan.
Keseharian yang bekerja mengandalkan olah fisik yang prima itu membuatnya kerap tak perlu mempersiapkan diri secara khusus untuk menempuh perjalanan jauh.
Saat akan menjalani kegiatan lari dari Aceh sampai Jakarta sejauh 2.500km misalnya, ia tinggal melatih keleneturan dan kerasnya permukaan telapak kaki dengan bekerja sambil nyeker, tanpa alas kaki.
Begitu pula saat akan bersepeda di Himalaya, ia menambah porsi latihan dengan bersepeda di sekitar tempat tinggalnya.
Enam bulan lamanya ia mempersiapkan perjalanan ke Thorong La.
“Paling pusing ya cari duit. Kita mau kemana aja, bikin kegiatan apa aja, intinya harus ada duit. Untuk itu saya jualan kaos. Beberapa kawan membeli dengan harga jauh melebihi bandrol, itu jadi donasi untuk saya,” tutur Iwan sambil menyebut beberapa nama kawan yang banyak membantu.
Sebagian besar kawan dari komunitas sepeda, terutama Bike Pe’a, komunitas pesepeda yang doyan bersepeda jauh lalu camping.
Tiket pulang-pergi ke Nepal didapatnya dari sang kakak. Sisanya didapat dari bekerja ekstra jadi tukang parkir di akhir pekan dan menyisihkan pendapatan hariannya.
Total ia menghabiskan dana Rp 10 juta untuk perjalanan itu.
Tak banyak kesulitan berarti di perjalanan. Ia mendapat bantuan dari seorang pesepeda Nepal yang dikenalnya lewat FB, Rongguk.
Jadi begitu tiba di Kathmandu, ia dijemput di bandara dan diajak tinggal di rumah Rongguk.
Sempat berkeliling Kathmandu sampai ke Thamel, Iwan juga dikenalkan dengan sejumlah kawan pesepeda setempat dan dijamu.
“Kejutan perjalanan selalu ada, seperti punya keluarga dimanapun kita pergi. Jadi selama di Kathmandu saya nggak keluar apa-apa, malah banyak teman baru dan dijamu terus,” tuturnya.
Dalam perjalanan dari Kathmandu ke Pokhara, kota terakhir sebelum mendaki ke arah Thorong La, ia ditemani Rongguk. Mereka lalu berpisah di pertigaan menuju Besisahar.
Dari titik itu Iwan melanjutkan perjalanan seorang diri menunggang sepeda gunung bersuspensi depan (hardtail). Sepeda itu dipasangi rak belakang untuk mengikat ransel berisi barang bawaan seberat 15kilogram.
Sementara itu,berikut ini adalah kisah perjalanannya yang pernah ditulis harian ini.
Selain persiapan fisik, Iwan menabung dan menggalang dana dari sejumlah donatur, termasuk produsen perlengkapan outdoor yang membantu menyediakan perlengkapan untuk pendakian gunung salju.
Menurut Iwan, perjalanan itu sangat menguji mental karena dengan berbagai keterbatasan yang ada, ia seperti tertantang untuk tetap berangkat.
Iwan ingin bersepeda ke kawasan Everest Base Camp (5.300m). Namun rencana itu ia urungkan karena tidak diizinkan bersepeda di kawasan itu.
Ia lalu melirik kawasan barat Nepal dimana terdapat jajaran Gunung Annapurna (8.091m) yang masih satu rangkaian dengan Pegunungan Himalaya.
Di kawasan itu terbentang Annapurna Circuit, jalur pendakian melingkar menuju sejumlah puncak di kawasan Gunung Annapurna.
Pada jalur itu terdapat celah gunung Thorong La (La dalam bahasa Tibet artinya celah gunung/pass) yang menjadi titik tertinggi yang bisa digapai dengan bersepeda dan secara rutin digunakan sebagai ajang lomba bersepeda gunung kelas dunia.
Maka sasaran bersepeda diarahkan untuk mencapai puncak Thorong La itu dari arah timur ke barat.
Iwan berangkat dari Jakarta ke Kathmandu pada 14 April 2018 dan menjelajahi kawasan sebelah barat Nepal sampai ke Pokhara.
Dari sana Iwan mencari jalan untuk bisa bersepeda di Annapurna Circuit.
"Untuk bisa masuk ke kawasan itu ada dua izin dengan biaya 2.000 dan 2.300 rupee. Karena sudah diniatkan dari Jakarta, semua sudah saya perhitungkan, dana cukup. Jadi begitu dapat izin, langsung bergerak ke arah timur dari Pokhara," tuturnya.
Dengan sepeda gunung bersuspensi depan dan perlengkapan yang disimpan dalam ransel, Iwan bergerak ke Besisahar (760m), desa terakhir sebelum mendaki ke Thorong La.
Ia memulai perjalanan bersepeda mendaki jalur berbatu dan berpasir sampai ke Thorong Pedi.
Ransel seberat 15 kilogram diikatkan di rak belakang sepeda.
Terkadang bila jalur terlalu terjal dan sepeda harus dituntun, ransel itu dia panggul.
"Sejak dari Thorong Pedi jalurnya terjal sekali, jadi ransel sering dipanggul dan sepeda kadang dituntun dan kadang dipanggul juga. Nggak ada masalah, Cuma lutut sering sakit gantian kanan-kiri. Setiap perjalanan memang ini lutut suka bermasalah," tutur Iwan.
Cara seperti itu dilakoninya sampai ke Manang (3.519m).
Sepanjang perjalanan empat hari itu ia menginap di losmen murah yang disediakan penduduk desa.
Untuk mengurangi beban, tenda dan sejumlah perlengkapan yang tidak diperlukan ditinggalkan di Pokhara.
Apalagi ia sudah mendapat informasi lebih detail tentang penginapan di sepanjang jalur yang akan dilalui.
Hari kelima, ia langsung menyerbu puncak gunung sambil bersepeda melintasi lereng bersalju.
Menurutnya, tantangan yang terberat adalah tipisnya kadar oksigen di udara (sekitar 40%) saat mencapai ketinggian di atas 4.000 meter.
Bersepeda di ketinggian itu menurutnya membutuhkan mental yang benar-benar kuat.
"Dada terasa sesak dan dinginnya minta ampun. Bawa sepeda sambil manggul ransel gitu badan remuk rasanya tapi saya lakoni saja pelan-pelan," tutur Iwan yang pada 2015 berlari dari Aceh ke Jakarta sejauh 2.500 kilometer.
Berbagai keterbatasan tak menghalangi menghalangi tekad dan niat Iwan Sunter mencapai Thorong La di Nepal. (istimewa)
Hal lain yang mengesankan adalah,"Pertama kalinya melihat es batu turun dari langit dan hujan salju," tuturnya sambil tertawa.
Dari Manang ia terus mendaki sambil menuntun sepeda hingga akhirnya sampai di puncak Thorong La pada siang hari dan mengibarkan Merah Putih disana.
Tak berlama-lama, duda satu anak berambut gondrong itu meluncur turun ke Muktinath, dilanjutkan sampai ke Tatopani. Salah satu target penjelajahan di Nepal pun terpenuhi.
Iwan mengatakan, ia masih akan menjelajahi kawasan sekitar Pokhara sampai tanggal 9 Mei dan pulang ke Jakarta keesokan harinya.
Siapapun bisa
Setengah merenung Iwan mengatakan, setiap perjalanan selalu menghadapkannya pada momentum introspeksi diri.
Sendirian di tengah hamparan salju, gunung besar, dan keheningan membuat dirinya dipenuhi rasa syukur dapat menerima semua pengalaman perjalanan.
“Bersyukur bisa melihat semua keindahan dan introspeksi juga atas semua kesalahan selama ini ke lingkungan sekitar, ke orang-orang yang pernah saya buat salah. Semua terbuka disana,” tutur Iwan.
Iwan memang tergolong petualang serba bisa. Rasa igin tahu yang besar mengatasi semua keterbatasan.
Disamping mengumpulkan uang bulanan untuk anaknya yang kini berusia sembilan tahun dan ikut ibunya di Lampung, ia tetap menabung untuk perjalanan.
Iwan juga tak mau hanya menggantungkan penjelajahan pada satu moda semisal bersepeda atau berjalan kaki. Ia selalu ingin mencoba hal baru dengan segala tantangannya.
Maka ia punya keinginan melanjutkan penjelajahannya menyusuri Pulau Jawa dengan in line skate.
Persiapan sudah mulai dilakukan dan seharusnya tahun ini ia melakoni perjalanan itu, namun terhadang pandemi Covid-19.
Untuk sementara Iwan harus bersabar menunggu pandemi ini mereda dan petualangan dilanjutkan kembali.
Soal perjalanan bersepeda jarak jauh Iwan berpesan, semua pesepeda mampu melakukannya dengan persiapan yang matang.
Yang terpenting, kita mau belajar dari berbagai sumber dan tidak menutup diri.
Apalagi sekarang sumber informasi terbuka luas dan orang punya banyak pilihan untuk berkegiatan.
“Duit memang penting dan mengumpulkan duit untuk membiayai perjalanan itu bagian dari tekad mewujudkan perjalanan itu.
Makanya kalau sudah punya tekad ya apapun harus dihadepin, termasuk bagaimana caranya ngumpulin duit,” tuturnya.
Tak terasa hampir dua jam kami ngobrol di pinggir jalan. Senja menjelang dan kami pamit pulang menyusuri kawasan Kemayoran sampai Palmerah.
Lalu lintas padat. Langit biru kelam di keremangan senja memeluk Jakarta yang ramai. Seramai pikiran yang berkecamuk tentang perjalanan kami berikutnya. Nantikan saja, sob.