Konflik Natuna
Fadli Zon Ungkap Tidak Boleh Ada Negosiasi dengan Cina Terkait Natuna Merupakan Wilayah Indonesia
Fadli Zon menyatakan, tidak boleh ada negosiasi dengan rezim Cina terkait Natuna, yang merupakan wilayah Indonesia.
ANGGOTA Komisi I DPR, Fadli Zon menyatakan, tidak boleh ada negosiasi dengan rezim Cina terkait Natuna, yang merupakan wilayah Indonesia.
"Protes Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri atas masuknya kapal Cina ke wilayah perairan Natuna, sudah tepat," kata Dr Fadli Zon MSc, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (7/1/2020).
Dengan mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, kata Fadli Zon, Cina tak memiliki hak dan kedaulatan apapun di perairan tersebut.
"Argumen bahwa perairan tersebut merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina (traditional fishing right), sama sekali tak punya dasar hukum dan tak diakui karena merupakan aktivitas pencurian ikan oleh nelayan Cina," katanya.
Dalam UNCLOS, kata Fadli Zon, konsep yang dikenal adalah “Traditional Fishing Rights”, bukan “Traditional Fishing Grounds”.
"Hal itu diatur dalam Pasal 51 UNCLOS."
"Itu sebabnya, masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus yang diklaim oleh Cina, termasuk klaim “Traditional Fishing Rights” mereka."
"Kita punya dasar hukum internasional yang kuat untuk menolak klaim Cina tersebut."
• Catatan Akhir Tahun Fadli Zon Ungkap Tahun Terkelam Perjalanan Politik oleh Kemunduran Demokrasi
Apalagi, kata Fadli Zon, putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016, dalam sengketa antara Filipina melawan Cina, juga telah menegaskan kembali UNCLOS 1982.
"Artinya, Cina tak punya dasar hukum mengklaim perairan Natuna Utara dan sembilan garis putus yang selalu mereka sampaikan."
"Padahal, Cina sendiri adalah anggota UNCLOS."

Memang, kata Fadli Zon, dalam kasus Coast Guard Cina, kemarin, tidak ada sengketa kedaulatan (sovereignty) antara Indonesia dengan Cina.
"Mereka tak memasuki laut teritorial Indonesia."
"Dalam hukum laut internasional, dibedakan antara sovereignty dengan sovereign rights."
"Sovereignty merujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial Sea)."
"Sementara sovereign rights bukanlah kedaulatan."
Menurut Fadli Zon, mereka hanya memasuki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di mana kita punya sovereign rights atasnya.
"Sovereign rights memberi negara pantai seperti Indonesia hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen)."
"Jadi, ZEE memang tidak berada di laut teritorial, tetapi di laut lepas (high seas)."
"Di laut lepas memang tak dikenal konsep kedaulatan, sehingga tak dikenal juga tindakan penegakan kedaulatan."
"Namun, kita punya hak penegakan hukum di wilayah tersebut."
Sebab, kata Fadli Zon, dalam undang-undang kita, misalnya UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, ZEE termasuk ke dalam “laut yurisdiksi nasional”.
"Sesuai Pasal 9 ayat (2), TNI kita diberi tugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional."
"Dalam konteks konflik di Laut Cina Selatan, sebagai negara non-claimant state, Indonesia sebenarnya sejak lama telah mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatan perairan Natuna."
"Sejak dulu, kita tidak pernah mengakui klaim sepihak Cina."
"Pada 2010, misalnya, kita bahkan pernah menulis catatan kepada Sekjen PBB bahwa klaim Cina mengenai sembilan garis putus-putus itu tidak memiliki basis hukum internasional."
Pada 2017, kata Fadli Zon, kita juga telah mengambil inisiatif penting dengan mengubah nama perairan Natuna menjadi perairan Natuna Utara.
"Setidaknya, ada dua alasan, menurut saya, kenapa perubahan nama itu perlu dilakukan."
Pertama, untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi landasan kontinen tersebut, mengingat di wilayah itu kita memiliki hak berdaulat.
Kedua, untuk memberikan petunjuk yang jelas kepada Tim Penegakkan Hukum di Angkatan Laut (AL) Indonesia.
"Sehingga, saya sepakat dengan pandangan bahwa persoalan perairan Natuna Utara ini memang tak boleh dan tak perlu dibawa ke meja perundingan."
"Cina tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia juga tidak mengakui wilayah tradisional penagkapan ikan nelayan Cina."
"Jadi, tak ada yang perlu dirundingkan."
"Itu mencederai konsistensi kita dalam menjaga kedaualatan Natuna sejauh ini."
"Hak kita atas perairan Natuna Utara sudah dilindungi oleh hukum laut internasional."
Menurut Fadli Zon, Cina sendiri mengakui UNCLOS.
"Jadi, dasar kita sangat kuat," katanya.

Itu sebabnya, kata Fadli Zon, jangan sampai dibuka ruang negosiasi sekecil apapun dengan Cina terkait wilayah perairan tersebut.
"Kita tak boleh didikte oleh Cina atau berada di bawah tekanan Cina."
"Kita hanya perlu meningkatkan patroli dan memperkuat penjagaan keamanan di perairan Natuna Utara."
Harus diakui, kata Fadli Zon, itu adalah kelemahan kita selama ini.
"Sebab, saya melihat perairan Natuna Utara sepertinya akan selalu diwarnai insiden serupa."
"Jangan lupa, insiden seperti kemarin sudah terjadi berkali-kali, seperti tahun 2016, 2015, 2013, bahkan sejak tahun 2010 dulu."
"Kita perlu mencurigai ada upaya sistematis untuk membawa persoalan ini ke meja perundingan bilateral."
• Pemerintah Indonesia Perlu Mendorong Cina Untuk Membuka Dialog dengan Kelompok Muslim Moderat Uighur
Sebagai negara berdaulat, kata Fadli Zon, kita sebaiknya tidak terjebak pada skenario tersebut.
"Di meja perundingan bilateral, bagaimanapun posisi Indonesia akan mudah sekali ditekan Cina."
"Kita tak menginginkan itu terjadi," kata anggota DPR RI, yang merupakan alumnus UI dan London School of Economics (LSE) Inggris tersebut.
*