Mahfud MD Sebut Hukuman di Indonesia Tak Adil, Pengendara Motor Langsung Dipenjara Koruptor Keliaran
Mahfud MD mengatakan, hukuman di Indonesia tidak adil, terutama ketika berhadapan dengan koruptor.
Penulis: Suprapto | Editor: Suprapto
PROF Mohoammad Mahfud MD mengatakan, hukuman yang dijatuhkan hakim di Indonesia sering terasa tidak adil.
Mahfud MD pun membandingkan hukuman terhadap pelaku kecelakaan lalu lintas (lalin) dengan seorang koruptor.
Menurut Mahfud MD, ada seorang suami yang mengalami kecelakaan bersama istrinya langsung dijatuhi hukuman karena dianggap lalai.
Tetapi, ujar Mohammad Mahfud MD, seseorang yang sudah menjadi tersangka korupsi atau divonis dan berstatus koruptor, tetap bisa berkeliaran.
"Tidak adil kan," ujar Mahfud MD melalui akun twitternya, Kamis (1/11/2018) sekitar 1 jam lalu.
Baca: Mahfud MD: Tak Pantas dan Tak Bermoral Tersangka Korupsi Tetap Jadi Wakil Ketua DPR
Baca: Logbook Kopilot JT 610 Ditemukan, Ini Fungsi Penting Logbook Terkait Kerusakan Pesawat
Baca: Habis Lion Air JT 610 Jatuh, Pilot Batik Air Bongkar Kondisi Maintenance Pesawat di Lion Grup
Dia menjawab pertanyaan seorang warganet (netizen) yang mempersoalkan hukuman terhadap koruptor kenapa tidak langsung dimiskinkan dan diasingkan saja.
Netizen bernama Muhamad Rohyadie pemilik akun @MuhamadRohyadi menulis status yang di-mention ke Mahfud MD.
@MuhamadRohyadi: Kenapa sih prof kalo yang korupsi nominalnya milyaran tidak langsung dimiskinkan dan diasingkan saja, apakah setiap orang korupsi itu dia korporasi dengan pejabat negara? Dan akhirnya takut memberikan hukuman seberat beratnya
Atas pertanyaan itu, Mahfud MD kemudian menjawab dengan menulis komentar juga.
@mohmahfudmd: Hukuman sering terasa tdk adil.
Ada seorang suami membonceng isterinya di jalan raya. Krn menghindar jeglokan isterinya jatuh dari motor, dilindas oleh truck yg dari belakang. Mati.
Si suami dipenjara krn lalai sebabkan kematian orang. Tp koruptor bs berkeliaran. Tdk adil, kan?
Mahfud MD juga mengatakan bahwa hukum untuk pelaku korupsi di Indonesia sebenarnya sudah bagus.
Tetapi, kata Mahfud MD, hukuman yang dijatuhkan (oleh hakim) yang tidak bagus.
@mohmahfudmd: Hukum utk pelaku korupsi sudah bagus, Fitri. Yang tidak bagus itu hukumannya. Kalau sdh hukuman itu menjadi urusan hakim. Beda loh antara hukum dan hukuman.
Bahkan Mahfud MD secara tegas juga mengatakan bahwa koruptor di Indonesia bisa dijatuhi hukuman mati.
"Bisa," ujar Mahfud MD singkat ketika ditanya oleh warganet apakah koruptor di indonesia tidak bisa dihukum mati seperti di negara lain.
Tetapi, karena di dalam hukum disebutkan 'bisa' ini yang kemudian sangat tergantung para penegak hukum ketika menjatuhkan hukuman.
"Karena istilah "bisa" itu tidak sama dengan "harus". Jadi tergantung substansinya, jaksa penuntut dan hakimnya," tegas Mahfud MD.
Mahud MD Minta Pimpinan DPR Tersangka Korupsi Mundur
Sebelumnya diberitakan Prof Mohammad Mahfud MD mengatakan secara moral Taufik Kurniawan tidak pantas memimpin DPR.
Menurut Mahfud MD sangat tidak pantas lembaga tinggi negara dipimpin oleh seseorang berstatus sebagai tersangka kasus korupsi, meski hukum tidak mewajibkannya mundur.
"Secara hukum tak ada kewajiban bagi Pimpinan DPR untuk mundur dari jabatanya jika menjadi tersangka korupsi. Tapi secara moral tidak pantas jika lembaga negara dipimpin oleh tersangka korupsi," ujar Mahfud MDmelalui akun twitternya, Kamis (1/11/2018) sekitar 30 menit lalu.
Taufik Kurniawan adalah politisi Partai Amanat Nasional.
Taufik Kurniawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima hadiah atau janji terkait perolehan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik APBNP 2016.
Menurut Mahfud MD, hukum yang berlaku di mana saja, termasuk di Indonesia, bersumber dari moral dan etik.
Bahkan, kata Mahfud MD, ada yang mengatakan bahwa moral dan etik jauh lebih tinggi daripada hukum.
Simak status Mahfud MD berikut ini.
@mohmahfudmd: Scr hukum tak ada kewajiban bagi Pimpinan DPR utk mundur dari jabatanya jika jd TSK korupsi.
Tapi scr moral tdk pantas jika lembaga negara dipimpin oleh TSK korupsi. Hukum itu bersumber dari moral dan etik shg ada yg bilang moral dan etik lbh tinggi daripada hukum. Pilih yg mana?
Kronologi Taufik Kurniawan Jadi Tersangka Kasus Korupsi
Seperti diberitakan Wartakotalive.com sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengakui beberapa hari terakhir Taufik Kurniawan jarang ke DPR.
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan baru saja ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap.
"Beliau memang jarang ke kantor, karena mungkin sibuk memenuhi proses hukum. Belakangan ini, beberapa bulan jarang sekali nampak," ujar Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Tidak hanya jarang ke DPR, Taufik Kurniawan juga menurut Fahri Hamzah tidak terlalu aktif dalam grup WhatsApp pimpinan DPR. Wakil Ketua Umum PAN tersebut jarang berkomentar seperti Wakil Ketua DPR lainnya.
"Kita juga ada grup pimpinan, beliau jarang komentar," katanya.
Fahri Hamzah mengaku jarang sekali berkomunikasi dengan Taufik Kurniawan. Namun dalam satu kesempatan, Taufik Kurniawan pernah bercerita bahwa namanya disebut-sebut oleh bupati dalam suatu perkara.
"Saya baru sekali bicara sama beliau, lalu tidak pernah ketemu lagi. Dia cerita ke saya, ada bupati yang nyebut-nyebut nama dia," ungkapnya.
Kabiro Pimpinan DPR Djaka Dwi Winarko mengatakan, Taufik Kurniawan terakhir kali tercatat datang ke DPR pada pekan lalu. Namun, ia tidak mengetahui kegiatan rinci Taufik Kurniawan ketika berkantor.
"Belum, kan Hari Jumat, dan saya juga enggak tahu persis sehari-harinya, kan saya enggak di ruang beliau. Jadi saya enggak bisa katakan, datang enggaknya enggak bisa memastikan," tuturnya.
Menurutnya, tidak ada kewajiban absen bagi pimpinan DPR saat datang berkantor. Karena, menurutnya anggota DPR bukanlah pegawai Kesekjenan.
Sebelumnya, KPK mengumumkan status hukum Wakil Ketua DPR periode 2014-2019 Taufik Kurniawan, menyusul dicegahnya wakil rakyat tersebut untuk bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan, terhitung 26 Oktober 2018.
Oleh penyidik, Taufik Kurniawan didugaa menerima hadiah atau janji terkait perolehan anggaran Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik pada perubahan APBN Tahun Anggaran 2016.
Atas perbuatannya, Taufik Kurniawan disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-undang No 31 Tahun 199c tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, penetapan tersangka kepada Taufik Kurniawan dan Ketua DPRD Kabupaten Kebumen periode 2014-2019 Cipto Waluyo, merupakan pengembangan dari dua perkara terkait pembahasan dan pengesahan anggaran APBD dan APBD-P Kabupaten Kebumen periode 2015-2016, dan pokok pikiran DPRD Kebumen serta DAK Kabupaten Kebumen tahun 2016.
"KPK telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan status penanganan perkara ini ke penyidikan, sejalan dengan penetapan para pihak sebagai tersangka," ucap Basaria Panjaitan, Selasa (30/10/2018).
Perkara ini diawali dari Operasi Tangkap Tangan pada 15 Oktober 2016, yang melibatkan satu anggota DPRD dan satu PNS di Dinas Pariwisata Kebumen, dengan barang bukti Rp 70 juta.
Dalam proses penanganan perkara ini, ditemukan sejumlah bukti yang kuat, sehingga KPK memproses sembilan orang lagi dari unsur Bupati Kebumen, Sekda, anggota DPRD, swasta, serta menetapkan satu korporasi yang diduga terafiliasi dengan bupati dalam dugaan tindak pidana pencucian uang.
"Dalam perkara ini, kami melihat korupsi terjadi secara sistematis, yaitu dugaan alokasi anggaran untuk Pemkab Kebumen melalui APBN Perubahan Tahun 2016, fee proyek yang didapatkan bupati, aliran dana pada DPRD untuk pembahasan anggaran, serta penggunaan bendera perusahaan tertentu dalam pelaksanaan proyek hingga pencucian uang," papar Basaria Panjaitan.
Setelah melakukan penyelidikan sejak Agustus 2018, akhirnya KPK menetapkan Cipto Waluyo sebagai tersangka.
Sedangkan terkait Taufik Kurniawan, jelas Basaria Panjaitan, diduga Bupati Kebumen Muhamad Yaya Fuad melakukan pendekatan kepada sejumlah pihak, termasuk anggota DPR, salah satunya Taufik Kurniawan, yang membidangi ruang lingkup tugas Komisi XI dan Badan Anggaran.
"TK (Taufik Kurniawan Kurniawan) dianggap mewakili Dapil Jawa Tengah VII (Kebumen, Banjarnegara, dan Purbalingga) dari Fraksi PAN. Saat itu terdapat rencana alokasi dana DAK senilai Rp 100 miliar. Diduga fee untuk pengurusan DAK ini adalah 5 persen dari total anggaran yang dialokasikan. MY (Muhamad Yaya Fuad) diduga menyanggupi fee 5 persen dan meminta fee 7 persen pada rekanan di Kebumen. Didufa TK menerima sekurang-kurangnya Rp 3,65 miliar," ungkap Basaria Panjaitan.
Alokasi DAK untuk proyek ini diduga juga dipegang oleh PT Trada yang juga dijerat TPPU sebagai korporasi. PT Trada diduga perusahaan milik bupati yang meminjam bendera sejumlah perusahaan untuk mengerjakan proyek jalan di Kebumen.
Atas perkara ini, pada 5 September 2018 lalu, Taufik Kurniawan sempat dimintai keterangannya terkait pengembangan kasus ini, namun kala itu Taufik Kurniawan enggan membeberkan materi pemeriksaan terhadap dirinya.
Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK juga telah mengirimkan SPDP pada Taufik Kurniawan sebagai tersangka sebelum tiga hari setelah penyidikan dilakukan pada 18 oktober 2018.
Taufik Kurniawan Dicegah ke Luar Negeri
Wakil Ketua DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Taufik Kurniawan dicegah bepergian ke luar negeri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mendengar hal itu, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyererahkan pada hukum yang berlaku.
"Ya pokoknya kalau hukum serahkan sama hukum," kata Zulhas saat ditemui di kawasan Depok, Jawa Barat, Minggu (28/10/2018).
Hal itu menyusul adanya surat permintaan pencegahan ke luar negeri terhadap Taufik Kurniawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diterima Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
Sebelumnya, Taufik Kurniawan mendatangi Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, pada 5 September lalu.
Menurut pengakuan Taufik Kurniawan, kedatangannya untuk menyampaikan keterangan terkait mekanisme pembahasan APBN kepada penyelidik KPK, dalam kaitannya dengan kasus dugaan suap proyek yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pada APBN 2016, senilai Rp 100 miliar.
Kedatangannya itu dia akui bukan kapasitasnya sebagai saksi, namun hanya memberikan keterangan soal mekanisme pembahasan APBN kepada penyelidik KPK.