Viral Media Sosial

Sosok Dua Raja Surakarta, Trah Langsung Sri Pakubuwono XIII dari Istri Berbeda

Calon Penerus Sri Pakubuwono XIII itu: Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi

Editor: Dwi Rizki
twitter @merapi_uncover
PEREBUTAN TAHTA - Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom (KGPAA) Hamangkunegoro dan Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi. Dua putra kandung Raja Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwono XIII (PB XIII) Itu mengklaim tahta sebagai Raja Surakarta berikutnya atau Pakubuwono XIV. 

Dalam tradisi kerajaan Jawa, pengganti raja biasanya merupakan putra laki-laki tertua dari permaisuri.

Namun PB XII tidak memiliki permaisuri yang diangkat secara resmi, sehingga aturan adat menjadi kabur dan membuka ruang bagi perebutan legitimasi.

Putra tertua PB XII dari selir ketiga, Sinuhun Hangabehi mendeklarasikan diri sebagai raja pada 31 Agustus 2004.

Ia kemudian bertahta di dalam keraton dengan dukungan saudara-saudara satu ibunya, termasuk Gusti Moeng. 

Putra dari selir lain, Sinuhun Tedjowulan turut menyatakan diri sebagai raja pada 9 November 2004.

Ia mendapatkan dukungan sebagian keluarga yang menilai dirinya lebih kompeten.

Konflik tersebut sempat mereda pada 2012.

Kala itu, Joko Widodo (Jokowi) yang menjabat sebagai Wali Kota Solo dan anggota DPR Mooryati Sudibyo memfasilitasi pertemuan damai dua kubu di Jakarta. 

Hasilnya, kedua pihak sepakat berdamai dan menandatangani akta rekonsiliasi.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, Hangabehi ditetapkan sebagai raja dengan gelar Pakubuwono XIII, sedangkan Tedjowulan menjadi mahapatih dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Panembahan Agung.

Namun, rekonsiliasi ini tidak diterima oleh sebagian anggota keluarga, termasuk Gusti Moeng.

Mereka kemudian mendirikan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang mengambil langkah-langkah ekstrem, seperti menyewa pendekar untuk menyandera PB XIII dan mahapatih. 

LDA menilai PB XIII melakukan sejumlah pelanggaran adat, sehingga mereka melakukan kudeta internal dan melarang PB XIII serta pendukungnya memasuki area keraton.

Sejumlah pintu masuk menuju gedung utama keraton dikunci dan dipagari hingga PB XIII Hangabehi serta KGPH Panembahan Agung Tedjowulan tidak dapat memasuki Sasana Sewaka, tempat raja bertahta. 

Situasi ini membuat Keraton Solo terbelah dan memunculkan dualisme kepemimpinan.

Sumber: Warta Kota
Halaman 3/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved