Hidup dengan Anak Cerdas Istimewa

Mereka hidup dengan anak-anak berintelegensia tinggi. Namun, tak selamanya buah hati mereka yang berotak encer itu mudah dihadapi.

|

Palmerah, Wartakotalive.com

Mereka hidup dengan anak-anak berintelegensia tinggi. Namun, tak selamanya buah hati mereka yang berotak encer itu mudah dihadapi. Dukungan orangtua memberikan energi bagi si cerdas untuk mengembangkan diri.

Grace Oviana Suryadi selalu dikejutkan oleh kedua anaknya, Tobi Moektijono (19) dan Isselin Moektijono (16), yang berintelegensia tinggi. Sejak masih taman kanak-kanak, Tobi sudah suka dengan matematika.

”Dia hobi membuat soal matematika. Soal-soal itu sudah diterbitkan dalam buku Soal-soal Unik Matematika beserta Solusi Alternatif Tobi . Itu waktu dia duduk di kelas enam SD. Adiknya, Isselin, yang membuat ilustrasi sampul bukunya,” ujar Grace.

Tobi dan Isselin dulu langganan juara olimpiade matematika nasional dan internasional serta belum lama ini masuk ke perguruan tinggi di Singapura dengan beasiswa. Tobi sempat dianugerahi Satyalancana Wira Karya, tanda kehormatan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Isselin berminat dengan lebih banyak hal, mulai dari menggambar, judo, matematika, hingga astronomi. Isselin yang duduk di kelas satu SMA itu sedang mempersiapkan diri untuk seleksi Olimpiade Sains Nasional Astronomi mendatang. Prestasi dalam kompetisi matematika tingkat nasional dan internasional pernah pula diraihnya.

Sejak kecil, kakak beradik itu suka bereksperimen aneh. ”Waktu masih TK, kita buat sistem antar barang dengan tali dan ember dari kamar saya ke tempat kakak. Jadi, kalau perlu ambil sesuatu tidak usah keluar masuk kamar, ha-ha-ha,” ujar Isselin.

Ines Wuri Handayani pun hidup dengan dua buah hati yang cerdas, Dehan dan David. Sejak batita, Ines melihat perkembangan kognisi Dehan lebih cepat dari anak seumurnya. Ketika dites pada umur delapan tahun, intelligence quotient (IQ) Dehan mencapai 135. ”Umur setahun dia lancar bicara, mengerti instruksi, dan ingatannya kuat. Dehan mampu membaca buku sebelum masuk sekolah,” ujar Ines.

Jika sedang senang dengan suatu topik, Dehan tekun mempelajarinya. Sewaktu berumur empat tahun, putranya hafal partai politik dan logonya. ”Dehan bicara soal partai politik di playgroup. Sampai saya ditanya gurunya, apa saya anggota parpol.”

Begitu juga dengan David, putra kedua Ines yang ber-IQ di atas 130. Ketika duduk di kelas dua SD, dia membuat forum berdiskusi di laman jejaring sosial. ”Sementara, teman-temannya yang di-invite tidak mengerti forum itu apa,” ujarnya.

Disalahpahami

Namun, bagi Ines, tak mudah menghadapi anak-anaknya. Karakter anak berintelegensia tinggi yang unik kerap membutuhkan pengertian dari lingkungannya. ”Usia balita menjadi masa terberat. Sedikit saja sesuatu tidak sesuai ekspektasi, Dehan mengamuk. Orang mengira kami tidak bisa mendisiplinkan atau anaknya hiperaktif. Padahal, bukan itu,” paparnya.

Begitu bersekolah, Dehan tidak terpuaskan secara intelektual sehingga prestasinya tidak maksimal. Dehan selalu masuk ke kelas murid pintar yang dipilah berdasarkan hasil tes. Ironisnya, sekalipun duduk di kelas pintar, nilai Dehan tidak pernah memuaskan. Dia lebih bisa tekun saat menggeluti bidang kesukaannya.

Kurikulum di sekolah umum hanya melayani anak-anak arus utama. Kehausan akan ilmu tertentu yang diminati Dehan tidak terpenuhi atau terpotret dalam hasil evaluasi. Begitu jenuh mendengarkan guru, dia pun mulai berulah. Baru sekolah dua minggu saja, gurunya minta ketemu saya,” ujarnya.

Grace pun harus terbiasa dengan ide-ide gila Tobi dan Isselin. Suatu ketika, ledakan besar terdengar dari dapur Grace. Rupanya Tobi dan Isselin sedang mengadakan eksperimen mencampur soda dengan dry es yang dimasukkan ke botol air mineral. ”Tempat bumbu-bumbu Mama loncat dan pecah karena ledakan itu,” ujar Isselin yang waktu kejadian tersebut duduk di kelas 1 SD.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved