Terungkap Tarif LRT dan MRT Belum Terintegrasi Jak Lingko

Alasan besaran subsidi yang akan diberikan kepada MRT dan LRT Jakarta menurutnya bukan masalah utama dalam integrasi tarif.

Warta Kota/Rangga Baskoro
Penumpang LRT di Stasiun Velodrome, Rawamangun, Jakarta Timur, Senin (25/2). 

Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan telah menetapkan besaran tarif Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT).

Namun, tarif tersebut diketahui belum terintegrasi dengan JakLingko.

Belum terintegrasinya tarif MRT yang dipatok sebesar Rp 10.000 dan LRT sebesar Rp 6.000 itu dipertanyakan oleh anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Yuke Yurike. Dirinya menyebut seharusnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat merencanakan integrasi tiket antar moda transportasi tersebut.

Sebab, belum terintegrasinya tarif antara MRT, LRT serta Transjakarta dalam JakLingko dipercaya bakal menyulitkan masyarakat selaku pengguna angkutan Umum.

Padahal, tujuan awal pembangunan moda transportasi tersebut adalah integrasi, bukan hanya fisik semata, tetapi kemudahan bertransaksi.

Selain itu, alasan besaran subsidi yang akan diberikan kepada MRT dan LRT Jakarta menurutnya bukan masalah utama dalam integrasi tarif.

Lantaran merujuk visi dan misi, yakni mengatasi kemacetan lewat peningkatan layanan angkutan umum.

"Saya menyayangkan sikap Pemprov DKI yang baru mengusulkan pembahasan tarif ke DPRD menjelang operasional MRT dan LRT akhir Maret ini. Peningkatan layanan angkutan umum itu bukan masalah besaran tarif atau subsidi saja," ungkapnya dihubungi pada Kamis (7/3/2019).

Tidak hanya soal integrasi tarif, Anggota Calon legislatif Daerah pemilihan 8 DPRD DKI Jakarta dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu pun mempertanyakan skema kerjasama dalam biaya operasional MRT dan LRT, yakni skema bangun-serah-guna atau Build Transfer Operate (BTO) atau bangun-guna-serah atau Build Operate Transfer (BOT).

Sebab, kedua skema kerjasama tersebut akan mempengaruhi besaran tarif yang ditetapkan untuk layanan MRT dan LRT.

Diketahui, BTO merupakan skema pendanaan proyek dimana entitas swasta menerima konsesi dari pihak lain untuk mendanai, merancang, membangun, dan mengoperasikan suatu fasilitas.

Model ini memungkinkan penerima konsesi mendapatkan kembali investasi dan biaya operasi serta pemeliharaan yang dikeluarkan dalam suatu proyek.

Sementara, skema BOT yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) selaku pengelola hanya berinvestasi kepada prasarana transportasi umum, sedangkan pemerintah sebagai pemilik aset berinvestasi lebih kepada fisik atau sarana transportasi umum.

"Kalau semua diberikan kepada BUMD melalui subsidi public service obligation (PSO), setiap tahun pasti akan membengkak dana PSO tersebut."

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved