Pilpres 2019
Muncul Usulan Presiden Cuma Boleh Menjabat Satu Periode dengan Durasi Tujuh Tahun, Kubu 02 Setuju
PAKAR komunikasi politik Effendi Gazali menilai evaluasi total Pemilu Serentak 2019 harus dilakukan, termasuk persoalan masa jabatan presiden.
PAKAR komunikasi politik Effendi Gazali menilai evaluasi total Pemilu Serentak 2019 harus dilakukan, termasuk persoalan masa jabatan presiden.
Berdasarkan pada pengalaman dan sejarah, dia mengusulkan periode jabatan presiden satu kali untuk masa jabatan tujuh tahun.
"Ke depan, ada baiknya periode jabatan hanya satu kali, misal selama tujuh tahun. Sehingga tidak akan pernah rematch atau calon presiden yang sama, bertarung kembali," tuturnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (26/4/2019).
• Direktur Utama PLN Sofyan Basir Jadi Tersangka Kasus Korupsi Proyek PLTU Riau-1, Ini Perannya
Persoalan yang mencuat hari ini, jelas dia, bukan hanya kelelahan fisik, tetapi menitikberatkan pada kelelahan mental dalam Pemilu 2019.
Menurutnya, banyak hal menjadi seperti tidak dapat terselesaikan secara baik dan tepat waktu, serta selalu dicurigai.
"Persoalannya lebih pada kelelahan mental. Bahwa bangsa ini terbelah gara-gara Presidential Threshold, sehingga konflik diwarnai hoaks dan ujaran kebencian menjadi 100 persen, dan membuat bangsa terbelah sangat tajam," ulasnya.
• Ini Tiga Kategori Masyarakat yang Dibebaskan dari Kewajiban Bayar PBB-P2
Effendi Gazali adalah pengaju pemilu serentak di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia kini mengatakan seharusnya MK dapat mencegah masyarakat terbelah.
Apa yang dikatakan olehnya adalah merujuk putusan MK yang mengesahkan adanya Presidential Threshold yang seharusnya tidak pernah terjadi.
"Itulah inti permohonan kami. Kami ingin banyak capres agar bangsa tidak terbelah. MK memang tidak bisa membuat undang-undang. Tetapi, MK bisa mencegah bangsa ini terbelah," tegasnya.
• Kapok Gelar Pemilu Serentak Pakai Lima Kotak Suara, KPU: Cukup Sekali Saja
Katanya, menjadi sebuah konsekuensi apabila capres-cawapres hanya dua pasangan calon, bangsa akan terpecah belah.
Penyelenggara pemilu pun menurutnya hanya akan sibuk mengurus soal konflik dan hoaks.
"Rakyat harus tahu, ini pemilu yang kami mintakan. Kami sudah minta MK dan pembentuk undang-undang yang tanggung jawab atas kekacauan ini," paparnya.
• Jusuf Kalla Minta Jokowi dan Prabowo Bertemu Langsung, Jangan Lewat Utusan
Effendi Gazali mengatakan, seharusnya kodifikasi undang-undang pemilu sudah berjalan pada Pemilu 2019.
Sebab, keputusan adanya pemilu serentak sudah disahkan oleh Mahkamah Konstiusi sejak 2014 lalu. Hal itu yang membuat dirinya mempertanyakan keberlangsungannya.
"Harusnya waktu lima tahun dua bulan ini sangat cukup untuk Kodifikasi UU Pemilu. Jangan-jangan sengaja waktunya dipepet agar presidential threshold tetap bisa dipertahankan?" duganya.
• Ratna Sarumpaet: Pemilu 2019 Berantakan, Jangan-jangan Panitianya Pelit
Jangankan untuk kodifikasi, lanjutnya, pemangku kepentingan sudah tidak memiliki sisa tenaga untuk memikirkan tertib kepemiluan dan simulasi dan sosialisasi penyelenggaraan pemilu serentak.
"Apalagi untuk memikirkan pemisahan antara pemilu serentak nasional dan pemilu daerah serentak?" ucapnya.
"Kami sudah sampaikan berkali-kali, apabila PT tidak dicabut, maka dalam konteks bangsa, amat terbelah. Jelas lebih baik pemilu serentak dibatalkan dan kembali seperti semula," sambungnya.
• Sandiaga Uno: Kursi Wakil Gubernur DKI Diserahkan ke PKS, End of Question, Jangan Digoreng Lagi
Effendi Ghazali pun maklum apabila masyarakat banyak yang kecewa dan menyalahkan dirinya, selaku pengaju pemilu serentak di MK.
Hal itu, jelas dia, karena banyak dari masyarakat tidak paham, bahwa juga banyak ahli yang terlibat dalam pengajuan yang dimaksud.
Ahli-ahli tersebut, katanya, bahkan saat ini menjabat sebagai hakim konstitusi.
• Anak Buah Anies Baswedan: Emang Skybridge Tanah Abang Masih Perlu Diresmikan Ya?
"Kalau ada yang menyalahkan, bisa dipahami, karena mereka tidak paham apa yang terjadi di MK. Harusnya mereka tahu, banyak ahli yang sidang, sekarang ada yang jadi hakim MK yang mulia," bebernya.
Dirinya pun menegaskan pernah mengatakan sejak 2018, bahwa pemilu serentak sudah seharusnya dibatalkan, menyusul adanya putusan MK yang mengesahkan Presidential Threshold di dalam UU Pemilu.
Sementara, Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Andre Rosiade setuju usulan satu periode presiden dijabat selama tujuh tahun.
• Integritasnya Dipertanyakan Rocky Gerung, Ratna Sarumpaet: Dia Tidak Tahu Apa yang Terjadi pada Saya
Menurutnya, selama tujuh tahun, presiden dapat melakukan apa pun, namun tidak bisa lag maju di pemilu berikutnya.
"Hanya boleh satu periode saja selama tujuh tahun. Tidak boleh lagi dia maju. Biar puas sekalian," cetusnya saat diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (27/4/2019)
Alasan lain, apabila presiden yang sudah menjabat selama lima tahun dan dapat maju kembali, artinya presiden dapat mengendalikan penuh elemen-elemen pemerintahan yang ada.
• Putri Amien Rais Sempat Sebut Ratna Sarumpaet Korban Penganiayaan, Ini Dua Kesimpulan Tompi
Bukan hanya lembaga pemerintah, dia mengatakan instrumen yang dapat dikendalikan juga termasuk Kepolisian, BIN, dan penegak hukum.
"Saya menduga, kecurangan ini juga melibatkan polisi tingkat daerah, Badan Intelijen dan Kejaksaan Tinggi," tudingnya.
Dia mengungkapkan, hal itu sudah terjadi di lapisan bawah berdasar pada laporan yang masuk ke BPN. Juga, menurutnya, terjadi pada politikus partai pengusung pasangan Prabowo-Sandi.
"Ini kejadian kok. Banyak laporan masuk dari lapangan dan cerita dari para politisi," ungkapnya. (Amriyono Prakoso)