Ustadz Felix Siauw Sebut Boleh Beda Pendapat, Tapi Soal Menutup Aurat Wajib Hukumnya Bagi Muslimah
Boleh beda pendapat, tapi soal menutup aurat itu wajib hukumnya bagi muslimah. Ustadz Felix Siauw : Nggak perlu lagi hijab, itu ngawur
"Nah, model jilbab bangsa Arab tempo dulu seperti itulah yang oleh Ibnu ‘Asyur dianggap sebagai adat bangsa Arab dan tidak boleh dipaksakan kepada bangsa lain atas nama agama," tambahnya.
Adapun untuk kewajiban menutup menutup aurat bagi muslimah dengan jilbab, kerudung dan berbagai mode pakaian lainnya diungkapkan Ustadz Ahmad Muntaha tidak dinafikan.
Pemakaian jilbab katanya tetap diakui sebagai syariat yang berlaku secara universal bagi setiap muslimah di seluruh dunia.
kesimpulan tersebut dibuktikannya lewat tafsir Ibnu ‘Asyur pada An-Nur ayat 31 dan Al-Ahzab ayat 59. Penafsiran Al-Ahzab ayat 59 :
Artinya, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak wanitamu dan wanita-wanita orang beriman untuk memakaikan jilbabnya pada diri mereka—dengan menutupi wajah dan kepala mereka dan hanya menampakkan satu mata; atau mengokohkan jilbabpada dahi mereka—. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal—sehingga tidak diganggu oleh para lelaki yang kurang ajar—.” (Surat Al-Ahzab ayat 59).
(Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ul Bayan fi ta’wilil Qur’an, [Giza, Daru Hijr: 1422 H/2001 M], cetakan pertama, juz IXX, halaman 181-182).
"Ibnu ‘Asyur menjelaskan dalam Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, definisi jilbab yang dimaksud ayat adalah pakaian yang lebih kecil daripada rida’ dan lebih besar daripada khimar dan qina’, yang dikenakan oleh wanita di kepala, yang dua sisinya menjulur ke arah dua sisi dagu dan sisanya menjulur ke arah pundak dan punggung, yang dikenakan ketika keluar rumah dan bepergian," jelas Ustadz Ahmad Muntaha.
"Ia juga menyatakan, jauh sekali bila dipahami bahwa tujuan utama ayat adalah memerintah pemakaian jilbab seperti itu yang dapat berbeda-beda sesuai kondisi dan adat pemakainya," tambahnya.
Namun maksud utamanya adalah substansi firman Allah SWT :
“Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak disakiti oleh para lelaki yang kurang ajar,”
(M At-Thahir Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir wat Tanwir, [Tunis, Daru Sahnun: 1997 M], juz XX, halaman 106-107).
Dalam tafsir tersebut, dipaparkannya, tempo dulu jilbab merupakan identitas bagi wanita merdeka.
"Budak wanita tidak memakainya. Wanita merdekalah yang memakainya ketika keluar untuk mengunjungi berbagai tempat dan semisalnya," jelas Ustadz Ahmad Muntaha.
"Mereka juga tidak memakainya ketika malam hari dan ketika keluar ke Manashi’ (tempat buang hajat atau nama tempat di luar kota Madinah), di mana mereka tidak pergi ke sana kecuali malam hari," tambahnya.
Kemudian di waktu berikutnya, setiap keluar rumah mereka diperintah untuk memakai jilbab seperti itu agar dikenali sebagai wanita merdeka, sehingga tidak diganggu oleh pemuda-pemuda bermental porno yang menyangka mereka sebagai budak.
Atau agar orang-orang munafik tidak mengganggu mereka dengan ucapan-ucapan tak senonoh yang menghinakan mereka untuk sekadar menggaggu.
Bahkan terkadang mereka justru membalas orang yang menggangunya dengan sumpah serapah, sehingga kedua belah pihak tersakiti. Perintah mengenakan jilbab semacam ini merupakan bagian dari saddud dzari’ah.
(Ibnu ‘Asyur, Tafsir At-Tahrir, juz XX, halaman 107).