Lingkungan Hidup

Pengisian Daya Baterai Mobil Listrik Dinilai Masih Menjadi Kendala dalam Kebijakan Mobil Listrik

kendaraan bermotor listrik berbasis baterai terbagi tiga macam yakni Hybrid, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), Battery Electric Vehicle (BEV).

Wartakotalive.com/Angga Bhagya Nugraha
Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mencoba mengisi daya listrik ke bus saat uji coba mobil listrik di Halaman Balai Kota, Jakarta Pusat, Senin (29/4/2019). 

Mobil dengan daya pengisian dengan menggunakan listrik sedang menjadi proyek untuk direalisasikan oleh Indonesia.

Realisasi mobil listrik dianggap terkait dengan tersedianya stasiun atau terminal pengisian listrik.

Tanpa tersedianya stasiun untuk pengisian daya, mobil listrik dinilai belum bisa bersaing dengan kendaraan konvensional berbahan bakar minyak.

Mobil listrik dinilai ideal karena dikaitkan dengan lingkungan hidup yang lebih baik dibandingkan kendaraan berbasis bahan bakar minyak.

Sebagaimana diungkap Kompas.com, Pemerintah berupaya mempercepat era elektrifikasi di Indonesia.

Keseriusan ini dibuktikan dari terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Berdasarkan aturan tersebut, kendaraan bermotor listrik berbasis baterai terbagi tiga macam yakni Hybrid, Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), hingga Battery Electric Vehicle (BEV) atau yang biasa disebut listrik murni.

Menristekdikti Ungkap Alasan Mobil Dinas Menteri Layak untuk Diganti Meski Jadi Sorotan Publik

Diharapkan, secara bertahap kendaraan di Indonesia akan beralih ke kendaraan listrik murni karena sangat ramah lingkungan.

Tapi, nampaknya keniscayaan tersebut membutuhkan waktu panjang sebagaimana dikatakan Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Johannes Nangoi.

"Mobil listrik murni itu menjadi pilihan kedua atau seterusnya, bukan mobil utama untuk masyarakat Indonesia saat ini."

"Sebab, salah satu kekurangan kendaraan jenis ini jaraknya masih sangat pendek yakni 300-350 kilometer saja," kata Nangoi di diskusi bertajuk 'Kendaraan Listrik Sebagai Solusi Polusi Udara dan Pengurangan Penggunaan BBM' yang dihelat Kompas, Jakarta, Jumat (23/8/2019).

DPRD DKI Jakarta akan Dilantik dan Sebagian di Antaranya akan Jadi Pengkritik Kebijakan Pemprov DKI

Sehingga, ujar Nangoi lagi, ketika mobil digunakan untuk jarak yang cukup jauh akan terkendala.

Belum lagi mobil listrik murni sangat bergantung pada stasiun pengisian listrik, tak seperti mobil hibrida maupun PHEV.

Lalu, biaya produksi mobil listrik murni yang sangat mahal dibanding jenis mobil lainnya membuat harga jual mobil tersebut sangat tinggi.

Dibandingkan mobil konvensional atau berbahan bakar minyak (internal combustion engine/ICE), biayanya kira-kira lebih mahal 87 persen.

"Perbedaan biaya mobil jenis ICE dengan hibrida itu sekitar 15 persen, kalau PHEV sekitar 60 persen."

Maka, harga jual mobil listrik murni sangat mahal," ujar Nangoi.

"Sehingga, berdasarkan survei kami, mobil listrik murni itu akan menyasar konsumen yang sedang mencari mobil ke-2 atau ke-3."

"Bukan mobil utama untuk menemani mereka berkegiatan."

"Orang yang baru bisa beli mobil, tidak akan tertarik membeli mobil listrik murni," katanya lagi.  (Ruly Kurniawan)

Tautan asal

Begini Syaratnya Pihak Sajad Ukra untuk Membuka Peluang Damai Dengan Nikita

Politisi Malaysia Anggap Gojek sebagai Kegiatan yang Menunjukkan Kegagalan Penyediaan Lapangan Kerja

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved