Sunat dari Sudut Kesehatan

Sunat merupakan praktik bedah terencana yang paling tua. Diperkirakan sudah sejak tahun 1360 Sebelum Masehi praktik itu sudah dilakukan.

Penulis: |
Shutterstock
Ilustrasi 

WARTA KOTA, PALMERAH-Sunat dianggap tindakan bedah terencana paling tua. Sebuah gua di Mesir yang diperkirakan 1360 Sebelum Masehi (SM), telah menggambarkan proses sunat.

Tidak diketahui persis alasan tindakan tersebut, namun diperkirakan merupakan bagian dari ritual. Dan sunat pun tidak lekang oleh zaman.

Kini, kesadaran untuk bersunat atau khitan, tidak lagi dihubungkan dengan faktor sosial dan agama saja. Namun demi alasan kesehatan.

Data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2007 diperkirakan ada sepertiga laki-laki berusia diatas 15 tahun di seluruh dunia yang disunat.

Dari angka tersebut, 70 persen memang dilakukan atas latar belakang agama. Tapi sisanya, dilatarbelakangi kesehatan dan adanya indikasi medis yang menyebabkan pasien dianjurkan untuk segera dilakukan sunat atau khitan.

Sunat atau sirkumsisi merupakan tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis. Teknik sunat pun terus berubah demi mengurangi rasa sakit dan kenyamanan.

Jika dulu sunat dilakukan oleh dukun sunat secara tradisional, menggunakan bambu, tulang, batu bahkan golok. Kini masyarakat bisa memilih untuk menyunatkan anaknya ke mantri atau dokter. Menggunakan teknik sunat konvensional ataupun teknik sunat modern (klem).

Menurut dr Mahdian Nur Nasution SpBS, secara umum, tindakan sunat bisa dilakukan segera, dan terencana. Harus dilakukan segera, biasanya dikarenakan penyakit bawaan sejak bayi yang solusinya dengan disunat. Sementara terencana bisa dilakukan kapan saja.

“Penyakit bisa timbul kapan saja tanpa terikat waktu. Ada yang sejak lahir atau setelah dewasa. Begitu halnya dengan sunat. Pria yang tidak disunat akan lebih mudah terjangkit berbagai macam penyakit. Namun ada juga penyakit-penyakit yang mengharuskan pria segera disunat,” kata Mahdian kepada wartawan saat Media Gathering dengan tema Penyakit-penyakit yang Harus Segera Disunat di Restaurant Mbok Berek Tebet, Selasa (13/12/2016).

Dari sisi kesehatan, penyakit HIV lebih dari 80 persen tertular dari penis yang tidak disunat. Pria yang tidak disunat memiliki risiko dua kali lebih besar terkena kanker prostat.

“Bila tidak disunat, ketika berhubungan seksual akan lebih mudah lecet. Lecet membuat nyeri, lama-lama inflamasi (radang, Red), lalu infeksi. Jika radang berulang bisa berpotensi menjadi keganasan, atau kanker penis,” katanya.

Dengan kesadaran kesehatan inilah, pria dewasa ingin melakukan sunat. Baik keinginan pribadi, dan tidak sedikit juga karena permintaan istri.

“Biasanya bila tidak disunat, penis mengeluarkan aroma yang tidak sedap karena faktor higienisnya,” ujar dokter Mahdian.

Bahkan di negara-negara maju, kesadaran untuk sunat tidak lagi sekedar kesehatan, tapi juga estetika dari penis. Bila saat bayi sunat dirasakan tidak sesuai estetikanya, saat dewasa, dapat diperbaiki bentuk penisnya.

“Ketika mereka menganggap hasil sunat sebelumnya kurang keren, misalnya ada bekas jahitan, agak miring tidak simetris. Hal-hal yang bersifat kosmetik di negara maju sudah jadi keluhan. Kondisi tersebut di Indonesia masih belum. Pria dewasa banyak yang ingin disunat tapi masih merasa malu. Tapi kedepan, kesadaran dari segi kosmetikpun lambat laun bisa juga terjadi di Indonesia,” papar dokter Mahdian.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved