Dulu Sih Ngga Bakalan Mungkin, Sekarang Jadi Mungkin karena Ahok
Keberanian Ahok menutup dua diskotek yakni Stadium dan Miles, menjadi perhatian sejumlah jurnalis yang lama bertugas meliput persoalan perkotaan
Penulis: Budi Sam Law Malau |
Hampir setiap malam pengunjung, pria dan wanita-wanita cantik dengan dandanan mengundang syahwat bersorak tanpa batas, suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) serta dari orang kaya, kalangan menengah bahkan kalangan miskin bercampur baur berjam-jam, ber hari-hari dan tak kenal waktu asyik larut mendengarkan dentuman musik setan tanpa peduli terdengar sayup-sayup suara adzan berkumandang saat Subuh. Saya menyakini sekali, sebagian besar pengunjungnya beragama Islam.
Dalam semalam, peredaran uang yang dihambur-hamburkan tak sedikit, bisa mencapai miliaran rupiah.
Bayangkan untuk membeli satu butir pil ekstasi saja pengunjung harus merogoh kocek Rp 500 ribu, dan satu orang pengunjung minimal menelan pil setan itu 2 hingga tiga butir.
Belum lagi untuk membeli narkoba jenis Sabu, minuman alkohol dan biaya untuk wanita-wanita peghibur sebagai pendamping serta tiket masuk diskotik.
Dan selama puluhan tahun, sejak jaman Gubernur Wiyogo, Soerjadi Soerdija, Sutiyoso hingga Fauzi Wibowo (Foke), kedua tempat itu sama sekali tak tersentuh dan rasanya tak mungkin ada yang berani mengotak-atiknya.
Kedua diskotik itu menjadi bancakan petinggi-petinggi di Pemprov DKI Jakarta, Polda Metro Jaya dan juga sebagian wartawan, ormas kepemudaan serta tak lupa dan cukup miris turut kebagian sebagian ormas Islam yang justru saat ini lantang menentang Ahok.
Capek rasanya saya menulis investigasi untuk mendesak ditutupnya kedua diskotik yang memang terang-terangan menjadi pusat peredaran narkoba dan prostitusi serta berani melanggar perijinan jam buka tutup diskotik bahkan tetap beroperasi disaat bulan Ramadhan, sekalipun Pemprov DKI melarangnya.
Tidak ada peringatan, apalagi sanksi penyegelan ataupun penutupan walaupun banyak korban tewas tak terhitung dikedua tempat itu karena over dosis atau akibat perkelahian.
**
Tapi, respon cukup cepat dilakukan Ahok saat media memberitakan bertubi-tubi banyaknya pengunjung yang tewas saat sedang pesta narkoba dan seks di kedua diskotik yang konon milik rajanya konglomerat di Indonesia.
Pemberitaan pun menghiasi, Ahok langsung merespon.
Dengan tegas diperintahkan kedua diskotik tersebut ditutup karena telah melanggar Perda tentang perijinan tempat hiburan terutama soal peredaran narkoba dan kegiatan prostitusi.
Tentu, saya dan para jurnalis lainnya yang kerap menulis 'kebrutalan' kebaradaan diskotik tersebut merasa senang dan mengacungkan jempol, karena 'tekanan' media menuai hasil untuk menyuarakan keinginan warga agar kedua tempat maksiat yang berada di kawasan Jakarta Kota tersebut ditutup.Tentunya hal itu tak pernah terbayangkan sebelumnya, walaupun hanya sekelebat mimpi.
Dan, siapa juga yang menduga keberadaan kawasan Kali Jodo Jakarta sebagai kawasan hingar-bingar prostitusi dan peredaran narkoba yang sudah tujuh turunan tak pernah terusik. Tapi, lagi-lagi Ahok mampu menghadapinya, walau ancaman bertubi-tubi mengancam jiwa dan pemikirannya.
Namun, Ahok tak gentar. Dengan hanya 'sekali lirik', pria yang dihujat sebagian kalangan dituduh menistakan agama Islam ini 'kelewat sakti' dan meratakannya hanya dengan sekejap. Kini, Kali Jodo pun, telah 'disulap' menjadi taman bermain anak yang indah dan nyaman.