Double Double Track
Perluasan Trayek DDT di Bekasi Terganjal Tuntutan Warga, Appraisal Harga Tanah Diminta Hitung Ulang
Perluasan Trayek DDT di Bekasi Terganjal Tuntutan Warga, Appraisal Harga Tanah Diminta Hitung Ulang
Penulis: Fitriyandi Al Fajri |
Perluasan trayek kereta api double-double track (DDT) lintas Kota Bekasi hingga Cikarang, Kabupaten Bekasi terganjal tuntutan warga.
Puluhan warga yang tinggal di belakang Stasiun Kranji, terutama di RW 02, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi menolak penghitungan ganti rugi yang dilakukan oleh tim appraisal (penilaian).
Koordinator warga setempat, Tomas Pardede mengatakan ada 40 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami 29 bidang tanah di dekat Stasiun Kranji.
Saat ini mereka masih menunggu proses gugatan yang telah memasuki agenda persidangan kedua di Pengadilan Negeri Bekasi, Kota Bekasi.
"Gugatan perdata yang kami layangkan ke pemerintah pusat sudah berjalan dan telah memasuki agenda sidang kedua di Pengadilan Negeri Bekasi," kata Pardede pada Senin (15/4/2019).
Pardede mengatakan berbagai upaya sudah mereka tempuh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dari berbicara langsung ke Kementerian Perhubungan, Polri, Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman, hingga ke Istana Presiden.
Menurut dia, warga menempuh jalur tersebut karena penilaian yang dilakukan oleh tim appraisal disinyalir banyak kesalahan, misalnya ada penyusutan luas tanah milik warga setelah dihitung.
Mereka yang terkesan mengabaikan keluhan warga, lalu menitipkan atau mengkonsinyasikan uang ganti rugi tersebut ke Pengadilan Negeri Bekasi.
Lewat gugatan perdata ini, Pardede berharap agar penilaian terhadap objek tanah dan bangunan milik warga dilakukan secara ulang.
"Sampai sekarang warga tidak mau mengambil uang ganti rugi yang dikonsinyasikan ke PN Bekasi," jelasnya.
Terkendala Anggaran
Balai Teknik Perekeretaapian Wilayah Jakarta-Banten pada Kementerian Perhubungan terpaksa menunda perluasan trayek kereta api Double-Double Track (DDT) dari Kota Bekasi hingga Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Selain terganjal pembebasan lahan warga di Kota Bekasi, Kementerian Perhubungan juga tidak mengucurkan anggaran untuk pembebasan lahan segmen berikutnya.
"Setiap tahun kami mengusulkan anggarannya namun belum menjadi prioritas," kata Jumardi Kepala Balai Teknik Perkeretaapian Wilayah Jakarta-Banten pada Kementerian Perhubungan, Senin (15/4/2019).
Jumardi mengatakan, saat ini lintasan DDT yang sudah dibangun dan mulai beroperasi adalah lintas Jatinegara-Cakung sepanjang 9,5 kilometer. Sedangkan lintas Cakung-Cikarang sepanjang 12 kilometer masih menunggu proses penganggaran dari kementerian.
"Saat ini kami fokus reaktivasi (pembangunan kembali jalur yang non-aktif) jalur kereta api Rangkasbitung-Labuan. Mungkin setelah 2021 (DDT segmen Cakung-Cikarang) akan diselesaikan," ujarnya.
Menurut dia, proyek ini sudah dicanangkan sejak 2002 lalu. Awalnya dibiayai oleh pinjaman dari Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) dengan syarat tanah bebas 100 persen.
Namun di tengah perjalanan, pembebasan tanah menemui hambatan sehingga Direktorat Jendral Perkeretaapian (DJKA) membiayai anggaran obligasi syariah mulai tahun 2015 lalu.
"Sebenarnya jalur sudah dibangun dari Jatinegara-Kota Bekasi tetapi terputus di Kranji dan dibawah flyover Summarecon Bekasi," katanya.
Dia menambahkan, keberadaan DDT memang sudah sangat dibutuhkan. Sebab DDT akan menjadi jalur pemisah antara kereta rel listrik (KRL) Commuter Line dengan kereta api jarak jauh penumpang maupun barang.
"Dengan adanya masing-masing jalur, tentu tidak akan saling mengganggu karena KRL Commuter Line pasti akan menunggu kereta jarak jauh melintas terlebih dahulu," ungkapnya.
• Warga Minta Appraisal Proyek DDT di Bekasi Dihitung Ulang, Dana Konsinyasi Mencapai Rp 7,94 miliar
Dihitung Ulang
Puluhan warga yang tinggal di belakang Stasiun Kranji, terutama di RW 02 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi yang terkena proyek kereta api Double-Double Track (DDT) menuntut agar appraisal atau penilaian bangunan miliknya dihitung ulang.
Sampai sekarang mereka masih bertahan dengan harapan Kementerian Perhubungan melalui tim independen melakukan appraisal ulang terhadap bangunannya.
"Kami minta dihitung ulang, karena appraisal yang dilakukan oleh tim dari KJPP Fast sudah kadaluarsa," kata Pardede pada Senin (15/4/2019).
Menurut dia, pada 2015 lalu tim appraisal melakukan penilaian terhadap bangunan, lahan, tanaman dan sebagainya milik warga yang terkena dampak dari proyek ini.
Namun warga menolak nilai yang disebutkan dengan alasan ada proses yang tidak benar dalam appraisal.
Kata dia, nilai suatu bangunan dilihat dari beberapa indikator misalnya berdasarkan letak rumah.
Bangunan yang berada di pinggir jalan tentu, nilainya lebih besar dibanding rumah di dalam perkampungan.
Begitu juga rumah yang sekaligus digunakan untuk usaha, idealnya lebih tinggi dibanding rumah yang hanya digunakan sebagai tempat tinggal.
Namun dalam proses penilaian seperti ini, kata dia, tim appraisal cenderung abai mempertimbangkan tahapan itu.
"Bahkan ada kesalahan dalam penghitungan luas lahan milik warga, misalnya mereka yang memiliki lahan 82 meter persegi tetapi mengalami penyusutan menjadi 78 meter persegi," imbuhnya.
Karena itulah, kata dia, warga enggan mengambil dana ganti rugi yang sudah dikonsinyasikan atau dititipkan ke Pengadilan Negeri Bekasi.
Kata dia, nilai yang dikonsinyasikan di pengadilan juga sudah tidak relevan dengan saat ini.
"Dana yang dikonsinyasikan itu berdasarkan appraisal yang dilakukan 2015 lalu, sementara dananya dititipkan ke pengadilan Oktober 2018. Ada selisih waktu tiga tahun, tentu nilai ganti rugi sudah tidak relevan lagi," ungkapnya.
Perwakilan warga lainnya, Budy Arianto menambahkan bila mengacu pada Standar Penilaian Indonesia (SPI), penghitungan appraisal otomatis gugur setelah enam bulan taksiran itu diterbitkan.
Karena itu, kata dia, dana yang dititipkan ke pengadilan 2018 lalu tidak relevan dengan kondisi saat ini.
"Lah ini sudah tiga tahun berlalu, pemerintah malah menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan pada Oktober 2018 kemarin dengan menggunakan hasil appraisal 2015 lalu," kata Budy.
Keluhan warga ini juga diperkuat dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah di tahun 2018 dengan 2015 lalu. Saat 2015 lalu NJOP mencapai Rp 330.000 per meter, sedangkan 2018 naik menjadi Rp 614.000 per meter.
"Kenaikannya hampir 100 persen, makanya kami minta agar pemerintah melakukan penghitungan ulang," jelasnya.
Konsinyasi Dana Ganti Rugi
Balai Teknik Perekeretaapian Wilayah Jakarta-Banten pada Kementerian Perhubungan mengakui masih ada kendala dalam proses perluasan trayek kereta api Double-Double Track (DDT) di Kota Bekasi.
Meski demikian, dana ganti rugi untuk 29 bidang tanah warga di belakang Stasiun Kranji, tepatnya di RW 02 Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Medansatria, Kota Bekasi sudah dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri Bekasi.
"Lahan-lahan warga sudah diproses di pengadilan dan mudah-mudahan pertengahan tahun 2019 ini selesai," kata Jumardi Kepala Balai Teknik Perekertaapian Wilayah Jakarta-Banten pada Kementerian Perhubungan, Senin (15/4/2019).
Menurut dia, dana ganti rugi yang dititipkan ke Pengadilan Negeri Bekasi sekitar Rp 7,94 miliar untuk membayar lahan seluas 1.657 meter persegi.
Pihaknya tidak mungkin melakukan penghitungan ulang seperti yang diinginkan warga.
Sebab appraisal yang diterbitkan sudah menjadi ketetapan pengadilan, sehingga tidak bisa diubah karena adanya keberatan warga.
"Apalagi keberatan warga disampaikan setelah kasus inkrah atau lewat dari 14 hari sejak ditetapkan oleh pengadilan," ungkap Jumardi.
Meski demikian, Jumardi tidak mempersoalkan bila warga setempat melaporkan gugatan ini secara perdata ke Pengadilan Negeri Bekasi.
Kata dia, gugatan perdata yang dilaporkan tetap diproses, namun keputusan pengadilan yang sudah inkrah juga tetap dieksekusi.
"Lahan warga yang belum dibebaskan itu bukan untuk rel kereta api, tapi hanya perluasan akses saja karena kita tidak ingin pas mereka keluar rumah langsung menghadap rel," jelasnya.