Profil Prof NR Reini D Wirahadikusuma, Rektor Perempuan Pertama ITB, Disebut Kartini Tehnik Sipil
Sebelum terpilih menjadi rektor ITB, Reini menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan.
Institut Teknologi Bandung ( ITB) memiliki rektor baru. Berdasarkan hasil pleno rapat Majelis Wali Amanat (MWA), Prof. N.R Reini D. Wirahadikusuma ditetapkan sebagai rektor institusi ini.
Reini merupakan rektor perempuan pertama di ITB sejak berdiri pada tahun 1959 atau selama 60 tahun terakhir.
Selain itu, Reini juga merupakan rektor pertama selama 99 tahun terakhir atau sejak institut ini berdiri dengan nama Technische Hoogeschool te Bandoeng pada tahun 1920.
• Setelah Unpad, ITB Melakukan Pemilihan Rektor, Berikut 10 Calon Rektor yang Ditetapkan MWA ITB
• Update Pertandingan, Timnas U19 Indonesia Unggul 2-0 atas Hongkong di Babak Pertama
• Nasdem Bantah Undang Anies Baswedan ke Kongres Terkait 2024, Hasto Anggap Isu Biasa Anies ke Kongres
Dia terpilih dan menggantikan rektor sebelumnya, Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, DEA, yang menjabat sejak 20 Januari 2015.
Berdasarkan voting, Reini berhasil mengalahkan dua kandidat lain yakni Jaka Sembiring dan Kadarsah Suryadi.
Pemberitaan Kompas.com, 1 November 2019 menyebutkan, pemilihan rektor ITB diikuti oleh 30 kandidat yang kemudian dikerucutkan menjadi 10 kandidat.
Setelah melalui tahapan debat terbuka dan pemaparan ide srta gagasan, para kandidat kemudian disaring menjadi 6 lalu ditetapkan menjadi 3 lewat sidang tertutup Senat Akademik.
• Ini Cara Atasi Apabila sscasn.bkn.go.id Jadi Lamban Saat Pendaftaran CPNS 2019 Hari Pertama
Melansir laman resmi Institut Teknologi Bandung, Reini menamatkan pendidikan S1-nya di ITB, kemudian melanjutkan pendidikan master dan doktoralnya di Purdue University.
Sebelum terpilih menjadi rektor ITB, Reini menjabat sebagai Guru Besar di Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan.
Dalam sebuah video yang diunggah di channel YouTube ITB, Reini mengatakan jika dia telah berkiprah di kampus ini selama lebih dari 25 tahun.
Selain itu, Reini juga pernah mengikuti beberapa proyek.
• Ini Cara Atasi Apabila sscasn.bkn.go.id Jadi Lamban Saat Pendaftaran CPNS 2019 Hari Pertama
Terakhir, dia tergabung dalam proyek ENHANCE atau Enabling Humanitarian Attributes for nurturing Community-based Engineering.
Proyek ini merupakan kerja sama antara ITB dan Univeritas Warwick dalam bidang rekayasa kemanusiaan yang berlangsung selama tiga tahun dimulai dari tahun 2018.
Kemudian, Reini telah menerbitkan beberapa publikasi.
Adapun beberapa di antaranya seperti A readiness assessment model for Indonesian contractors in implementing sustainability principles yang diterbitkan di International Journal of Construction Management pada tahun 2015.
• DPRD Heran Ada Anggaran Tipp-Ex Rp 31 M, Cat Tembok Rp 18 M, Cat Minyak Rp 19 M, Kaca Bening Rp 18 M
Kemudian, dia juga menerbitkan publikasi lain berjudul Performance-based contracting for roads - Experiences of Australia and Indonesia dalam jurnal Procedia Engineering tahun 2015.
21 April selalu mengingatkan kita pada sosok pahlawan nasional yang berjuang demi kesetaraan bagi kaum perempuan, ya dialah R.A.Kartini. Kala itu, ia tidak takut walau harus mengalami kesendirian dalam perjuangannya. Ide-ide dan pemikirannya masih diperjuangkan sampai hari ini.
Kartini Tehnik Sipil ITB Bandung
Seperti dikutip laman ITB saat ini, Indonesia sudah memiliki banyak 'Kartini' di berbagai macam profesi dan ragam cara berjuangnya, termasuk 'Kartini' dari Institut Teknologi Bandung.
Dia adalah Prof. N.R Reini D. Wirahadikusuma, seorang Guru Besar dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, yang juga seorang Kartini masa kini.
Meski berada di lingkungan Teknik Sipil yang cukup maskulin karena banyak diisi oleh kaum laki-laki, ia tidak merasa terganggu oleh keadaan tersebut. "Saya merasa lingkungan saya adalah tantangan bagi saya untuk berkembang," ucapnya seraya tersenyum.
Prof. Reini adalah seorang lulusan SMA Tarakanita Jakarta - sebuah sekolah Katolik yang diisi khusus oleh anak perempuan.
Walau Reini beragama Islam, ia justru menikmati perbedaan yang ada dan menjadikannya sebagai bahan eksplorasi baru.
• Evan Dimas Resmi Perkuat Timnas U-23, Indra Sjafri Masih Rahasikan Identitas Satu Pemain Senior Lain
Ini juga yang membuatnya mau untuk memilih ITB sebagai tempat kuliah dan Teknik Sipil yang sangat "laki-laki" pada zamannya sebagai jurusan.
"Selain Ayah saya yang ITB, ya kebiasaan terhadap hal-hal berbeda menjadikan saya terus ingin mencoba berbeda, intinya suka petualangan," jawabnya bersemangat.
Saat berkuliah, ia mengaku sudah tidak menemui adanya masalah gender.
"Ga ada ya, malahan saya ngerasa dianggap kayak laki-laki, pulang juga sendiri, " ceritanya mengenang ketika ditanya perihal diskriminasi berdasarkan gender semasa kuliah.
Wanita berambut lurus ini juga mengungkapkan bahwa selama menempuh pendidikan ia memang tidak pernah mengalami kesulitan terkait akses dikarenakan jenis kelamin.
"Untuk pendidikan, ya saya sudah beda jaman ya sama era Kartini, kebetulan saya juga besar di lingkungan intelektual, jadi wajarlah saya tidak mengalami hal-hal diskriminatif terkait gender, " ungkapnya lugas dan jujur.
Namun,
• VIDEO: Sabet Penghargaan, Jirayut Akan Tenarkan Dangdut Indonesia ke Thailand
tidak berarti ia belum pernah mengalami kesulitan karena adanya "kodrat" sebagai perempuan.
"Saya sejujurnya punya cita-cita besar jadi wanita karir, bahkan sampai tahap direksi ataupun komisaris, tapi ya tentu ini tidak mudah ketika kita harus berkeluarga, " jawabnya saat reporter bertanya tentang pilihan karir pasca lulus dahulu.
Ia tidak bisa menjalankan mimpi tersebut karena suaminya akan berdomisili di Bandung.
"Jadi, niat itu ya harus diurungkan, tapi saya tetap mau punya kontribusi untuk bangsa dan ITB adalah satu-satunya institusi yang paling mewadahi mimpi saya kala itu," lanjutnya lagi sambil menjelaskan pilihan hidupnya sebagai pengajar di kampus.
Setelah itu ia kembali dihadapkan pada pilihan antara melanjutkan pendidikan atau mengurus putranya yang baru lahir.
"Di saat anak saya lahir, saya bersama suami masih di Amerika. Suami saya waktu itu baru selesai (kuliah). Saya sebenarnya ingin langsung lanjut (kuliah), tapi ya saya tidak mau kuliah saya jadi berantakan dan saya juga tidak menikmati masa-masa awal menjadi seorang Ibu, " kisahnya detil.
Ia akhirnya memutuskan pulang terlebih dahulu bersama suami, sambil menunggu anaknya berada di waktu yang pas untuk kembali lagi ke Amerika demi mengejar ilmu.
• VIDEO: Ribuan Kolektor Asyik Berburu Sepatu di Urban Sneakers Society
Setelah anaknya hampir genap berusia 2 tahun, ia sudah kembali aktif mengirimkan lamaran ke Amerika untuk sekolah sekaligus menjadi asisten riset.
Lalu, dengan upaya dan kerja kerasnya, ia pun diterima. "Saya lalu berangkat lagi bersama suami dan anak saya. Suami saya lanjut doktoral juga deh akhirnya, " celotehnya sambil tertawa.
Walau umur anaknya dirasa sudah cukup, tetap saja, menjadi seorang Ibu sambil berkuliah dan bekerja tidaklah mudah.
Pagi-pagi, ia sudah harus menitipkan anaknya ke tempat penitipan anak. Ia lalu melanjutkan kuliah sambil merangkap asisten riset.
Sorenya, ia lalu kembali menjemput anaknya. Rutinitas tersebut ia jalani se-efektif mungkin.
"Yang pasti, bisa dibilang prestasinya saya di kelas dulu termasuk yang terbaik, ini bentuk komitmen saya sudah diberi kesempatan jauh-jauh belajar, " tegas wanita ketiga yang menjadi Profesor dari Teknik Sipil ITB ini.
Terkait gelar Profesornya, ia juga meyakini bahwa ini adalah hadiah akan dedikasinya yang bukan hanya tercermin dari akademik.
"Menjadi seorang guru besar kan tidak melulu soal akademik.
Saya banyak mengambil bagian di kepanitian seperti menjadi Ketua dari Program Implementation Unit, dan lain lain, " tandas ibu dari dua orang anak ini.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sah, Reini D Wirahadikusuma Jadi Rektor Perempuan Pertama ITB", Penulis : Rosiana Haryanti