Kilas Balik

Anak Muda Itu Bernama Kapten Pierre Tendean, Intelijen Usia 26 Tahun yang Berakhir di Lubang Buaya

Nama Kapten Pierre Tendean tak asing karena parasnya yang begitu menawan. Simak kenangannya semasa hidup yang disampaikan saksi hidup berikut

Tangkap layar YouTube KOMPASTV
Kapten Pierre Tendean saat jadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/KSAB Jenderal Abdul Haris Nasution. 

Nama Kapten Pierre Tendean tak asing karena parasnya yang begitu menawan.

Ia adalah sosok yang begitu misterius apalagi saat karirnya melesat sebagai ajudan

Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/KSAB Jenderal Abdul Haris Nasution.

Jiwa membara sebagai prajurit bangsa tidak terbantahkan meski keluarga Tendean

Kapten Pierre Tendean semasa muda.
Kapten Pierre Tendean semasa muda. (Tangkap layar YouTube KOMPASTV)

sempat menolak anak laki-laki satu-satunya masuk akademi militer.

Seperti ditulis Kompas.com, di balik sifat kaku dan disiplinnya, Pierre yang gemar

makan colenak ini juga memiliki pengalaman masa muda seperti anak seusianya dan

kisah cinta abadi bersama wanita pujaannya.

Menariknya, meski Pierre Tendean telah tutup usia tak disangka antusias generasi

muda mendalami kisah Pierre masih terlihat sampai sekarang.

Dalam episode ini Singkap mewawancarai sahabat satu angkatan Pierre di akademi

militer jurusan teknik, Effendi Ritonga yang mengenang masa-masa plonco saat

menjadi calon taruna.

Ada pula para penulis buku biografi resmi Pierre Tendean yang selama dua tahun

mengumpulkan arsip-arsip serta dokumentasi tentang Pierre, dan Yanti Nasution

(anak sulung Jenderal A.H Nasution) orang terkahir yang bersama Pierre saat malam

kelam 30 September 1965. (Kompas TV)

Kapten Pierre Tendean jadi nama jalan.
Kapten Pierre Tendean jadi nama jalan. (Tangkap layar YouTube KOMPASTV)

Perwira Intelijen yang Berakhir Lubang Buaya

Pierre Andreas Tendean atau dikenal sebagai Kapten Tendean merupakan seorang

perwira militer yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965.

Ia dibunuh secara tidak manusiawi dan dimasukkan kedalam sumur bersama keenam

perwira tinggi TNI lainnya, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Mas Tirtodarmo

Menyaksikan sejarah kekejaman PKI di Lubang Buaya.
Menyaksikan sejarah kekejaman PKI di Lubang Buaya. (Warta Kota/Adhy Kelana)

Haryono, Mayjen TNI S Parman, Mayjen TNI R Soeprapto, Brigjen TNI Donalad Isaccus

Pandjaitan, dan Brigjen TNI Soetojo S.

Rumah Jenderal Nasution yang berlokasi di Jalan Teuku Umar Nomor 40, Gondangdia,

Jakarta Pusat, menjadi tempat terakhir Kapten Tendean singgah sebelum terbunuh

tragis oleh kelompok PKI.

Di museum inilah diorama serta foto-foto Kapten Tendean terbingkai rapi bersama

barang-barang peninggalan Jenderal Nasution.

Terlahir dari pasangan L. Tendean, seorang  dokter berdarah Minahasa dan Maria

Elizabeth Cornet, wanita Indonesia berdarah  Perancis, Pierre Tendean merupakan

anak kedua dari tiga bersaudara.

Kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. 

Sejak kecil, perwira kelahiran Jakarta 21 Februari 1939 ini mulai tertarik untuk

menggeluti bidang militer.

Mulai mengenyam sekolah dasar di Magelang, ia melanjutkan sekolahnya SMP dan

SMA di Semarang, tempat ayahnya bertugas.

Hingga pada tahun 1958, ia memulai pendidikannya menjadi taruna di Akademi

Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung.

Karier awalnya di bidang militer dimulai dari menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni

Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan.

Setahun kemudian, ia melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Intelijen Negara di

Bogor.

Tamat sekolah intelijen, ia langsung ditugaskan oleh Dinas Pusat Intelijen Angkatan

Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke Malaysia sehubungan dengan konfrontasi

antara Indonesia dengan Malaysia yang dikenal dengan istilah Dwikora.

Ia bertugas untuk memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk

melakukan penyusupan ke Malaysia.

Sejak saat itu prestasi Pierre Tendean di bidang militer mulai menjanjikan.

Dibuktikan dengan setidaknya ada tiga jenderal yang menginginkan Pierre menjadi

ajudannya, yaitu Jenderal Nasution, Jenderal Hartawan,  dan Jenderal Kadarsan.

Namun Jenderal Nasution berkeras menginginkan Pierre sebagai ajudannya.

Hingga pada tanggal 15 April 1965, Pierre mulai dipromosikan menjadi Letnan Satu

(Lettu) dan pengawal pribadi Jenderal Abdul Haris Nasution, menggantikan Kapten

Manullang yang gugur saat menjaga perdamaian di Kongo.

Pada usianya yang menginjak 26 tahun, Pierre menjadi salah satu pengawal termuda

yang dimiliki Jenderal Nasution.

Sejak ia bertugas dengan Jenderal Nasution, Tendean bisa dikatakan menjalin

hubungan keluarga yang cukup dekat dengan kedua anak Jenderal Nasution, Ade Irma

Suryani dan Hendrianti Sahara Nasution.

Salah satu kedekatan beliau dengan Ade Irma Suryani dapat dilihat dari bingkai foto

mereka yang terpampang di dalam Museum AH Nasution.

Tepat tanggal  30 September, Tendean yang biasanya berada di Semarang untuk

merayakan hari ulang tahun ibunya kala itu menunda kepulangannya karena bertugas

sebagai ajudan A.H Nasution di Jalan Teuku Umar Nomor 40 Jakarta Pusat.

Namun tak disangka, pasukan Tjakrabirawa datang menyerbu kediaman Jenderal

Nasution untuk melakukan penculikan.

Pierre Tendean yang saat itu sedang beristirahat di ruang tamu kediaman Jenderal

Nasution sontak terbangun dan mendatangi sumber kegaduhan.

Ia langsung disambut dengan todongan senapan oleh pasukan Tjakrabirwa.

Pierre Tendean yang diduga oleh Pasukan Tjakrabirawa sebagai Jenderal Nasution

langsung diculik dan dibawanya ke Lubang Buaya.

Selain menculik Pierre Tendean, nyawa Ade Irma Suryani Nasution, putri Jenderal

Nasution tak terselamatkan karena peluru yang menembus tubuhnya. 

Diorama yang terletak di samping gedung utama Museum Dr. A.H Nasution

menjelaskan bagaimana kronologi penangkapan Kapten Tendean oleh Pasukan

Tjakrabirawa.

Nampak jelas bahwa Kapten Tendean yang terkepung oleh senjata Tjakrabirawa.

Diceritakan bahwa Kapten Tendean selaku ajudan Jenderal Nasution melindungi

pemimpinnya dengan berkata "Saya Jenderal AH Nasution."

Pierre pun dibawa ke Lubang Buaya bersama bersama keenam perwira tinggi TNI

lainnya yang kemudian dibunuh secara keji dan dimasukkan ke dalam sumur

berdiameter 75 cm dengan posisi kaki di atas.

Pierre Tendean meninggal di usianya yang menginjak 26 tahun.

Duka mendalam pun dialami ibunya dan juga calon istri bernama Rukmini Chaimin

yang menantinya di Medan untuk melaksanakan pernikahan pada bulan November 1965. 

Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada

tanggal 5 Oktober 1965.

Bentuk kehormatan pun disampaikan dengan menaikkan pangkat beliau menjadi Kapten. (KOMPAS.COM/WIENDA PUTRI NOVIANTY)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved