Lingkungan Hidup

Guru Besar Unpad setuju Pengesahan RUU Pertanahan karena Pembahasan Dilakukan secara Eksklusif

RUU Pertanahan dinilai harus ditunda untuk dikembalikan pada semangat yang terkandung dalam Ketetapan MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria.

Istimewa
Ilustrasi rapat membahas RUU yang diselenggarakan di DPR. 

Tentu, hal ini dapat merubah tatanan sistem hukum sumber daya alam, karena secara prinsip hal ini berbeda.

Pada hukum kehutanan, kita berbicaranya dalam perspektif kawasan, sedangkan hak pengelolaan tentu kita berbicara dalam konteks tanah sebagai suatu hamparan/permukaan bumi sebagaimana ditegaskan dalam UUPA.

Memicu Ketimpangan

Mencermati materi RUU Pertanahan, Ida Nurlinda mengatakan, perspektif kawasan juga keliru jika diatur dalam UU Pertanahan karena tidak sejalan dengan pengertian tanah yang diatur dalam Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 4 ayat (2) UUPA.

Contoh lainnya adalah adanya pengaturan mengenai bank tanah pada RUU Pertanahan.

Sejatinya, bank tanah dapat melemahkan program reforma agraria (redistribusi tanah), karena tanah yang menjadi objek reforma agraria, kurang lebih sama dengan tanah yang menjadi sumber bank tanah.

Misalnya, tanah terlantar.

Hal ini justru bertentangan dengan prinsip tanah berfungsi sosial sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 UUPA dan dapat memicu ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang sejatinya justru menjadi tujuan utama reforma agraria untuk menata ulang penguasaan dan pemilikan tanah tersebut.

Hal di atas, kata Ida Nurlinda, merupakan contoh-contoh kecil dari ketidakkonsistenan RUU Pertanahan sebagai lex spesialis dari UUPA.

Hal demikian tentu dapat menimbulkan konflik, baik konflik ditataran peraturan perundang-undangan yang akan berpengaruh pada keajegan sistem hukum nasional, maupun konflik ditataran pelaksanaannya karena ketidaktegasan peraturan tersebut.

Daniel Johan Menyatakan Sepakat Penyelesaian dan Pengesahan RUU Pertanahan Harus Ditunda

“Konflik juga berpotensi timbul dalam hal benturan kepentingan dan/atau kewenangan antar instansi pemerintah."

"Antara Kementerian ATR/BPN dengan kementerian lain yang kewenangannya bersinggungan."

"Hal ini dapat membuat pemerintahan menjadi tidak efektif,” kata Ida Nurlinda.

Di samping itu, katanya lagi, objek pendaftaran tanah yang meliputi bidang tanah dan kawasan di seluruh Indonesia tentunya berpotensi menimbulkan konflik kewenangan dalam pelaksanaannya, termasuk semua izin dan/atau konsesi yang wajib dipetakan dan diintegrasikan dalam sistem pemetaan nasional.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved