Mengenal Batik Nasional Karya Go Tik Swan Penambahan Hardjonagoro
Tahun 1950an, Soekarno memberikan amanah kepada mastro batik Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro untuk mengembangkan batik Indonesia.
Penulis: | Editor: Murtopo
Laporan wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
WARTA KOTA, TANAH ABANG -- Batik tidak hanya dimiliki suku Jawa saja.
Hampir disetiap daerah memiliki batik dan punya ciri khas masing-masing.
Batik di Jawa saja, berlainan satu daerah dan daerah lainnya.
Terlebih di luar Jawa.
Batik Jambi, batik Jakarta, batik Kalimantan, dan bahkan di timur Indonesia, Papua juga punya batik yang tidak kalah indahnya.
Kondisi tersebut, tentu saja menjadi harta yang tidak ternilai.
Namun, Presiden pertama Indonesia, Soekarno tetap ingin memiliki batik yang menjadi ciri khas nasional atau batik Indonesia.
Tahun 1950an, Soekarno memberikan amanah kepada mastro batik Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro untuk mengembangkan batik Indonesia.
Batik ini coraknya lebih nasionalistik dan merupakan penggabungan rasa persatuan, nasionalisme, dan romantisme.
“Perkenalan Go Tik Swan dan Presiden Soekarno saat diadakan pagelaran seni tari di Istana Negara. Go Tik Swan menari tarian Gambir Anom yang begitu indah, dan Soekornao sangat kagum, dan lebih kagum karena yang membawakan seorang pemuda Tionghoa. Pada zaman itu, tidak lazim seorang keturunan Tionghoa mempelajari tari Jawa,” tutur Neneng Iskandar saat Bincang Wastra di Museum Tekstil, Sabtu (23/9).
Setelah perkenalan tersebut, dan Presiden Soekarno juga tahu bahwa Go Tik Swan juga merupakan keluarga pengusaha batik secara turun temurun, munculah ide Soekarno untuk mengembangkan suatu corak batik yang lebih nasionalis.
Soekarno kemudian memerintahkan Go Tik Swan untuk membuat batik Indonesia.
Neneng yang menjadi murid Go Tik Swan Panembahan Hardjonagoro ini menceritakan, setelah diberi amanah tersebut, Go Tik Swan berkelana menelururi hampir seluruh pembatikan yang ada di Pulau Jawa.
Berkunjung ke makam-makam para leluhur, tapi belum juga memperoleh apa yang diinginkannya.
Sesaat ia sampai ke Pulau Bali dan menginap di rumah seniman asal Jerman, Walter Spies.
Pembatik asal Solo inipun memperoleh inspirasi tentang apa yang akan diciptakan mengenai batik Indonesia.
Lahirlah karya pertama batik Indonesia yang diberi nama Sawunggaling yang menggambarkan dua ekor ayam jantan yang sedang bertarung.
Karya ini, terinspirasi saat Go Tik Swan melihat temannya yang orang Bali memakai baju dengan motif ayam berwarna merah.
Pada zaman dulu, bila seorang raja menerima tamu kehormatan akan menggelar atraksi sabung ayam yang melambangkan ketangguhan apabila ada serangan dari luar.
Sementara nama Sawunggaling, didasarkan legenda Jawa Timur, Sawunggaling adalah nama seorang tokoh lengendaris pembela kebenaran yang membela rakyat pada zaman penjajahan Belanda.
Setelah Sawunggaling lahirlah batik Indonesia yang diber nama Pisan Bali, Kukilo Pekso Wani, Terang Bulan, Sida Mukti, Parang dan lainnya.
Menurut Neneng, batik Indonesia yang dibuat oleh Go Tik Swan adalah hasil perkawinan batik klasik Keraton, terutama gaya batik Surakarta dan Yogyakarta dengan batik gaya pesisir utara Jawa Tengah, terutama Pekalongan.
Teknik pewarnaan soga pada batik Surakarta dan Yogyakarta dikawinkan dengan teknik pewarnaan multiwarna pada batik pesisir.
“Batik Indonesia yang saya lahirkan atas prakarsa Bung Karno hanya sampai pada suatu perubahan kemajuan teknik pembuatan. Kalau dulu dunia pembatikan di Solo hanya mengenal latar hitam, latar putih, dengan soga, dan pantai Utara Jawa seperti Pekalongan hanya mengenal kelengan berwarna, dengan lahirnya Batik Indonesia, batas-batas tersebut menjadi terhapus. Namun nilai-nilai falsafah pola-polanya tetap yang lama,” kata Neneng menirukan ucapan Go Tik Swan.
Neneng menjelaskan, reformasi yang dilakukan hanya dalam hal mediumnya saja.
Sementara filosofis yang mendasarinya sama sekali tidak ditinggalkan.
Bicara filosofis batik, desainer Didi Budiarjo mengatakan sangat luas.
Bahkan Didi menegaskan bahwa batik adalah never ending stories.
Banyak filosofis dan pakem di batik yang perlu diketahui.
erutama desainer yang mengklaim menggunakan batik sebagai busananya.
“Batik tidak sekedar motif. Tapi banyak pakem dan unsur filosofisnya,” ujar Didi di kesempatan yang sama.
Motif parang misalnya, sebenarnya itu hanya dipakai untuk raja.
Bagi yang tahu filosofi motif Parang, saat pertemuan dengan keluarga kerajaan pasti akan menghindari penggunaan motif Parang.
Batik selobok (longgar) biasanya untuk menutup jenazah. Filosofinya, yang meninggal tidak mengalami kesulitan menghadap Yang Maha Kuasa.
Untuk motif ‘aman’ yang biasa dipakai kapan saja, dan oleh siapa saja, Neneng menyarankan menggunakan motif Sidomukti dan sidomulyo.
Bagaimana motif-motif batik Indonesia, bisa dilihat di Museum Tekstil yang sedang mengadakan pameran karya Go Tik Swan Penambahan Hardjonagoro mulai 20 September hingga 12 November 2017. (lis)
