Keakraban Muhammad Ali dengan Warga Jakarta Terlihat Seperti ini

Legenda tinju kelas berat, Muhammad Ali, tidak hanya dikenal di Amerika Serikat. Dia pernah berkunjung ke Indonesia

rosaleencunningham.com
Muhammad Ali, juara dunia tinju kelas berat, di Jakarta, 1973. 

WARTA KOTA, PALMERAH - PERTARUNGAN Muhammad Ali yang paling diingat publik adalah ketika dia menghadapi Joe Frazier pada 8 Maret 1971 di New York, AS.

Ali kalah dalam pertandingan bertajuk “Pertarungan Abad Ini” untuk kali pertama setelah menang 31 kali berturut-turut. Gelar juara dunia kelas berat pun lepas dari genggamannya.

Publik menanti pertarungan Ali-Frazier selanjutnya. Sebagai pemanasan melawan Frazier, Ali menjalani satu pertandingan di Jakarta.

Promotor Raden Sumantri berhasil menggelar pertandingan Ali melawan Rudi Lubbers, juara tinju kelas berat asal Belanda.

Awalnya akan dilaksanakan di Surabaya pada 14 Oktober 1973, tapi pertandingan dialihkan ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973.

 Di Indonesia, nama ayah dari Laila Ali ini juga sangat populer.

Pria yang awalnya memiliki nama Cassius Marcellus Clay ini tercatat pernah mengunjungi Indonesia pada 1973.

Kala itu, Muhammad Ali berusia 31 tahun dan memiliki pengalaman menarik selama mengunjungi Tanah Air.

Muhammad Ali terlihat naik becak sambil dikerumuni oleh sejumlah orang.

Sejumlah orang tampak mendampingi Ali itu mengabadikan momen tersebut.

muhammad ali
                                                                                                                                                                  Handover

Adalah promotor Raden Sumantri yang sukses mendatangkan petinju fenomenal itu ke Indonesia.

Di Indonesia, Ali melawan petinju Rudi Lubbers.

Awalnya masyarakat Indonesia mengira pertandingan Ali versus Lubbers di Stadion Gelora Bung Karno pada 20 Oktober 1973, merupakan duel eksibisi.

Namun nyatanya ini adalah pertandingan resmi, walau tidak memperebutkan gelar.

Dalam pertarungan itu, Ali menyiksa lawannya Lubbers selama 12 ronde dalam pertandingan kelas berat tanpa gelar di Istora Senayan, Jakarta.

Ali dielu-elukan bak pahlawan terutama karena dia seorang Muslim. Dia juga dianggap representasi pahlawan bagi bangsa-bangsa Dunia Ketiga.

“Lubbers jelas menjadi representasi kolonialisme Belanda, dan orang-orang Indonesia bersemangat melihat kemenangan politik mereka terulang di atas ring,” tulis Julio Rodriguez, “Documenting Myth” dalam Sports Matters: Race, Recreation, and Culture suntingan John Bloom dan Michael Nevin Villard.

Secara teknis, Ali tidak dalam kondisi terbaik. Persiapannya hanya sepuluh hari.

Ali tidak meremehkan reputasi Lubbers sebagai kuda hitam. Seperti kebiasaannya mengumbar omongan kepada pers sebelum bertanding, Ali sesumbar akan menumbangkan Lubbers di ronde kelima.

Pertandingan disiarkan secara internasional. Pertandingan nongelar ini tetap menarik khalayak ramai. Tiket yang dibandrol Rp 1.000 sampai Rp 27.500 ludes terjual.

“Salah satu hal yang paling diingat dari pertandingan ini adalah kapasitas Ali yang mampu menarik perhatian khalayak internasional. 35.000 orang Indonesia datang untuk menonton. Ditambah pameran tentang Ali yang ikut menarik 45.000 orang untuk datang melihat-lihat,” tulis David West dalam The Mammoth Book of Muhammad Ali.

Kesan pertama saat berkunjung ke Indonesia pada 1973, ia berkata:

"Sebuah negara yang unik, di mana penduduknya sangat bersahabat, dan selalu tersenyum kepada siapapun."

Setelah memutuskan pensiun dari dunia tinju pada 1981, Ali kembali berkunjung ke Indonesia pada 23 Oktober 1996.

Mungkin saat itu ia merasa kangen dengan sikap ramah masyarakat tanah air yang mudah tersenyum.

Video Ali bertanding:

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved