Film

Ajeng Canyarasmi, Sound Designer Asal Bandung yang Menembus Industri Film Hollywood

Ajeng Canyarasmi sound desaigner Bandung terobsesi menembus industri film Hollywood. Gadis yang akrab dipanggil Jay ini memenangi sejumlah award

Penulis: Rusna Djanur Buana | Editor: Rusna Djanur Buana
dok.pribadi
Ajeng Canyarasmi sound designer asal Bandung 

Pernah melihat film Robocop, Speed, Planet of The Apes, Kung Fu Panda? Atau pernah mendengar Preman, film nasional yang akan tayang dalam waktu dekat?

Adegan-adegan perkelahian, tembak-tembakan di film tersebut terasa begitu nyata.

Suara langkah kaki, senjata jatuh, interaksi antar-tokoh, dan hembusan angin membuat film semakin lebih dramatis dan tegang.

Tapi tahukah Anda, suara-suara tersebut ternyata tidak berasal dari hasil rekaman saat syuting.

Ada fakta menarik, sebagian besar sound atau suara film-film produksi Hollywood dihasilkan melalui proses paskaproduksi yang disebut foley.

Dibutuhkan keterampilan khusus untuk menghasilkan suara persis aslinya.

Sutradara-sutradara terkenal Hollywood seperti David Lynch dan George Lucas mengatakan film terdiri dari 50 persen gambar atau visual dan 50 persen suara.

Artinya secara teori, di sebagian besar film, suara itu sama pentingnya dengan visual.

Bahkan untuk film dengan genre tertentu seperti sci-fi, fantasi, action dan horor, peran desain suara sangat

signifikan dalam mendiktekan apa yang terjadi secara visual atau yang tidak kelihatan secara visual.

Di film horor misalnya, seringkali kita mendengar decitan lantai atau bunyi perabot yang tidak diketahui asalnya.

Lalu kesunyian mencekam datang ketika tokoh mendekati sebuah objek misterius, dan dhuarrr!! Stinger musik membuat penonton kaget.

Nah, untuk menghasilkan suara-suara tersebut diperlukan proses sound designing, atau desain suara, dan re-recording mixing, atau rekam-ulang suara.

Itu adalah dua proses yang berbeda tapi berkaitan erat di paskaproduksi suara.

Ketika gambar film selesai disunting (picture editing), penyunting suara, atau sound editor akan menyunting setiap potongan suara

sehingga film tersebut terdengar mulus dan sesuai konteks.

Ketika suntingan suara sudah rapi dan merata, sound designer akan menambahkan efek suara yang sebelumnya tidak ada atau kurang afdal.

Contoh klasiknya adalah adegan berantem di tengah situasi kejar-kejaran mobil di film action.

Semua suara dramatis itu ditambahkan pada fase sound designing: tonjokan di bahu, suara “woosh” ketika tokoh mengelak serangan, suara mesin mobil, tembakan senjata tokoh utama yang besar dan menggelegar versus tembakan pistol tokoh antagonis yang redup.

Tugas sound designer adalah memastikan semua efek suara tambahan itu membuat setiap adegan di film menarik bagi penonton dan berkontribusi kepada cerita film tersebut.

Profesi sound designer inilah yang digeluti Ajeng Canyarasmi, gadis enerjik asal Kota Bandung.

Ajeng Canyarasmi berada di ruang kerjanya
Ajeng Canyarasmi berada di ruang kerjanya (dok.pribadi)

Tidak ingin tanggung-tanggung, jebolan Fakultas Matematika Institut Teknologi Bandung ini menuntut ilmu sound designing dan re-recording mixing di University of Southern California dan lulus dengan indeks prestasi yang hampir sempurna.

Ketertarikannya pada dunia sound designing dan re-recording mixing membuat Ajeng mengesampingkan cita-cita awalnya menjadi sutradara film. 

“Awalnya,  ingin menjadi sutradara. Tapi seiring waktu saya lebih tertarik untuk mengasah keahlian saya di bidang filmmaking.

Bagu saya film adalah karya seni yang dibangun dari beragam bidang dan aspek yaitu sutradara, akting, desain set, sinematografi, efek spesial, penyuntingan gambar, rekaman suara, desain dan penyuntingan suara (sound designing & editing), dan rekam-ulang suara (re-recording mixing).

Saya telah menyaksikan puluhan, bahkan ratusan film dibuat setiap tahun.

Dan tragisnya, saya merasa suara adalah bagian dari film yang seringkali terlupakan atau dinomorduakan dalam proses pembuatan film.

Selain itu, tidak banyak orang ingin bekerja di bidang suara di industri film, setidaknya itu yang saya lihat selama ini di Los Angeles secara keseluruhan.

Di sisi lain, saya melihat ada ‘keajaiban’ dari menyematkan efek-efek suara secara teliti, membuat adegan yang terlihat palsu (seperti adegan berkelahi di film action) tampak sangat nyata ketika efek suara sudah ditambahkan di paskaproduksi.

Inilah yang membuat saya jatuh hati dengan desain suara dan rekam-ulang suara di paskaproduksi film.

Pekerjaan yang sepertinya kecil dan remeh, tapi kalau dilakukan dengan teliti dan rapi dapat membuat film sangat terpoles,” tutur Ajeng yang saat ini berdomisili di Echo Park, sebuah distrik di Los Angeles.

Gadis kelahiran 11 Mei 1992 ini kemudian memilih bekerja sebagai kontraktor independen di sound designing dan re-recording mixing.

Sudah puluhan film sudah digarap Ajeng bersama beberapa sineas Los Angeles dan banyak dari film tersebut memenangi festival film di AS atau negara lain.

Di antaranya film Super (animasi), Cupcake (drama), Side Effecets (mini seri), Perfectly Natural (sci-fi) dan sebuah film horor Say After Me.

Film Super memenangi kategeori Best Original Story di Los Angeles Film Award 2019, sementara film Say After Me memenangi kategori Best Mystery Short di Indie Short Fastival 2018.

“Untuk film Cupcake masuk dalam Official Selection di Canes Short Fim Showcase 2020.

Puji Tuhan, saya juga pernah bekerja sama dengan sound designer dan re-recording mixer untuk film Hollywood ternama seperti trilogi Lord of The Rings, A Quiet Place, World War Z, Robocop, Speed, Planet of The Apes, Kung Fu Panda dan lainnya.

Mimpi besar saya adalah suatu hari saya bisa ikut menggarap film Hollywood besar sebagai sound designer dan re-recording mixer,” imbuh Ajeng yang memiliki hobi menari, mendengarkan lagu, dan mengemil ini.

Jika pulang ke Indonesia nanti, dia punya cita-cita ambisius mendirikan organisasi non-profit di Indonesia dengan tujuan membangun sekolah seni yang berfokus pada teknologi seperti film, animasi, komposisi musik dan lainnya, serta memberikan dukungan finansial kepada proyek-proyek kreatif garapan seniman Indonesia.

"Mungkin kalau dianalogikan, kalau Bekraf NASA-nya Amerika, saya bercita-cita jadi Elon Musk yang memiliki Space X, tapi lebih mengutamakan orang kreatif lokal. Didoakan saja,” tutup Ajeng.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved