Viral Media Sosial

Dapat Kuliah dari JK, Said Didu Duga Pemerintah Ada 'Main' dengan Mafia Tanah

Said Didu menduga pernyataan Nusron Wahid merupakan sinyal kepada oligarki dan mafia tanah untuk menghubungi Kementerian ATR/ BPN.

Editor: Dwi Rizki
Twitter @msaid_didu
MAFIA TANAH - Mantan Sekretaris Kementerian BUMN sekaligus Aktivis, Said Didu dan mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Said Didu mengungkapkan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid tidak tegas, diduganya merupakan sinyal kepada oligarki dan mafia tanah untuk menghubungi Kementerian ATR/ BPN. 

Tanah seluasn 16,4 hektar milik Jusuf Kalla itu diduga dicaplok oleh PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk, anak dari perusahaan Lippo Group.

"Alhamdulillah, hari ini 'kuliah' dari Bapak Jusuf Kalla selama sekitar 2 jam. Membahas masalah mafia tanah dan perampokan oleh Oligarki dll," ungkap Said Didu.

"Kesimpulan: perampokan tanah oleh oligarki dan mafia tanah adalah masalah yang sangat serius dan harus dilawan demi kepentingan rakyat," tegasnya.

Penjelasan Menteri ATR/ BPN

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengungkap akar masalah sengketa lahan di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, yang melibatkan pihak mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, yakni PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) Tbk. 

Mulanya, Nusron mengatakan, sengketa tanah seluas 16,4 hektare ini merupakan kasus lama yang akarnya telah berlangsung puluhan tahun sebelum masa kepemimpinannya di ATR/BPN.

"Kasus ini merupakan produk tahun 1990-an. Justru kini terungkap karena kami sedang berbenah dan menata ulang sistem pertanahan agar lebih transparan dan tertib," ujar Nusron dikutip dari Kompas.com.

Berdasarkan penelusuran Kementerian ATR/BPN, bidang tanah yang kini menjadi objek sengketa ternyata memiliki dua dasar hak atas tanah yang berbeda.

Pertama, terdapat sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan (Kantah) Kota Makassar pada 8 Juli 1996 dan berlaku hingga 24 September 2036.

Kedua, di atas lahan yang sama juga terdapat sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) atas nama PT GMTD, yang berasal dari kebijakan Pemerintah Daerah Gowa dan Makassar sejak tahun 1990-an.

Selain kedua dasar hak tersebut, sengketa ini juga berkaitan dengan gugatan dari Mulyono, serta putusan Pengadilan Negeri (PN) Makassar Nomor 228/Pdt.G/2000/PN Makassar dalam perkara antara GMTD melawan Manyombalang Dg. Solong, di mana GMTD dinyatakan sebagai pihak yang menang.

Nusron menjelaskan secara hukum, putusan tersebut hanya mengikat para pihak yang berperkara dan ahli warisnya, sehingga tidak otomatis berlaku terhadap pihak lain di lokasi yang sama.

Namun, ia menegaskan bahwa fakta hukum juga menunjukkan PT Hadji Kalla memiliki hak atas dasar penerbitan yang berbeda.

"Fakta hukum menunjukkan bahwa di lahan itu terdapat beberapa dasar hak dan subjek hukum berbeda. Karena itu, penyelesaiannya harus berdasarkan data dan proses administrasi yang cermat, bukan dengan mengeneralisasi satu putusan," jelas Nusron.

Ia menegaskan bahwa pelaksanaan eksekusi di lapangan merupakan kewenangan PN Makassar sesuai dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Sementara itu, Kementerian ATR/BPN menjalankan fungsi administratif berdasarkan data pertanahan yang sah.

Sumber: Warta Kota
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved