Ratna Sarumpaet Dipukuli Diduga Kabar Bohong, Otaknya Bisa Dipidana UU ITE Jika Penuhi Unsur Ini

PENGANIAYAAN terhadap Ratna Sarumpaet kini diduga sebagai sebuah kabar bohong. Otak penyebarnya ternyata bisa dikenakan UU ITE.

Twitter @fadlizon
Ratna Sarumpaet dan Fadli Zon 

PENGANIAYAAN terhadap Ratna Sarumpaet kini diduga sebagai sebuah kabar bohong. 

Hal itu terungkap dari sebuah laporan polisi yang bocor ke publik dan ramai di berbagai media sosial. 

Sampai saat ini polisi memang belum membenarkan apakah memang laporan yang bocor itu disusun kepolisian, atau bukan. 

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengaku belum mengetahui terkait informasi tersebut. 

Tapi dalam laporan itu diungkap secara detail bagaimana polisi menyelidiki data perbankan Ratna Sarumpaet serta pelacakan sinyal ponsel Ratna Sarumpaet

Dalam laporan berjudul 'Laporan Hasil Penyelidikan Viralnya Berita Pengeroyokan Ratna Sarumpaet' terlihat ada 2  Polda yang menyelidiki terkait kabar tersebut. 

Kedua Polda itu adalah Polda Metro Jaya dan Polda Jawa Barat. 

Hasil penyelidikan Polda Jawa Barat ditulis bahwa berdasarkan agenda kegiatan masyarakat Polda Jabar diketahui tidak ada konferensi negara asing di Jawa Barat pada tanggal 21 September 2018. 

Alibi itu diselidiki polisi lantaran Ratna Sarumpaet disebut dipukuli usai mengikuti acara konferensi negara asing. 

Berikutnya Polda Jabar juga mengecek 23 rumah sakit di Jawa Barat dan tak terdapat pasien atas nama Ratna Sarumpaet

Polda Jabar juga berkoordinasi dengan pihak terkait bandara Husein Sastranegara dan tidak mengetahui peristiwa pengeroyokan Ratna Sarumpaet

Diketahui pula bahwa tidak terdapat manivest kedatangan dan keberangkatan penumpang atas nama Ratna Sarumpaet pada tanggal 21 September 2018. 

Berikutnya hasil penyelidikan Polda Metro Jaya mengetahui sejak tanggal 20 sampai dengan 24 September 2018, nomor ponsel dan IMEI ponsel Ratna Sarumpaet diketahui aktif di daerah Jakarta. 

Polda Metro Jaya juga mengungkap rekening atas nama Ibrahim Fahmi Al Hadi (anak Ratna Sarumpaet) dan rekening BCA Ratna Sarumpaet melakukan debet pada RS Khusus Bedah Bina Estetika sebanyak 3 kali. 

Tanggal 20 September RP 25 Juta, 21 September Rp 25 Juta, dan 24 September Rp 40 juta. 

Sedangkan berdasarkan konfirmasi ke RS Bina Estetika diketahui bahwa Ratna Sarumpaet memang dirawat pada tanggal 21 sampai dengan 24 September 2018 dalam rangka operasi plastik. 

Hal itu tercatat dalam buku register rawat inap RS Bina Estetika bahwa Ratna Sarumpaet masuk hari Jumat tanggal 21 September 2018 pukul 17.00

Berdasarkan rekaman CCTV Ratna Sarumpaet keluar RS Bina Estetika pada hari Senin tanggal 24 September 2018 pukul 21.38 WIB.

Pertanyaan besarnya apabila memang laporan polisi itu benar, maka siapakah otak dari penyebaran kabar terkait penganiayaan terhadap Ratna Sarumpaet itu? 

Dalam laporan polisi berjudul ''Laporan Hasil Penyelidikan Viralnya Berita Pengeroyokan Ratna Sarumpaet' dicapture 1 twit Fadli Zon @fadlizon dan 1 postingan instagram Rachel Maryam @cumarachel terkait penganiayaan yang disebut menimpa Ratna Sarumpaet

@fadlizon menulis 'Mbak @RatnaSpaet mmg mengalami penganiayaan n pengeroyokan oleh oknum yg blm jelas. Jahat n biadab sekali'.

@cumarachel menulis 'Setelah dikonfirmasi, kejadian penganiayaan benar terjadi..hanya saja waktu penganiayaan bukan semalam melainkan tgl 21 kemarin. Berita tidak keluar karena permintaan bunda @ratnaSpaet pribadi, beliau ketakutan dan trauma.Mohon doa'. 

Tapi belum diketahui apakah kedua akun media sosial itu yang memulai isu ini atau tidak. 

UU ITE

Berdasarkan penelusuran Warta Kota, terkait kabar bohong dapat dijerat Pasal 28 UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

Bunyi pasal itu sebagai berikut : 

Pasal 28
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA).

Tapi untuk dapat dijerat dengan pasal tersebut, penyebar kabar bohong harus memenuhi seluruh unsur yang ada dalam pasal tersebut. 

Hukumonline.com pernah mengulas unsur-unsur di kedua pasal tersebut agar penyebar berita bohong dapat dikenakan pidana UU ITE dalam rubrik 'klinik'. 

Hukumonline.com menulis bahwa perbuatan yang diatur dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE.

Namun UU ITE memang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”.

Tapi terkait dengan rumusan Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang menggunakan frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya terdapat ketentuan serupa dalam Pasal 390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa “menyiarkan kabar bohong”. Pasal 390 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak menurunkan atau menaikkan harga barang dagangan, fonds atau surat berharga uang dengan menyiarkan kabar bohong, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.

Menurut R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 269), terdakwa hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong, tidak saja memberitahukan suatu kabar yang kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian.

Menurut hemat kami sebagai ditulis hukumonline.com, penjelasan ini berlaku juga bagi Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Suatu berita yang menceritakan secara tidak betul tentang suatu kejadian adalah termasuk juga berita bohong.

Menurut hemat kami, kata “bohong” dan “menyesatkan” adalah dua hal yang berbeda. Dalam frasa “menyebarkan berita bohong” yang diatur adalah perbuatannya, sedangkan dalam kata “menyesatkan” yang diatur adalah akibat dari perbuatan ini yang membuat orang berpandangan salah/keliru.

Selain itu untuk membuktikan telah terjadi pelanggaran terhadap Pasal 28 ayat (1) UU ITE maka semua unsur dari pasal tersebut haruslah terpenuhi. Unsur-unsur tersebut yaitu:

Setiap orang

Dengan sengaja dan tanpa hak. Terkait unsur ini, dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Danrivanto Budhijanto, S.H., LL.M dalam artikel Danrivanto Budhijanto, "UU ITE Produk Hukum Monumental" diunduh dari www.unpad.ac.id) menyatakan antara lain bahwa perlu dicermati (unsur, ed) ’perbuatan dengan sengaja’ itu, apakah memang terkandung niat jahat dalam perbuatan itu. Periksa juga apakah perbuatan itu dilakukan tanpa hak? Menurutnya, kalau pers yang melakukannya tentu mereka punya hak. Namun, bila ada sengketa dengan pers, UU Pers (Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, ed) yang jadi acuannya.
Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan.

Karena rumusan unsur menggunakan kata “dan”, artinya kedua unsurnya harus terpenuhi untuk pemidanaan, yaitu menyebarkan berita bohong (tidak sesuai dengan hal/keadaan yang sebenarnya) dan menyesatkan (menyebabkan seseorang berpandangan pemikiran salah/keliru).[1] Apabila berita bohong tersebut tidak menyebabkan seseorang berpandangan salah, maka menurut hemat kami tidak dapat dilakukan pemidanaan.
Yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Unsur yang terakhir ini mensyaratkan berita bohong dan menyesatkan tersebut harus mengakibatkan suatu kerugian konsumen. Artinya, tidak dapat dilakukan pemidanaan, apabila tidak terjadi kerugian konsumen di dalam transaksi elektronik.

Nah, sudah memenuhi unsur-unsur ini belum ya peristiwa kabar penganiayaan Ratna Sarumpaet

Klik tautan ini untuk baca lengkap ulasan di hukumonline terkait pasal 28 UU ITE. Klik disini

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved