Ekspedisi Citorek Negeri di Atas Awan

Tim Ekspedisi Citorek Menembus Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Karung-karung berisi batu-batu emas, mereka lempar dari balik bukit hingga jatuh di tepi jalan. Semua karung ditumpuk menjadi satu.

Penulis: Feryanto Hadi | Editor: AchmadSubechi
Warta Kota
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menuju ke Warung Banten terlihat masih perawan. Beginilah suasana pemandangan dari Citorek menuju Warung Banten. (Foto: Angga Bhagya Nugraha) 

DARI Citorek, Lebak, Banten, Tim Ekspedisi (Warta Kota Production) Negeri Di Atas Awan Citorek, melanjutkan perjalanan membelah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) menuju ke Warung Banten. Berikut laporannya:

"LEWAT dua kampung, beloklah ke kiri. Nanti kalian akan bertemu jalanan berbatu. Lurus terus sampai bertemu area hutan sebelum sampai ke Warung Banten."

Petunjuk itu disampaikan Kang Ucil, salah seorang pegiat wisata Gunung Luhur, Desa Citorek Kidul, Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten, ketika menyertai keberangkatan Tim Ekspedisi Negeri di Atas Awan menuju ke kawasan Warung Banten.

Sebelumnya, ia berpesan supaya tim berangkat dari Citorek jangan terlalu sore.

Alasannya, "Biar bisa keluar dari hutan sebelum gelap. Terlalu berisiko berada di dalam hutan pada malam hari," katanya.

Selain medan yang cukup berat, nantinya akan sulit mencari bantuan jika mobil yang kami kendarai bermasalah di tengah jalan akibat jalan tidak terlalu mulus dan penuh kelokan serta agak terjal.

Sabtu (19/10) pukul 13.00 WIB, mobil Isuzu MUX yang kami kendarai berangkat dari Base Camp Citorek menuju ke Warung Banten.

Kendaraan berjalan agak melambat karena situasi jalan yang masih belum terlalu mulus.
Pada saat bersamaan, sedang ada aktivitas pembetonan sebagai bagian dari proyek pekerjaan jalan provinsi Cipanas-Warung Banten oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banten.

Proyek itu ditarget rampung pertengahan Desember 2019. Kelak, jika sudah selesai, jalan ini akan sangat menghemat waktu perjalanan dari pusat kota Rangkas Bitung menuju ke daerah-daerah di Lebak Selatan maupun kawasan Sukabumi.

                                                                      ***
KAMI harus lebih hati-hati melanjukan perjalanan. Tinggi marka jalan agak berbeda, sekitar 20 centimeter.

Ruas sisi barat jalan sudah dibeton. Sisi timurnya masih berupa jalanan tanah.
Perjalanan menuju Warung Banten dilakukan dengan membelah lebatnya hutan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Mang Ucil sebelumnya mewanti-wanti terkait medan berat yang akan kami temui.

Jalur yang kami lalui merupakan jalur pintas, meski jalannya bebatuan.

Sebab, biasanya orang-orang lebih suka melalui jalan yang lebih baik dengan rute Citorek-Bayah-Cikotok-Warung Banten, meskipun jaraknya ratusan kilo meter dan waktu tempuhnya sekitar 4-5 jam perjalanan.

Kata Mang Ucil, dengan jalan pintas itu, bisa menghemat waktu sampai dua jam. Cuman ada risikonya. Kami harus berhadapan dengan kondisi jalan menantang.

Tidak banyak kendaraan yang kami jumpai selama perjalanan, mungkin hanya puluhan saja, sampai kami tiba di sebuah kampung bernama Ciparay.

Jumlah rumah di kampung itu tidak terlalu banyak. Selanjutnya, kami memasuki wilayah Cirotan. Dua kampung ini masih masuk wilayah Desa Citorek Kidul.

Lepas dari kampung ini, kami mengambil arah ke kiri, keluar dari jalan Citorek-Warung Banten yang sedang dibeton itu.

"Kalau mau ke Warung Banten, nanti ada gorong-gorong atau lubang, trus belok kiri saja. Jangan lurus. Kalau lurus bisa tembus ke Baya. Jalannya rusak parah dan keluar masuk hutan," kata salah seorang warga kepada kami.

Setelah belok kiri menuju arah Warung Banten, medan yang kami hadapi mulai menantang. Jalan bebatuan berada di antara tebing dan jurang.

Kanan kirinya, banyak tanaman damar yang diamernya lumayan besar. Setelah berjalan beberapa kilo, jalanan berubah menjadi begitu sunyi.

Beberapa bagian hutan tampak berkabut. Sangat indah dan menawan. Apalagi, hutannya terlihat masih perawan.

Hanya sesekali kami berpapasan dengan kendaraan lain, umumnya truk atau pick-up.

Kami juga beberapa kali bertemu dengan sepeda motor warga yang mengangkut bungkusan karung, baik di jok belakang maupun di bagian tengah dengan diapit kaki mereka.

Rupanya mereka adalah para gurandil, sebutan untuk penambang emas.
Mereka menambang di terowongan yang pernah dimiliki Belanda, Jepang hingga diambil-alih oleh PT Antam.

Para gurandil dikabarkan juga tidak jarang mencoba membuat tambang sendiri di area konservasi TNGHS.

Para gurandil berkumpul di depan sebuah papan dengan tulisan yang telah memudar. Dulunya, area itu dikuasai oleh PT Antam.

Badan mereka penuh dengan lumpur. Lampu sorot masih menempel di bagian kepala. Sepeda motor yang mereka kendarai, sebagian besar sudah agak jadul.

Tapi ada juga yang mengendarai kendaraan trail. Orang-orang itu sebagian baru saja masuk ke sebuah lubang buatan dan mencoba peruntungan mencari sisa-sisa batu kandungan emas.

Mereka sepertinya sedang memahat batu-batuan yang mengandung emas, hingga suaranya terdengar di sepanjang jalan yang kami lalui.

Namun sayang, ketika kami mencoba mengajak mereka berbincang, mereka menolak dan memilih untuk buru-buru pergi.

Biasanya ketika hari sudah mulai gelap, mereka keluar dari dalam goa tempat penambangan.

Karung-karung berisi batu-batu emas, mereka lempar dari balik bukit hingga jatuh di tepi jalan. Semua karung ditumpuk menjadi satu.

Selanjutnya, datang mobil pick up untuk mengangkut dan membawanya ke tempat pengolahan di Warung Banten, Cibeber dan Cikotok.

Kepala Desa Citorek Kidul, Narta atau Jaro Atok sebelumnya menyebut, "Meski dilarang, praktik Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) atau liar memang sulit dicegah selama emas masih ditemukan di tempat itu."

Para gurandil sejatinya tahu akan risiko bahaya yang membayangi aktivitas mereka.
Namun, demi mendapatkan penghasilan, mereka bekerja tak kenal lelah dan mengabaikan bahaya yang mungkin bisa ditimbulkan.

Jaro Atok berkisah, sejak puluhan tahun lalu, mayoritas kaum pria di Citorek berprofesi sebagai gurandil sembari menanti sawah mereka panen.

Pada saat pembukaan tambang emas Gunung Pongkor di Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, gurandil asal Citorek dan sekitarnya ramai-ramai datang ke sana.

Di sana, mereka seperti membentuk koloni. Para gurandil terlatih itu bekerja sama menggali tanah yang diyakini sebagai urat emas.

Bahkan, orang-orang dari desa sekitar Gunung Pongkor yang bergabung dalam aktivitas PETI, banyak belajar dari warga Citorek soal teknik menambang emas.

Dengan keahlian dan pengalaman menambang emas sejak puluhan tahun sebelumnya, para gurandil asal Citorek mampu mendapatkan hasil yang menjanjikan dari menambang di dekat area Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Pongkor milik PT Antam itu. (Feryanto Hadi)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved