Travel

Dari Tanah Minang, Ikan Cupang yang Mengubah Takdir Seorang Mulyadi

Spesies berwarna merah itu dikenal sebagai Wild Betta terkecil di dunia, endemik, cantik, dan langka. Sayangnya, habitat aslinya makin terancam.

|
Penulis: Joanita Ary | Editor: Joanita Ary
Wartakota/Joanita Ary
BUDIDAYA IKAN CUPANNG -- Suara percikan air dan kilau warna-warni ikan cupang menyambut siapa pun yang melangkah masuk ke MD Jaya Betta. Area budidaya yang luas itu terasa hidup dengan dipenuhi deretan wadah bening yang tertata rapi seperti lorong-lorong galeri akuarium. Ribuan ikan kecil menari pelan seolah memberi salam hingga menciptakan suasana hangat yang membuat langkah pengunjung melambat tanpa sadar. 

WARTAKOTALIVECOM, Padang -- Suara percikan air dan kilau warna-warni ikan cupang menyambut siapa pun yang melangkah masuk ke MD Jaya Betta.

Area budidaya yang luas itu terasa hidup dengan dipenuhi deretan wadah bening yang tertata rapi seperti lorong-lorong galeri akuarium.

Ribuan ikan kecil menari pelan seolah memberi salam hingga menciptakan suasana hangat yang membuat langkah pengunjung melambat tanpa sadar.

Inilah “rumah” bagi ribuan ikan cupang, sekaligus panggung perjalanan panjang dari seorang pria bernama Mulyadi.

Di tengah kesibukan kolam-kolam itu, Mulyadi berjalan dengan langkah pelan namun pasti.

Tangannya sesekali menyentuh rak atau mengecek permukaan air, seolah mengenali satu per satu isi ruangan.

Perjalanan menuju tempat sebesar ini tidak terjadi dalam semalam.

Tentunya saja hal itu terjadi setelah melewati berbagai fase kehidupan.

Mulyadi sempat memilih profesi sebagai guru.

Dari ruang kelas itulah ia bertemu dengan perempuan yang kelak menjadi istrinya, yang dahulu adalah muridnya sendiri.

Namun kini menjadi pendamping hidup yang ikut menyaksikan naik-turunnya perjalanan MD Jaya Betta.

Meskipun dunia mengajar telah memberinya kisah dan kenangan yang hangat, hatinya terus kembali pada sesuatu yang sudah menemani sejak masa kecil: ikan cupang.

“Saya menyadari bahwa passion inilah yang paling kuat dan berkelanjutan. Dengan kemauan dan kerja keras, hobi ini bukan sekadar sampingan, tapi profesi utama yang menjanjikan,” ujarnya sambil tersenyum.

Di tangan Mulyadi, ikan cupang bukan sekadar komoditas.

Ia memperlakukannya seperti karya seni.

Di ruangan-ruangan luas itu, deretan wadah berisi ikan berwarna mencolok ditata rapi seperti koleksi museum hidup.

Mulyadi menjaga kualitasnya melalui tiga pilar: indukan unggul, sanitasi ketat, dan manajemen berbasis data.

Setiap hari, timnya mencatat kondisi air, suhu, dan kesehatan ikan dalam buku log yang tebal.

Proses karantina menjadi wajib sebelum ikan-ikan itu siap dipasarkan.

“Sebelum dikirim, semua harus zero defect,” kata Mulyadi.

Ketelitian itu bukan tanpa hasil.

Pada tahun 2012, para peneliti menamai satu spesies cupang liar dengan nama Betta mulyadii, sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi Mulyadi dalam penemuan dan observasi jenis-jenis baru.

Spesies berwarna merah itu dikenal sebagai Wild Betta terkecil di dunia, endemik, cantik, dan langka. Sayangnya, habitat aslinya makin terancam.

Mulyadi kini berupaya menjaga keberlanjutan jenis ini melalui selective breeding.

“Ini warisan alam yang harus kita jaga. Jangan sampai hilang sebelum dikenal luas,” ujarnya.

Dari kolam-kolam di Padang, ikan-ikan kecil ini lalu melakukan perjalanan jauh.

Setiap minggu, kotak-kotak pengiriman bersertifikasi ekspor disiapkan dengan hati-hati.

Ada yang terbang ke Singapura, Malaysia, dan Jepang; ada yang menempuh perjalanan lebih jauh ke China, Amerika Serikat, Meksiko, Jerman, Brasil, hingga India.

“Yang penting kualitas dan ketepatan pengiriman. Karena bagi kolektor, detail itu segalanya,” kata Mulyadi.

Meski bisnis ikan cupang pernah naik-turun mengikuti tren, Mulyadi meyakini bahwa industri ini akan selalu hidup.

Setiap tahun lahir varian-genetis baru yang memukau—warna yang lebih berani, pola yang tak terduga, hingga sirip yang semakin dramatis.

“Ini industri di mana kreativitas adalah mata uang utama,” ujarnya. Bagi anak muda, ini bukan hanya peluang bisnis, tetapi juga ruang untuk berkarya.

 “Pengembangbiakan cupang adalah seni. Mesin atau AI tidak bisa menggantikan sentuhan manusia.”

Menjelang senja, cahaya lampu mulai memantul di permukaan air, membuat warna-warna ikan tampak semakin hidup.

Mulyadi masih bergerak dari satu baris wadah ke baris berikutnya, memeriksa ikan-ikannya satu per satu dengan ketelatenan yang hanya dimiliki seseorang yang benar-benar mencintai apa yang ia lakukan.

Di MD Jaya Betta, kerja keras, rasa syukur, cinta pada hobi, dan perjalanan hidup bertemu menjadi satu aliran cerita panjang.

Dari sebuah toples masa kecil, dari ruang kelas tempat ia mengajar, hingga kolam-kolam luas yang kini menghubungkan Padang dengan pasar dunia, Mulyadi membuktikan bahwa keindahan dapat tumbuh dari ketekunan.

Dan di sini, di antara tarian lembut ribuan ikan cupang, kisah itu terus hidup setiap hari.

Sumber: WartaKota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved