Pilpres 2019

Jokowi dan Prabowo Subianto Sepakat Tidak Ada Lagi Cebong dan Kampret Atau Kubu 01 dan 02

Harapan dari pertemuan Jokowi dan Prabowo Subianto, adanya kedamaian di antara masing-masing pendukung.

Wartakotalive/Alex Suban
Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019) 

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menemukan penyebab utama dari terbelahnya masyarakat karena Pilpres 2019.

Menurut Refly, kebijakan Presidensial Threshold (PT) menjadi salah satu penyebab terciptanya istilah Cebong dan Kampret.

“Presidensial threshold (PT) adalah pangkal persoalan masyarakat terbelah menjadi dua grup besar selama 5 tahun terakhir: cebongers n kampreters,” kata Refly lewat akun twitternya @ReflyHZ pada Sabtu (29/6/2019).

Terkait PUTUSAN MK, Mahfud MD Bicara Azab Allah untuk Si Curang dan Zalim, Bukan Cuma Satu Pihak

Menurut pria yang pernah menjabat sebagai peneliti di Centre of Electoral Reform (CETRO) itu kebijakan tersebut telah menciptakan oligarki politik di Pilpres 2019.

“Oligarki politik memborong semua parpol sehingga hanya menyisakan satu calon agar Pilpres tetap berlangsung,” kata Refly seperti dikutip Wartakotalive.com.

Oleh karena itu menurut Refly, kedepan Presidensial Threshold wajib dihapuskan.

Terlebih karena petahana sudah tidak bisa mencalonkan diri lagi di Pilpres 2019.

“Beri kesempatan bibit-bibit pemimpin tumbuh dan berkembang serta berkompetisi dalam pilpres,” jelas Refly.

“Jangan biarkan oligarki politik mempertahankan PT dan memborong semua parpol sehingga terjadi dua calon lagi,” tandasnya.

Seperti dikutip Kompas.com sebelumnya syarat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dinilai ikut berperan dalam meninggikan tensi politik pada pemilihan umum 2019.

Mahkamah Konstitusi dianggap berperan mengukuhkan syarat tersebut.

"Kenapa tensi pilpres jadi keras dan memancing emosi, ini salah satunya karena dosa MK mengenai open legal policy," ujar Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Charles Simabura saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Evaluasi Pemilu Serentak 2019 di Gedung FHUI, Depok, Selasa (30/4/2019).

Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres.

Pasal tersebut pernah digugat ke MK. Namun, MK menyatakan menolak permohonan uji materi. Menurut MK, syarat ambang batas tersebut tidak melanggar konstitusi.

Menurut Charles, aturan presidential threshold itu menggagalkan publik mendapat pilihan calon pemimpin yang variatif. Secara tidak langsung, pemilih dikelompokan ke dalam dua kubu calon presiden.

Anggun C Sasmi Ngebet Pengen Jadi Besan Rossa, Kirana dan Rizky Dijodohkan?

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved