Virus Corona

Rawan Kelaparan dan Kesulitan Pangan Dampak Wabah Virus Corona, Warga di Papua Berkebun Massal

Wabah virus corona atau Covid-19 membuat rawan kelaparan dan kesulitan pangan di Papua.

Editor: PanjiBaskhara
bbc.co.uk/kompas.com
Virus Corona 

Ketergantungan pada beras

Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua mengatakan, mengatakan pandemi ini bisa menjadi momentum bagi warga untuk kembali pada kebiasaan khas nenek moyang, yakni berkebun. (Charles Toto)

Papua dan Papua Barat adalah dua provinsi dengan indeks ketahanan pangan paling buruk di Indonesia, menurut data kementerian pertanian tahun 2019.

Agus Sumule, dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua di Manokwari mengatakan, sebanyak 51% warga di Papua dan 75% di Papua Barat menggantungkan hidup pada bahan pangan yang datang dari luar tanah Papua, khususnya beras.

Jika ada gangguan logistik pangan akibat pandemi, menurut perhitungan Agus Sumule, sekitar 2,4 juta masyarakat di kedua provinsi itu "terancam kelaparan".

Maka, ujar Agus, menanam adalah salah satu cara mengantisipasi kelaparan dan kesulitan pangan.

"Saya katakan, jangan tunda, harus segera menanam," ujarnya.

"Di lingkup nasional, kita dianggap bukan daerah yang punya ketahanan yang baik karena ketergantungan makanan dari luar"

"Maka dalam pandemi ini, kondisi ketahanan pangan sangat rawan," ujar Agus.

Di akhir April, defisit beras di tujuh wilayah, sempat diumumkan oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu wilayah itu adalah Papua Barat, sebagaimana diumumkan oleh Bulog kemudian, meski di pertengahan Mei, pemerintah mengklaim telah memenuhi stok beras di daerah itu.

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso mengatakan pihakya akan menyiapkan sagu, jika terjadi kekurangan beras di Indonesia bagian timur.

'Gara-gara raskin'

Ketergantungan masyarakat di tanah Papua terhadap beras terjadi sejak kepempimpinan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memperkenalkan program raskin, ujar Agus Sumule.

Sejumlah warga antre untuk mendapatkan bantuan sembako dari Pemprov Papua di Panti Jompo Pos Tujuh, Sentani, Jayapura, Papua, (02/05). (ANTARA FOTO)

Saat itu, kata Agus, beras dijual sangat murah hingga pernah mencapai Rp1.500 per kilogram, hingga membuat warga merasa tak perlu menanam bahan pangan.

"Bagaimana mau rangsang warga terus tanam? Kalau beras begitu murahnya apa gunanya dia menanam lagi? Itu masalahnya," ujar Agus.

"Kita mesti tinjau kebijakan yang keliatannya populis, tetapi sebenarnya mematikan produktivitas masyarakat."

Padahal, menanam tanaman lokal sebetulnya lebih sederhana dan tidak membutuhkan area yang terlalu luas, ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat, Yacob Fonataba.

"Padi itu kan agak spesifik, harus bentuk pematang, butuh air irigasi, pengaturan pupuk, pengendalian organisme pengganggu tanaman," ujar Yacob.

"Tapi kalau pangan lokal, luas tanah yang tersedia di Papua Barat sangat luas."

'Generasi nasi'

Ketergantungan pada beras, ujar Charles Toto dari Papua Jungle Chef, juga mengubah pola pikir masyarakat.

Menurut Agus Sumule, ketergantungan warga Papua dan Papua Barat akan beras dimulai sejak masa pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan program Raskin yang diperkenalkannya. (Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Papua Barat)

Ia mengatakan di banyak tempat di Papua, nasi dianggap makanan yang lebih spesial dibandingkan makanan lokal lain.

"Anak-anak yang makan nasi dianggap attitude-nya (perilakunya) lebih baik," ujar Charles.

Padahal, pangan lokal, seperti papeda, kata Charles, terbukti sangat menyehatkan.

Momentum berkebun massal ini lah yang akan dimanfaatkan sejumlah warga untuk membiasakan generasi muda memakan makanan lokal, seperti yang dikatakan Andreas Deda, warga Amban, Manokwari Barat.

Ia menyebut anak-anak sekarang 'generasi nasi' yang mengatakan 'belum makan kalau belum makan nasi'.

"Kami menanan sambil konsumsi dan sebaliknya untuk menjelaskan umbi sebagai makanan asli yang mengandung karbohidrat sama dengan nasi," ujar Andreas menirukan apa yang diajarkannya pada putrinya yang berusia 11 tahun.

Meski begitu, Agus Sumule menekankan, yang penting bukanlah makanan lokal atau tidak lokal.

Tapi kemampuan warga menyediakan bahan pangan mereka sendiri.

"Yang penting beras tidak dibuat terlalu murah sehingga yang lain-lain tak lagi ditanam"

"Itu artinya dia mematikan potensi lokal. Kalau beras harga normal, orang punya pilihan," ujarnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat Warga di Papua Berkebun Massal Saat Pendemi, Rawan Kelaparan dan Cegah Kesulitan Pangan"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved