Menilik Pasal Santet yang Akan Disahkan DPR RI, Dukun Bisa Dibui 3 Tahun Penjara
Sejumlah pasal yang akan disahkan DPR RI akhir September nanti menuai pro kontra. Salah satunya pasal santet.
Penulis: Desy Selviany | Editor: Dian Anditya Mutiara
Pada 24 September DPR RI akan sahkah sejumlah RUU KUHP - Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
Uniknya salah satu pasal yang akan disahkan ialah Pasal Santet.
Pasal Santet tersebut tentunya menjadi tidak lumrah dalam dunia hukum.
Mengingat hukum harus dibuktikan secara materil di muka publik.
Adapun Pasal Santet sudah digodok sejak tahun 2013 lalu.
• Aulia Kesuma Bayar Rp 40 Juta ke Dukun Santet untuk Bunuh Suaminya, Tapi Tak Mempan
Dikutip dari Kompas.com pasal tersebut menjelaskan setiap orang yang berupaya menawarkan kemampuan magisnya bisa terancam pidana lima tahun penjara (kemudian menjadi 3 tahun penjara).
Aturan tersebut diatur dalam Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum yang secara khusus dicantumkan dalam Pasal 293.
Berikut ini kutipan pasal yang mengatur tentang santet dan ilmu hitam lainnya itu:
"(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak
Kategori IV; (2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."
• Pekan Pertama September, Draf RUU Penanggulangan Bencana Diharapkan Selesai
Sulit Dibuktikan
Namun rancangan tersebut ditanggapi pesimis oleh sejumlah pakar hukum Indonesia.
Pesimistis itu lantaran sifatnya yang sulit dibuktikan secara materil di muka publik.
"Santet akan sulit dibuktikan dan begitu pula oleh aparat penegak hukum yang menangani perkaranya," kata pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr Pedastaren Tarigan, Kamis (21/3/2013).
• Fadli Zon Bilang Gugurnya Petugas KPPS Bisa Munculkan Spekulasi Disantet Jika Tidak Diinvestigasi
Oleh karena itu, menurut dia, pemerintah yang telah memasukkan delik santet ke rancangan KUHP hendaknya mengkaji kembali dan mempertimbangkan secara arif dan bijaksana.
"Kita tidak ingin dengan diberlakukannya delik santet melalui KUHP dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari atau banyak warga yang jadi korban fitnah, lalu menjadi terdakwa dan diadili," katanya.
Menurutnya, praktik santet sering terjadi di lingkungan masyarakat, tetapi untuk membuktikan siapa pelaku ataupun korbannya sulit dibuktikan.
• Dendam Santet Jadi Motif Tiga Pelaku Ikat dan Bakar Dua Pria Hingga Tewas di Pasuruan
Seorang penegak hukum, kata Pedastaren, tidak bisa menjadikan sebagai alat bukti pengakuan seorang pelaku supranatural (dukun) bahwa si B sakit dan ditemukan jarum di dalam perutnya akibat disantet atau diguna-guna oleh si A.
Bahkan, katanya, keterangan seorang penghayat supranatural juga tidak dapat dijadikan bukti untuk menjerat, misalnya si A melakukan perbuatan melanggar hukum untuk diajukan ke pengadilan negeri.
Selain itu, Pedastaren juga melihat ancaman hukuman tersebut sulit diterapkan kepada pelaku santet atau dukun yang sengaja menyantet seseorang karena disuruh orang lain dengan imbalan berupa uang.
Menurutnya, kasus kejahatan santet-menyantet sering terjadi di kalangan masyarakat akibat persaingan bisnis, jabatan, atau percintaan. Namun, karena menyangkut kekuatan gaib, sulit dibuktikan di ranah hukum.
Indonesia sebenarnya memiliki pasal yang hampir mirip pasal santet terdapat dalam Pasal 546 KUHP.
Pasal 546 itu berbunyi, barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, membagikan, atau mempunyai persediaan untuk dijual atau dibagikan jimat atau benda yang memiliki kekuatan gaib, diancam pidana 3 bulan kurungan dan denda maksimal Rp 4.500.
Pidana tersebut juga berlaku untuk orang yang mengajar ilmu kesaktian dan bertujuan menimbulkan kepercayaan bahwa yang bersangkutan melakukan perbuatan pidana, tetapi tanpa kemungkinan bahaya bagi diri sendiri.
• BEREDAR Video Panas Sopir Angkot dengan Seorang Wanita Durasi 30 Detik, Tak Sadar Direkam Diam-Diam
Alasan DPR RI
Di tahun 2016 RUU KUHP itu kembali muncul dan dibahas oleh anggota DPR RI.
Masih dikutip Kompas.com dalam rapat Panja R-KUHP, Kamis (17/11/2019), pemerintah beralasan, pasal santet kembali dimunculkan untuk mencegah adanya aksi main hakim sendiri dan untuk menjaga keharmonisan dalam beragama.
Yang dipidanakan, ujar Ketua Tim Perumus R-KUHP Muladi, bukan santetnya, tetapi tindakan menawarkan untuk melakukan tindak pidana dan mencederai orang lain dengan klaim kekuatan gaib. Oleh karena itu, pasal santet memang dimasukkan dalam bab khusus mengenai Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana.
• Ditanya Tak Pernah Mengaku, 6 Artis Ini Menikah dengan Selingkuhannya Sendiri
"Dengan demikian, bukan santetnya yang harus dibuktikan oleh penyidik karena hal itu pasti sulit. Namun, tindakan menawarkannya itu. Untuk itu, pasti penyidik punya cara sendiri," kata Muladi.
Ketua Panja R-KUHP Benny K Harman menegaskan, dalam Pasal 295 atau "pasal santet" itu, seseorang yang baru menyatakan dan berkoar-koar memiliki kekuatan untuk melukai atau mematikan seseorang dapat masuk dalam tindak pidana.
"Membuat pernyataan saja bisa kena pidana, apalagi melakukannya. Misalnya, ada yang datang ke dukun dan meminta dukun tersebut untuk menyakiti seseorang, lalu si dukun menyatakan sanggup, itu pidana. Mengumumkan bahwa dirinya tokoh yang punya kekuatan gaib untuk hal negatif pun sudah masuk pidana," kata Benny.