Tukang Pijit di Kota Tua Mampu Hasilkan Rp7 juta Per Bulan
Kawasan Kota Tua di malam hari, sangat mengagumkan tentunya. Apalagi menjelang week end, sudah pasti banyak warga Jakarta yang menghabiskan waktu di tempat yang penuh nilai historis itu. Selain cocok sebagai tempat bersantai dengan para sahabat atau dengan kekasih, banyak hal lain yang bisa didapat di tempat itu.
Pademangan, Wartakotalive.com
Kawasan Kota Tua di malam hari, sangat mengagumkan tentunya. Apalagi menjelang week end, sudah pasti banyak warga Jakarta yang menghabiskan waktu di tempat yang penuh nilai historis itu. Selain cocok sebagai tempat bersantai dengan para sahabat atau dengan kekasih, banyak hal lain yang bisa didapat di tempat itu.
Seiring antusiasme kunjungan masyarakat begitu tinggi, kini kawasan Kota Tua, terutama di malam hari, berubah menjadi seperti pasar rakyat. Perhatikan saja di area depan Museum Fatahillah. Jika Anda berkunjung malam hari ke sana, maka Anda akan menemukan banyak sekali lapak-lapak, baik itu yang menjual barang-barang maupun menjual jasa.
Ada satu lapak yang menarik perhatian, yakni lapak pijit refleksi dan bekam milik Pak Rohim. Saat wartawan Wartakotalive mengamati lebih seksama, pria paruh baya itu tengah sibuk membekam salah satu pasiennya. Gerakannya lentur, tegas dan mantap. Dari cara dia mengoles minyak, menekan beberapa persendian tubuh, menekan urat-urat tempat darah membeku, semua gerakan terlihat seperti terstruktur.
Ketika mulai mengobrol, Pak Rohim (51) mengaku sebagai tukang pijit profesional. Kata dia, profesi sebagai tukang pijit sudah ia lakoni lebih dari 35 tahun silam, saat dirinya masih duduk di bangku SMP.
“Menjadi tukang pijit itu tidak sembarangan. Tidak boleh main-main. Tidak boleh hanya menjadi pekerjaan sampingan tapi tidak tahu ilmunya,” kata dia berpetuah, ditemui pada Jumat (07/09/2012) malam.
Pak Rohim kemudian berkisah tentang awal mula dia menjadi tukang pijit, puluhan tahun silam. Menurut pengakuan dia, sejak masih berusia remaja, ia sudah merasa memiliki kelebihan untuk mengobati orang. Jika ada teman sekolah maupun tetangganya yang sakit, maka ia sering dimintai bantuan untuk menolong.
“Jadi ilmu ini menurut saya lebih kepada bawaan alami. Pengalaman saat remaja, saya jadikan sebagai modal untuk mengobati orang sampai sekarang,” tutur pria yang kini tinggal di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta Selatan ini.
Hasilkan Rp 7 Juta Per Bulan
Sebelum membuka lapak di Kawasan Kota Tua, dulu Pak Rohim adalah salah satu dari sekian banyak tukang pijit yang membuka lapak di Kawasan Monas. Seiring bertambahnya tukang pijit di Monas, penghasilan Pak Rohim menurun drastis. Alhasil, dia mencoba mencari lahan baru dengan harapan penghasilannya sebagai tukang pijit bisa kembali seperti semula.
“Saya membuka lapak di depan Museum Fatahillah ini baru 8 bulan. Sebelumnya di Monas. dulu, di Monas, penghasilan bisa 6-7 juta per bulan. Setelah banyak orang (tukang pijit), penghasilan menurun jadi Rp 3 juta per bulan. Tapi alhamdulillah setelah membuka di sini penghasilan bisa kembali seperti dulu,” Pak Rohim menerangkan.
Namun bukan berarti setelah mendapatkan lahan subur di Kawasan Kota Tua lantas Pak Rohim melupakan tempat lamanya. Meski sudah memiliki pelanggan yang kerap datang ke Kawasan Kota Tua, Pak Rohim juga masih membuka lapak di Kawasan Monas pada siang harinya.
“Waktunya sudah di atur. Jam 10 pagi sampai jam 4 atau 5 sore saya masih membuka lapak di Monas. Karena bagaimanapun saya kan juga sudah punya banyak pelanggan di sana. Baru setelah lewat jam 5 sore saya menuju ke sini, sampai tutup menjelang subuh,” jelasnya.
Pak Rohim sudah menetapkan tarif untuk setiap paket pijitannya. Untuk pijit refleksi biasa, tarif yang dikenakan kepada pasien Rp. 30 ribu, sedangkan untuk pijit lengkap plus bekam, tarifnya Rp. 50 ribu. Dengan jumlah pasien yang mencapai 10 orang per malam, khusus di Kawasan Kota Tua saja, ditambah lagi dengan pasien yang dia dapatkan di Monas, Pak Rohim mengaku mampu mengantongi hingga Rp 7 juta per bulan.
“Kalau di Fatahillah setiap hari rata-rata 8 sampai 10 orang. Tapi kalau week end jumlahnya bertambah. Makanya, saya sering minta bantuan pada beberapa teman, karena kewalahan. Nanti mereka akan mendapatkan bagian (upah). Misalkan saya semalam dapat Rp. 400 ribu, paling yang saya terima hanya Rp. 250 ribu. Kalau dapat Rp. 600 ribu, paling ya terima Rp. 400 ribu. Yang sering bantu ada dua orang,” Pak Rohim menjelaskan.
Ditambahkan dia, biaya yang ia keluarkan untuk menyewa tempat membuka lapak, hanya Rp. 400 ribu sebulan. Uang tersebut diberikan kepada hansip untuk kemudian disetorkan kepada Ketua RW setempat. Sedangkan untuk biaya kebersihan serta keamanan, Rp. 5000 per harinya.
Dari Kuli Sampai Pak Habibie
Puluhan tahun menjadi tukang pijit, Pak Rohim tentu saja punya banyak pengalaman. Tidak hanya memijit masyarakat biasa yang terdiri dari kuli bangunan, supir dan lain lain, namun dalam kapasitas yang lain yakni menjadi tukang pijit panggilan, pria yang sudah memiliki 3 anak dan 5 cucu ini mengaku pernah memijit beberapa pejabat maupun artis.
“Tapi itu dulu, sudah agak lama. Sempat dipanggil untuk memijit Pak Habibie dan pejabat lain kebanyakan jendral-jendral. Kalau dari kalangan artis, seingat saya ada Tino Karno, Rano Karno, Ahmad Akbar dan pelawak Cahyono,” tutur dia.
Untuk masalah tarif, imbuh Pak Rohim, biasanya para pejabat maupun artis memberikan tip yang lumayan tinggi di luar tarif normal.
“Sebenarnya untuk tarif kan juga berbeda, karena saya dipanggil. Beda kalau saya buka lapak seperti ini. Saya itungannya per titik. Jadi, mereka maunya refleksi di bagian mana saja. Itu dihitungnya per titik. Begitu pula kalau mereka minta bekas dengan tusuk jarum untuk mengobati darah tinggi, itu itungannya juga beda. Makanya, setiap dipanggil, baik itu oleh pejabat atau artis, biasanya saya dapat uang Rp.300-Rp.500 ribu. Belum lagi kalau dipanggil ke mess tentara atau brimob. Sekali datang, saya bisa mijit sampai 4 orang dan bisa dapat Rp. 600 ribu,” terang dia.
Selain itu, Pak Rohim juga mengaku sering mendapat orderan dari orang asing dari berbagai negara seperti Spanyol, Amerika, Australia, Swiss dan sebagainya.
“Bahkan sampai sekarang mereka juga banyak datang ke lapak saya di Monas. Tidak hanya lelaki, tapi juga bule perempuan juga. Saya sampai kenal baik saya bule perempuan cantik asal Spanyol,” akunya bangga.
Pak Rohim tak tahu sampai kapan ia akan menjadi tukang pjjit. Selagi masih mampu, ia menegaskan bahwa ia akan tetap melakoni profesi ini. Apalagi, ia mengaku penghasilan yang ia peroleh saat ia cukup membuatnya puas dan bersyukur.
FERYANTO HADI