Ekspedisi Citorek Negeri di Atas Awan

Kemolekan Curug Ciporolak Yang Tersembunyi di Hutan Belantara

Selain jarak yang cukup jauh, sesekali akan menjumpai medan cukup sulit. Kami harus berjalan di bebatuan berlumut di Sungai Ciambulaung.

Penulis: Feryanto Hadi | Editor: AchmadSubechi
Warta Kota
Untuk mencapai air terjun Ciporolak dibutuhkan tenaga ekstra. Selain jalannya licin dan terjal, wisatawan harus keluar masuk hutan dan menyusuri sungai. 

TIM Ekspedisi Citorek Negeri di Atas Awan (Warta Kota Production), pada hari terakhir menuju ke Curug Ciporolak. Curug ini belum begitu tenar. Letaknya sangat tersembunyi. Benarkah untuk menuju kesana harus melalui hutan dan sungai berbatuan? Berikut kisahnya:

TAK lengkap rasanya berkunjung ke Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, jika melewatkan eksotisme alamnya.

Khususnya di Lebak bagian selatan, banyak sekali obyek wisata alam yang bisa menjadi pilihan untuk melebur penat.

Desa Hegarmanah di Kecamatan Cibeber, sebagian besar wilayahnya masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS).

Berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut, udara di area perkampungan terasa sejuk.

Desa ini menyimpan kemolekan alam yang menjadi destinasi menarik. Sebut saja perkebunan teh Cikuya atau suasana asri hutan damar dan pinus di kawasan Lebak Damar.

Tidak ketinggalan keberadaan Curug Ciporolak yang bakal memberikan pengalaman tak terlupakan jika dikunjungi. Secara administratif, curug ini berada di Kampung Lebak Picung.

Lokasinya tersembunyi di dalam area hutan taman nasional.

Dari Lebak Damar, perjalanan ke Lebak Pucung bisa diakses dengan kendaraan roda empat dengan melewati perpaduan jalan beton dan jalan berbatu yang cukup terjal.

Jalannya tak begitu luas. Cukup satu mobil. Untuk melawati jalan itu, sang pengemudi harus lihai. Sebab, ada tikungan S yang susah dilewati mobil berbadan besar.

Mobil yang kami kendarai terpaksa parkir di lapangan. "Saya sarankan parkir di sini saja. Sebab, ada tikungan S. Susah masuk menuju ke jalan desa," kata Arianto alias Ompong, pengelola Ciporolak.

Setelah itu kami berjalan kaki sekitar 200 meter, hingga tiba di perkampungan kecil.

***

DARI area perkampungan menuju ke curug, dilakukan dengan trekking sejauh sekitar dua kilometer.

Di kampung Lebak Picung, pengunjung bisa mengekplore kehidupan warga adat di sana. Desa itu dulunya adalah desa terpencil, namun kearifan lokal masih dijunjung tinggi oleh warganya.

Ada ketenangan di desa. Beginilah kehidupan warga desa Picung, Hegarmanah, Kecamatan Cibeber. Menumbuk padi menjadi kegiatan rutin sehari-hari.
Ada ketenangan di desa. Beginilah kehidupan warga desa Picung, Hegarmanah, Kecamatan Cibeber. Menumbuk padi menjadi kegiatan rutin sehari-hari. (Warta Kota)

Dikatakan tokoh pemuda setempat, Agus Sutirta (27), warga kampung ini terdiri dari sekitar 65 kepala keluarga dan menginduk kepada beberapa kasepuhan.

"Di sini termasuk dalam Rendangan Kasepuhan Ciptagelar dan Rendangan Kasepuhan Cicarucup, sehingga aturan adat kami berpatokan kepada kasepuhan induk tersebut," ujar Agus.

Seperti perkampungan lain di kawasan Adat Banten Kidul, di Lebak Picung juga banyak dijumpai lumbung padi atau leuit dengan ukuran dan bentuk yang seragam.

Puluhan Leuit tersebut ditempatkan di lereng perkampungan dan menjadi daya tarik tersendiri untuk dijadikan obyek foto.

Kita juga bisa menyaksikan aktivitas warga ketika mengolah padi secara tradisional, yakni dengan cara ditumbuk di dalam lumpang.

Di bagian tengah perkampungan, terdapat sebuah area yang dikeramatkan oleh warga.
Lokasi itu, diyakini, sebagai tempat leluhur kampung itu pada masa lampau.

***

MATAHARI merambat meninggi ketika kami memulai trekking ke area curug.

Kami ditemani oleh seorang pengelola wisata kawasan itu. Namanya Arianto alias Ompong.
Untuk menuju curug, dari area perkampungan kami melintasi area persawahan.

Di area itu terpampang papan petunjuk jarak yang harus kami tempuh, 1,5 kilometer.

Perjalanan menyusuri pematang sawah membutuhkan waktu sekitar 30 menit.

Selanjutnya, kami bertemu rawa sebelum masuk ke area hutan. Rute trekking ke area curug memang lumayan menantang.

Selain jarak yang cukup jauh, sesekali akan menjumpai medan cukup sulit. Kami harus berjalan di bebatuan berlumut di Sungai Ciambulaung atau di tanah basah di sekitar rawa.

Di sepanjang rute trekking sebelum masuk ke hutan, sudah dibangun beberapa jembatan gantung yang memudahkan pengunjung menyebrangi sungai. Bangunan jembatan masih tampak baru.

Ketika menembus hutan, kata Ompong, jika beruntung bisa menyaksikan keluarga primata yang masih menghuni taman nasional.

Sekitar satu jam perjalanan kami menyusuri aliran sungai yang diapit oleh dua gunung, yakni Gunung Pasir Darmaga dan Gunung Cumal. Pepohonan rimbun seolah mengepung kami.

Selain pepohonan besar, berbagai jenis tumbuhan kami dapati, salah satunya pohon Harendong yang tumbuh subur di area hutan itu.

Buah Harendong memiliki rasa manis dan sangat digemari oleh serangga, burung-burung di alam bebas. Buah ini juga memiliki manfaat bagi kesehatan.

Rasa lelah terbayar ketika dari jarak puluhan meter kami sudah bisa mendengar gemuruh air jatuh dari ketinggian sekitar 50 meter.

Makin mendekat, terasa sekali embusan udara segarnya. Saatnya melepas lelah dengan mandi di bawah air terjun.

***

CIPOROLAK berasal dari kata ‘ngaborolak’ yang berarti berjatuhan atau reruntuhan.
Penamaan ini merujuk pada bebatuan kecil yang sering terjatuh terbawa arus dari atas curug dan menghasilkan bunyi yang khas.

Keberadaan curug ini, menurut Ompong, sebenarnya sudah cukup lama diketahui warga.

Para pemuda Kampung Lebak Picung kemudian mencoba mempromosikannya di sejumlah platform media sosial.

"Pada 2014 mulai ada warga luar yang datang ke sini. Dulu aksesnya tidak seperti sekarang.
Dulu belum ada jembatan. Baru tahun lalu jembatan-jembatan itu dibangun setelah kawasan ini masuk dalam paket wisata Desa Hegarmanah," jelas Ompong.

Berkat usaha gigih para pegiat pariwisata setempat, lambat laun jumlah pengunjung curug itu semakin ramai.

Kondisi itu menjadi berkah tersendiri bagi warga Kampung Lebak Picung.

Para pemuda yang sebelumnya menganggur kini punya penghasilan.

Pemuda lainnya yang sebelumnya merantau, kini kembali pulang dan terlibat mengelola kawasan wisata.

Sementara, melihat kunjungan wisatawan yang semakin meningkat, warga lainnya membuka usaha berjualan makanan dan minuman.

"Dulu kampung kami termasuk kampung terpencil dan tertinggal. Aliran listrik belum lama ini baru masuk. Akses jalan susah. Untuk sekolah SMP saja harus jalan kaki sekitar tujuh kilometer," cerita Ompong.

"Sekarang alhamdulillah kondisinya sudah baik. Apalagi sejak jadi kawasan wisata. Dari sisi ekonomi, cukup berpengaruh bagi warga," imbuhnya.

Matahari sudah berada persis di atas kepala, meskipun cahayanya tidak begitu terik.

Kami memutuskan pulang karena takut turun hujan. Sebab, kata Ompong, dalam beberapa hari terakhir kawasan itu diguyur hujan.

Perjalanan pulang melalui jalur yang sama saat berangkat. Kami menempuhnya lebih cepat karena tidak banyak beristirahat seperti saat berangkat.

Jika saat berangkat ke curug butuh waktu 1,5 jam, perjalanan pulang kami tempuh hanya 45 menit. (Feryanto Hadi)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved