Kajian Ustadz Abdul Somad
Terungkap Waktu Boleh Menunaikan Zakat Fitrah dan Waktu Wajib Menurut Penjelasan Ustadz Abdul Somad
Selama ini, pemahaman tentang saat membayar zakat fitrah belum dipahami benar oleh sejumlah kalangan umat Islam padahal zakat fitrah wajib ditunaikan.
Ustadz Abdul Somad menjelaskan, sebagian kalangan tidak tahu perbedaan membayar zakat fitrah di saat boleh dan saat wajib karena belum mengetahuinya.
Selama ini, kata Ustadz Abdul Somad, pemahaman tentang saat membayar zakat fitrah belum dipahami benar oleh sejumlah kalangan umat Islam padahal zakat fitrah wajib ditunaikan.
Demikian juga, tentang siapa saja orang yang diwajibkan menunaikan zakat fitrah.
Apakah termasuk orang yang telah meninggal dunia atau bayi di dalam kandungan wajib menunaikan zakat fitrah.
Karena itu, penjelasan yang disampaikan oleh Ustadz Abdul Somad dapat menjawab semua pertanyaan tersebut.
Berikut adalah penjelasan lengkap tentang waktu boleh dan waktu wajib menunaikan zakat fitrah sebagamana dijelaskan oleh Ustadz Abdul Somad.
"Kapan waktu wajib, kapan waktu boleh menunaikan zakat fitrah?"
"Azan Maghrib di malam takbir, sampai khatib naik mimbar," katanya, sebagaimana dikutip Warta Kota dari kumpulan tanya jawab dengan Ustadz Abdul Somad di Jakarta, Senin (3/6/2018).
Ustadz Abdul Somad memberikan penjelasan tentang saat menunaikan kewajiban zakat fitrah bisa dilakukan saat boleh dan saat wajib.
"Batasnya, saat khatib naik mimbar, habis waktunya, setelah itu, dia bernilai sedekah."
"Yang sudah bayar sekarang, itu waktu boleh, ada waktu wajib."
"Wajibnya dari mulai azan Maghrib sampai khatib naik mimbar di Hari Raya Idul Fitri," katanya.
Ustadz Abdul Somad menjelaskan bahwa waktu wajib itu adalah waktu ideal untuk membayar zakat.
"Waktu wajib dimulai saat selesai solat Maghrib dan berakhir di saat khatib naik mimbar dan menyampaikan, Assalamualaikum atau membuka salam."
Nabi Muhammad SAW membayar zakat fitrah adalah dengan makanan pokok seperti dengan kurma, gandum, kismis, dan susu kambing yang sudah diolah menjadi keju.
"Saya pribadi membayar pakai beras, tapi saya tidak menyalahkan kalau ada yang bmembayar pakai uang, yang pakai beras makanan pokok dilakukan selain Mazhab Hanafi."
Ustadz Abdul Somad menganjurkan untuk membeli beras di warung milik umat Islam untuk memajukan ekonomi umat Islam.
"Walau warung orang Islam terlihat kotor, biasakan untuk belanja di warung milik orang Islam," katanya, sebagaimana dikutip Warta Kota dari kumpulan tanya jawab dengan Ustadz Abdul Somad di Jakarta, Senin (3/6/2018).
Zakat fitrah ukuran beratnya adalah 4 mud, 1 mud 7,5 ons.
"Saya tidak menyalahkan kalau ada yang mengukurnya 2,5 kg, kalau ada yang berat pakai yang berat karena kelebihannya dinilai sedekah."
"Saya pribadi membayar dengan beras 3 kg," katanya.
Menurut Ustadz Abdul Somad, kehati-hatian karena kelebihan zakat fitrah sangat baik karena bernilai sedekah.
"Banyak-banyak sedekah, tolak bala, demikian diajarkan orangtua kita, dulu," katanya, , sebagaimana dikutip Warta Kota dari kumpulan tanya jawab dengan Ustadz Abdul Somad di Jakarta, Senin (3/6/2018)
Dalam kesempatan ini, Ustadz Abdul Somad memberikan penjelasan tentang hukumnya membayar zakat fitrah dengan makanan pokok lebih utama.
"Kalau tinggal di Papua, pakai sagu."
"Kalau tinggal di lokasi lainnya bayar pakai beras."
"Yang membayar pakai makanan pokok adalah mazhab Maliki, Syafii, Hambali, hanya Hanafi yang membolehkan membayar pakai uang," katanya, sebagaimana dikutip Warta Kota dari kumpulan tanya jawab dengan Ustadz Abdul Somad di Jakarta, Senin (3/6/2018).
Menurut Ustadz Abdul Somad, bayi yang baru lahir tidak wajib membayar zakat kalau dilahirkan setelah khatib naik mimbar.
Demikian pula, pihak yang meninggal dunia sebelum azan Maghrib di malam terakhir bulan Ramadan atau Maghrib di saat malam sebelum diumumkan saat 1 Syawal.
"Saya selalu membayar pakai makanan pokok yaitu dengan beras sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW."
"Puasa sudah, salat Tarawih sudah, amalan-amalan sudah, jangan lupa membayar zakat fitrah."
"Anak saya di dalam kandungan 4 bulan, tidak wajib membayar zakat fitrah."
"Siapa saja umat Islam yang hidup di malam Takbir mulai azan Maghrib sampai khatib mimbar, wajib menunaikan zakat fitrah," katanya, sebagaimana dikutip Warta Kota dari kumpulan tanya jawab dengan Ustadz Abdul Somad di Jakarta, Senin (3/6/2018).
Sementara itu, dalam kesempatan lain, Ustadz Abdul Somad tidak bersedia menyebutkan nama orang yang dimaksud telah memenjarakan Buya Hamka dan minta jenazahnya agar disolatkan itu.
"Kok mau dia."
"Kok Mau Buya Hamka."
"Andai saya lah itu, dipenjara orang, disiksa orang, lalu datang utusannya, terus bilang, andai aku mati, tolong yang mengimami aku adalah saya, saya suruh cari ustadz yang lain."
"Aku tak mau, sampai mati, tak akan aku solatkan," katanya.
Ustadz Abdul Somad menjelaskan, itulah yang membedakan antara Buya Hamka dan kebanyakan orang lainnya.
"Baru saya tahu, lembut hatinya, lunak."
"Dia tidak pernah belajar di Al Azhar, sekali pun tidak."
"Al Azhar memanggil dia memberikan gelar Doktor, sedangkan Ustadz Abdul Somad sudah 4 tahun kuliah di Al Azhar, gelarnya cuma LC," katanya.
• Bukan Polisi, Ini Identitas Pengemudi Fortuner Berpelat Polri yang Ditilang di Jalur Puncak Bogor
• Ustadz Abdul Somad Ungkap Kisah Buya Hamka Dipenjara dan Disiksa Tetap Mau Menyolatkan Pelakunya
Menurut Ustadz Abdul Somad, dia sadar diri karena tidak selevel dengan Buya Hamka.
Namun, sejumlah fakta terungkap bahwa orang yang dikisahkan tersebut adalah Bung Karno.
Dalam bagian lainnya, kata Ustadz Abdul Somad, kemuliaan Buya Hamka memang tidak bisa ditandingi oleh banyak orang.
"Kalau saya kisahkan Nabi Muhammad SAW, nanti dibilang itu kan Nabi."
"Kalau saya kisahkan sahabat Nabi Muhammad SAW, itu kan sahabat nabi," katanya.
Karena itu, kata Ustadz Abdul Somad, dia sengaja membagikan kisah Buya Hamka, yang mulia.
"Kala itu, PKI sedang berkuasa dan mempunyai koran Lekra."
"Tuduhan keji diberikan oleh Pramoedya Ananta Toer."
"Buya Hamka dituduh novelnya itu plagiat diambil dari sastrawan Mesir, ditulis di Harian Lekra, PKI," katanya.
Menurut Ustadz Abdul Somad, Buya Hamka tidak melawan, diam.
"Akhirnya isu itu hilang, PKI jatuh, NKRI bangkit kembali tetap tegak berdiri."
"Setelah itu, datang seorang perempuan bermata sipit dengan suaminya, mualaf yang mau belajar Islam dengan sepucuk surat."
"Kamu siapa?"
"Saya disuruh ayah saya ke mari mengantar calon suami saya belajar Islam," kata tamu tak dikenal tersebut.
"Nama ayah kamu siapa?" tanya Buya Hamka.
• Ifan Seventeen Diancam Potong Leher Saat Buktikan Banjir TKA Kasar Bukan Isapan Jempol
Kemudian, dijawab bahwa ayahnya adalah Pramoedya Ananta Toer yang telah menjatuhkan nama Buya Hamka dengan cara menyebarkan fitnah dan kebencian itu ke seluruh dunia.
Menurut Ustadz Abdul Somad, mungkin, itu cara Pramoedya Ananta Toer minta maaf.
"Dia tak datang ke rumah Buya Hamka, tapi anak dan menantunya diutus bertemu dengan Buya Hamka untuk belajar Islam."
"Buya Hamka kemudian mengajarkan Islam tersebut, begitu mulianya beliau padahal fitnah luar biasa," kata Ustadz Abdul Somad, yang dikutip Warta Kota di Jakarta, Sabtu (1/6/2019).
Andai itu adalah dirinya, kata Ustadz Abdul Somad, dia tidak akan bersedia.
"Kau cari saja ustadz yang lain."
"Panas hati ini karena kalau hati panas mengajar orang tidak akan benar."
"Ternyata marah Buya Hamka itu melebur dengan maaf tanpa bekas kalau maaf masih berbekas, itu namanya bukan maaf," katanya.
"Kalau saya sebut Nabi, itu kan Nabi, saya sebut Abu Bakar, itu kan Abu Bakar, ada orang kita, Buya Hamka, urang awak."
"Tapi, jangan dibayangkan kalau Buya Hamka itu bukan orang yang tidak bisa marah."
"Saat naik kapal, berhenti kapal di pelabuhan di Padang, saat mau menjadi imam solat jamaah, ada pegawai kapal melarang solat jamaah karena di kapal solatnya di kamar masing-masing."
"Buya Hamka bangkit, orang itu pun disemprot dengan kemarahannya," katanya.
"Bahasanya tidak saya ubah, buka buku judulnya Ayah ditulis Irfan Hamka, yang menyaksikan hal tersebut, yang menengok Buya Hamka marah." katanya.
Buya Hamka ada saatnya marah, ada saatnya lunak, ada saatnya berkonfrontasi.
"Dalam soal qunut, lembut hati Buya Hamka diundang ke Jember, salat Subuh, Buya Hamka diangkatnya tangan, baca qunut sebagaimana dilakukan NU padahal biasanya tidak karena dia Muhammadiyah."
Hal itu dicontohkan untuk menjaga persatuan umat Islam.