Revisi UU KPK

Tolak Revisi UU 30/2002, Laode M Syarif Ungkap Prancis Mencontoh KPK Saat Bikin Lembaga Anti Korupsi

SEJUMLAH poin dalam draf revisi Undang-undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dinilai bertentangan dengan Konvensi Antikorup

Antara Foto/Indrianto Eko Suwars
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief memberikan keterangan tentang kasus dugaan suap terkait seleksi pengisian jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama pada konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (16/3/2019). KPK menahan Ketua Umum PPP Romahurmuziy, Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi, dan Kepala Kantor Wilayah Kemenang Jawa Timur Haris Hasanuddin dengan barang bukti uang sebanyak Rp 156.758.000. 

• Penyadapan diberikan batas waktu tiga bulan.

Padahal, dari pengalaman KPK menangani kasus korupsi, proses korupsi yang canggih akan membutuhkan waktu yang lama dengan persiapan yang matang.

Aturan ini tidak melihat kecanggihan dan kerumitan kasus korupsi yang terus berkembang.

• Polemik tentang penyadapan ini semestinya dibahas secara komprehensif, karena tidak hanya KPK yang memiliki kewenangan melakukan penyadapan.

3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR

• DPR memperbesar kekuasaannya yang tidak hanya memilih pimpinan KPK, tetapi juga memilih Dewan Pengawas.

• Dewan pengawas menambah panjang birokrasi penanganan perkara, karena sejumlah kebutuhan penanganan perkara harus izin Dewan Pengawas, seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi

• Penyelidik KPK hanya berasal dari Polri, sedangkan penyidik KPK berasal dari Polri dan PPNS.

• Hal ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK dapat mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

• Lembaga-lembaga KPK di beberapa negara di dunia telah menerapkan sumber terbuka penyidik yang tidak harus dari kepolisian, seperti CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia.

Lalu, Anticorruption Commision di Timor Leste, dan lembaga anti-korupsi di Sierra Lone.

• Selama ini proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK sudah berjalan efektif dengan proses rekrutmen yang terbuka yang dapat berasal dari berbagai sumber.

5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung

KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam melakukan penuntutan korupsi.

• Hal ini berisiko mereduksi independensi KPK dalam menangani perkara.

Dan akan berdampak pada semakin banyaknya prosedur yang harus ditempuh, sehingga akan memperlambat penanganan perkara.

6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria

• Ketentuan yang sebelumnya diatur di pasal 11 huruf b UU KPK tidak lagi tercantum, yaitu mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat.

• Padahal pemberantasan korupsi dilakukan karena korupsi merugikan dan meresahkan masyarakat, dan diperlukan peran masyarakat jika ingin pemberantasan korupsi berhasil.

7. Kewenangan Pengambilalihan Perkara di Penuntutan Dipangkas

• Pengambilalihan perkara hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan.

KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana sekarang diatur di Pasal 9 UU KPK.

8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan

• Pelarangan ke luar negeri.

• Meminta keterangan perbankan.

• Menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi.

• Meminta bantuan Polri dan Interpol.

9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

• Pelaporan LHKPN dilakukan di masing-masing instansi, sehingga hal ini akan mempersulit melihat data kepatuhan pelaporan dan kewajaran kekayaan penyelenggara negara.

• Posisi KPK direduksi hanya melakukan kooordinasi dan supervisi.

• Selama ini KPK telah membangun sistem, dan KPK juga menemukan sejumlah ketidakpatuhan pelaporan LHKPN di sejumlah institusi. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved